Menuju konten utama

Ketika Pemerintah Dianggap Malah Membuat UU ITE Semakin Karet

Pemerintah hendak menambah satu pasal baru dalam UU ITE. Kelompok sipil menilainya itu sama saja memperpanjang masalah.

Ketika Pemerintah Dianggap Malah Membuat UU ITE Semakin Karet
twitter. tirto/danna c

tirto.id - Baru beberapa bulan lalu Presiden Joko Widodo menyatakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) perlu direvisi jika menimbulkan ketidakadilan. Waktu berlalu dan pemerintah berencana memasukkan pasal lain yang membuat undang-undang ini justru semakin 'karet'.

Ketua Tim Revisi UU ITE Sugeng Purnomo mengatakan pasal yang dimaksud adalah pasal 45 C. Pasal tersebut akan mengadopsi Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Bunyinya sebagai berikut:

Pasal 14

(1) Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun

(2) Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun

Pasal 15

Barang siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya dua tahun

"Pasal ini adalah tindak pidana yang kami rumuskan, yang sebenarnya ini tindak pidana yang diatur di dalam ketentuan di luar UU ITE. Kami coba rumuskan untuk kami masukkan ke sini," kata Sugeng, Jumat, 22 Mei 2021.

Sementara Selasa (25/5/2021) kemarin dia menambahkan bahwa keonaran yang dimaksud terjadi di ruang fisik/nyata, dan bukan di ruang digital/maya.

Saat ini sudah ada satu pasal UU ITE yang mengatur tentang berita bohong, yakni pasal 28. Beleid itu menjerat siapa saja yang menyebar berita bohong sehingga menyebabkan kerugian dalam transaksi elektronik dengan pidana maksimal 6 tahun dan denda Rp1 miliar.

Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet Nenden Sekar Arum menilai pemerintah semestinya fokus pada tujuan awal dari pembahasan soal UU ITE, yakni mengatasi ketidakadilan yang disebabkan aturan tersebut. Untuk itu, yang harus dilakukan adalah mencabut pasal-pasal bermasalah.

Masuknya pasal 45C justru akan membuat UU ITE semakin berbahaya karena rumusan pasalnya yang tidak terdefinisikan dengan jelas sehingga berpotensi menimbulkan beragam interpretasi--dengan kata lain 'karet'. Misalnya frasa 'berita bohong' dan 'menerbitkan keonaran'. Nenden mempertanyakan definisi berita bohong dan tolok ukur dari keonaran yang dimaksud.

"Apakah jika viral lalu dianggap membuat onar? Karena itu jelas-jelas bertentangan dengan kebebasan kita dalam berekspresi," kata Nenden di Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Senin (24/5/2021).

Direktur Eksekutif LBH Pers Ade Wahyudin pun menilai frasa dalam undang-undang itu sendiri sudah tidak benar. Ade bilang tidak ada berita yang berbohong, sebab jika berbohong tidak bisa disebut berita. "Saya pikir ini ancaman juga bagi kawan-kawan jurnalis," kata Ade dalam kesempatan yang sama.

Wacana revisi UU ITE pertama kali digulirkan Jokowi pada Februari 2021. Melalui akun Twitternya Jokowi mengatakan UU ITE dirancang untuk menciptakan ruang digital yang bersih, sehat, dan produktif. Tetapi jika dalam implementasinya menimbulkan ketidakadilan, maka perlu direvisi. Jokowi mengatakan pasal-pasal multitafsir yang membuka ruang kriminalisasi harus dihapus.

Berdasarkan catatan Amnesty International, sepanjang Januari-April 2021 saja sudah terdapat 15 kasus pelanggaran atas hak berekspresi menggunakan UU ITE dengan jumlah korban sebanyak 18 orang.

Kemenko Polhukam lantas ditunjuk untuk menindaklanjuti arahan Jokowi. Menteri Mahfud MD kemudian membentuk dua tim. Tim pertama bertugas membuat interpretasi yang lebih teknis dan membikin kriteria implementasi dari pasal-pasal yang dianggap karet; dan tim kedua bertugas merencanakan revisi UU ITE.

Setelah beberapa waktu bekerja, Mahfud menyatakan tidak akan membongkar total UU ITE. Keputusan itu diambil berdasarkan kesimpulan dari kajian yang dilakukan oleh tim. Menurut Mahfud, UU ITE masih dibutuhkan untuk mengatur dunia digital.

Kendati begitu, ia mengakui ada kecenderungan salah tafsir terhadap beleid tersebut sehingga pemerintah akan menyusun Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, dan Kapolri. SKB itu akan jadi pedoman teknis dalam penegakan UU ITE.

Selain itu, pemerintah juga akan melakukan revisi terbatas terhadap UU ITE berupa penambahan frasa dan tambahan di penjelasan UU, seperti definisi mengenai penistaan, fitnah, keonaran.

Koordinator Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Airlangga Herlambang Perdana Wiratman mengatakan UU ITE sudah salah rancang sejak awal sebab tidak membedakan antara cyber crime dan cyber enabled crime. Yang dimaksud cyber crime adalah kejahatan yang mungkin muncul karena adanya dunia digital itu sendiri, misalnya peretasan; sementara cyber enabled crime adalah kejahatan tradisional yang meluas melalui dunia digital, misalnya pencemaran nama baik.

Pencampuran dua jenis kejahatan ini berakibat pada meluasnya kewenangan Kemkominfo, dan sampai saat ini tidak ada mekanisme kontrol sehingga berpotensi disalahgunakan. Misalnya, Kemkominfo bisa memberikan stempel hoaks terhadap konten media sosial tetapi bisa lepas dari tanggung jawab ketika konten yang disebarkannya ternyata tidak akurat--dan itu pernah terjadi.

"Kalau tak ada pertanggungjawaban, saya khawatir potensi miss semakin besar. Apalagi sekarang hanya sekadar memasukkan [pasal] tanpa mempertimbangkan paradigma aturan yang keliru dan tanpa mempertimbangkan aturan institusi yang tidak ada kontrolnya," kata dia kepada reporter Tirto, Senin.

Baca juga artikel terkait KASUS UU ITE atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie & Irwan Syambudi
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino