Menuju konten utama

Ketika Pemerintah Sipil Gandeng Tentara

Supremasi sipil sudah diusahakan sejak reformasi, tapi pemerintah sipil kerap menggandeng tentara untuk mensukseskan program-program mereka.

Ketika Pemerintah Sipil Gandeng Tentara
Pasukan TNI AD meneriakkan 'yel-yel' saat upacara peringatan HUT ke-72 TNI, di Lapangan Karebosi Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (5/10/2017). ANTARA FOTO/Yusran Uccang

tirto.id - Salah satu isu yang mengemuka dalam peringatan hari ulang tahun ke-72 Tentara Nasional Indonesia, Kamis (5/10) kemarin adalah tentara yang berpolitik dan mencampuri kehidupan sipil. Satu contoh yang paling mengemuka akhir-akhir ini adalah bagaimana tentara secara aktif mendorong pemutaran film G30S/PKI kepada masyarakat.

Bicara soal peran tentara ini, tidak bisa tidak memang harus membicarakan kembali persoalan supremasi sipil, yang menjadi salah satu cita-cita reformasi.

Purnawirawan TNI Mayjen Pur Koesnadi Kardi, dalam artikel Demokratisasi Relasi Sipil-Militer pada Era Reformasi di Indonesia yang diterbitkan MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi, Volume 19 Juli 2014 lalu menyimpulkan bahwa relasi sipil-militer yang demokratis memang belum terwujud.

Ada beberapa faktor yang membuat supremasi sipil mandek. Koesnadi menyebut ada dua penyebab utama. "Pertama, kalangan sipil belum bisa mewujudkan militer yang profesional. Hal ini misalnya terlihat dari minimnya anggaran militer yang disetujui oleh DPR... sehingga berujung pada kurang profesionalnya militer di Indonesia. Kedua, kepemimpinan dari kalangan sipil yang dinilai masih lemah."

Menurutnya, supremasi sipil bisa terjadi ketika militer mengakui "otoritas sipil dan pejabat publik yang dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum".

Persoalannya, justru yang terjadi adalah otoritas sipil itu kerap "menggandeng" militer untuk mensukseskan program-program mereka.

Salah satu proyek terbesar dimana pemerintah sipil secara sadar menggandeng militer adalah proyek swasembada pangan yang diteken pada Januari 2015. Ketika itu pemerintah diwakili oleh Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, sementara pihak tentara oleh Jendral Gatot Nurmantyo, yang saat itu masih menjabat Kepala Staf Angkatan Darat.

Poin kerja sama itu melibatkan TNI dalam urusan percepatan swasembada pangan. Dari cetak sawah baru, pengawalan pembagian bibit dan pupuk subsidi, hingga membantu petani di sawah. Secara teknis, para prajurit TNI yang seharusnya angkat senjata dilibatkan untuk angkat cangkul hingga mengemudikan traktor guna mengejar target tersebut.

Kerja sama di tingkat pusat tersebut juga direplikasi pemerintahan daerah. Hal ini dimungkinkan karena adanya fungsi Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dalam Undang-undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI. Dalam OMSP, militer bisa melakukan berbagai hal, termasuk mengatasi terorisme, mengamankan perbatasan, dan membantu tugas pemerintah daerah.

Baca juga:

Ahok

Basuki Tjahaja Purnama ketika masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta adalah satu kepala daerah yang memanfaatkan secara maksimal OMSP ini. Ia meminta tentara terlibat dalam berbagai kasus penggusuran paksa.

Lembaga Bantuan Hukum Jakarta mencatat, TNI terlibat aktif dalam 65 penggusuran dari total 113 kasus sepanjang 2015. "Data tersebut belum termasuk penggusuran baru-baru ini di Kampung Aquarium (kawasan pasar ikan) yang bersebelahan dengan wilayah Luar Batang Jakarta Utara yang juga melibatkan TNI dalam proses penggusuran paksa," tulis LBH Jakarta dalam keterangan pers.

Pada kasus penggusuran Kalijodo, misalnya, Pemprov DKI mengerahkan 5.000 personel yang terdiri dari polisi, Satpol PP, dan tentara. Sementara dalam kasus penertiban Pasar Ikan, setidaknya 4.000an aparat yang dikerahkan, dimana tentara juga termasuk di dalamnya.

Koordinator Advokasi Urban Poor Consortium, Gugun Muhammad, mengatakan bahwa keterlibatan TNI dalam penggusuran paksa melanggar aturan. Tidak semestinya tentara berperan di situ. Penggusuran paksa bukanlah bagian dari tugas tentara, karena itu bukan termasuk dalam operasi militer, baik perang ataupun bukan.

Tidak hanya soal penggusuran, Ahok juga sempat mewacanakan agar tentara jadi tukang sampah. "Saya prediksi nanti ada perlawanan, ada permainan baru, dan selanjutnya Bantar Gebang ditutup dengan alasan menolak pengelolaan baru kita. Kalau memang begitu, nanti kita kirim tentara saja untuk mengangkut sampah," ujarnya saat kisruh pengelolaan sampah Bantar Gebang mengemuka, 2014 lalu, dikutip dari Antara.

Ridwan Kamil

Ridwan Kamil, yang identik sebagai kepala daerah yang demokratis dan menjunjung tinggi supremasi sipil, juga menggandeng tentara. Oktober tahun lalu, Pemkot Bandung meneken kerja sama denga TNI dalam rangka penyelenggaraan bela negara.

Ridwan Kamil mengatakan bahwa melalui MoU ini, TNI akan menjadi pembina upacara di tiap sekolah, dari SMP, SMA, hingga SMK. TNI akan memberikan ceramah soal kecintaan terhadap tanah air dan karakter kesatria. Program ini, menurutnya, adalah salah satu program pendidikan "Masagi", atau Cinta Agama, Bela Negara, Jaga Budaya, dan Jaga Lingkungan.

"Semoga program bela negara dari Bandung Masagi ini bisa betul-betul membentengi anak-anak kita dari nilai-nilai negatif yang menyerang nalar dan emosi mereka setiap hari," cuit Emil di Twitter pribadinya @ridwankamil, Senin (3/10/2016).

Setahun sebelumnya, dalam upacara HUT TNI ke-70 di Markas Komando Distrik Militer 0618, Bandung, ia pernah mengatakan bahwa peran TNI di Bandung sangat terasa manfaatnya. Ia merujuk pada kondisi aman dan tenteram yang "berhasil" diciptakan tentara.

Ketika Komando Daerah Militer III Siliwangi membubarkan lapak buku di Taman Cikapayang, Dago, Bandung pada Agustus tahun lau, Ridwan Kamil hanya mengatakan bahwa hal itu merupakan "kesalahpahaman".

Dua contoh kepala daerah di atas hanya sebagian kecil dari kepala daerah lain di Indonesia yang menggandeng tentara. Pemprov Jatim, misalnya, menggandeng Kodam V/Brawijaya untuk memperlancar program Renovasi Rumah Tidak Layak Huni (RTLH). 2014 lalu, pemprov juga menggandeng tentara dalam rangka peningkatan produksi daging.

Supremasi Sipil Lumpuh

Tunduknya supremasi sipil terhadap kekuasaan militer tentu bukan tanpa konsekuensi. Baru-baru ini, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) merilis data terbaru soal tindak kekerasan yang dilakukan tentara sepanjang Agustus 2016 sampai Agustus 2017. Ada 138 kekerasan dan pelanggaran HAM yang melibatkan prajurit.

Di antaranya mengakibatkan 15 orang meninggal, 124 luka-luka, 63 orang ditangkap secara sewenang-wenang, dan 65 peristiwa penganiayaan sipil. Sementara bentuk kekerasan yang paling sering dilakukan yakni 65 kasus penganiayaan, bisnis keamanan 42 kasus, tindakan tidak manusiawi 32 kasus, pengrusakan 16 kasus, dan penembakan 10 kasus.

Menurut Kontras, ini bisa terjadi karena memang pengawasan terhadap TNI dari institusi sipil yang rendah, setidaknya dalam satu tahun terakhir. Ini diperparah dengan manuver politik yang dilakukan oleh Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo.

"Kali ini panglimanya jauh lebih agresif. Menurut Kontras, haram hukumnya TNI bicara satu katapun tentang politik. Kecuali hasil analisis misalnya intervensi politik asing ke Indonesia, infiltrasi, dan sebagainya," kata Wakil Koordinator Kontras, Puri Kencana Putri kepada Tirto. Kontras menilai, Dwi Fungsi ABRI yang ingin menghapus supremasi sipil, perlahan dihidupkan kembali oleh Gatot.

Ketika dikonfirmasi soal tindak kekerasan ini, Gatot berharap Kontras melengkapi data pemantauannya lebih rinci. Agar dia bisa menindak bawahannya secara fair.

"Laporkan. Sebut namanya. Pangkatnya apa. Syukur lebih lengkap lebih bagus, sehingga POM akan melaksanakan proses penyidikan. Penyelidikan, itu pasti. Sebut pangkatnya, pasti kami akan proses," terang Gatot kepada reporter Tirto.

Senada dengan atasannya, Mayjen Wuryanto, Kapuspen TNI menegaskan bahwa TNI tidak mentolerir pelanggaran apapun yang dilakukan oleh prajurit TNI. Dia bahkan berjanji tak akan pandang bulu. Acuan sanksi akan diserahkan sepenuhnya pada proses hukum.

"TNI saat ini perang terhadap pelanggaran yang dilakukan prajurit. Sidang di peradilan militer terbuka (kecuali tindak kejahatan tertentu). Siapapun bisa melihat dan menilai," katanya kepada reporter Tirto melalui pesan singkat, Kamis (4/5/2017).

Hendardi, Ketua SETARA Institute, mengingatkan bahwa HUT ke-72 harusnya jadi momen evaluasi agar TNI dikembangkan secara profesional, termasuk penghargaan terhadap prinsip demokrasi, supremasi sipil, HAM, serta ketentuan hukum nasional dan internasional.

"Inilah yang menjadi tugas kita bersama untuk mewujudkan desain TNI yang reformis," katanya, dalam keterangan tertulis kepada Tirto.

Baca juga artikel terkait SUPREMASI SIPIL atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Politik
Reporter: Rio Apinino
Penulis: Rio Apinino
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti