Menuju konten utama

Ketika Para Sersan Menegakkan Republik Maluku Selatan

Soumokil tak akan mampu mendirikan Republik Maluku Selatan (RMS) tanpa bantuan bekas sersan dan ajudan KNIL macam Sopacua, Dantje Samson, dan Thomas Nussy. Bedil-bedil mantan KNIL bimbang itulah yang membuat RMS bisa proklamasi pada 25 April 1950.

Ketika Para Sersan Menegakkan Republik Maluku Selatan
Christiaan Robbert Steven Soumokil. Foto/istimewa

tirto.id - Seperti bandit-bandit zaman Amerika Cowboy Wild West, bekas pasukan khusus KNIL Belanda, yang pernah dilatih dan dikomandani Kapten Raymond Westerling, baik baret merah maupun baret hijau, masuk ke Ambon di awal 1950.

Di dalam kota Ambon sendiri terdapat KNIL-KNIL Ambon yang tak kalah sulit untuk diatur. Pasukan-pasukan ini adalah sekelompok orang-orang yang mengalami disorientasi setelah Pengembalian Kedaulatan berdasarkan keputusan KMB. Masa depan mereka buram.

Pasukan baret hijau juga tidak jarang melakukan penganiayaan pada pemuda pro-republik. Dalam kerusuhan 22 Januari 1950, setidaknya 2 orang meninggal, 2 orang luka berat, dan 15 lainnya luka ringan sebagai korban mereka. Begitu yang dicatat Agoes Anwar dalam Soumokil Dan Hantjurnja RMS (1964).

Meski begitu, di Ambon sebenarnya ada anggota-anggota KNIL yang ingin bergabung dengan TNI. Masalahnya, mereka tidak mengerti prosedur untuk bergabung dengan TNI. Seorang Mayor TNI yang berasal dari Maluku bernama Westplat berusaha memberi solusi. Dia menulis surat soal prosedur bagaimana cara bergabung dengan TNI. Surat itu juga sampai kepada Dantje Samson pimpinan Baret Hijau, juga Thomas Nussy pimpinan baret merah di sana. Juga kepada Sopacua, bintara KNIL di Ambon.

Tanggal 13 Februari 1950, wanita nasionalis bernama Silawati Daud asal Sangir bertemu Nussy, pimpinan baret merah. Kepada Nussy, Salawati bercerita banyak bagaimana stuasi politik dan militer di Jakarta pasca-Pengembalian Kedaulatan. Salawati juga bercerita gembiranya orang-orang di Jakarta ketika mendengar kabar ada beberapa bekas KNIL yang akan masuk TNI di Ambon. Perempuan ini juga didatangi Sopacua, yang bercerita bagaimana bimbangnya anggota KNIL untuk bergabung.

Nussy dan pasukannya pada 5 April 1950 tanpa pikir panjang menurunkan bendera Belanda di markasnya, tangsi Victoria. Setelah itu, meletuslah pemberontakan. Seorang kepala daerah diajak Nussy memberontak. Belakangan, seorang Indo-Belanda reaksioner bernama Kainama menemui Nussy. Pemberontakan pun batal.

Menurut Izaal Lebelauw dalam bukunya Wat gebeurde er op Ambon tot 25 April 1951?, ada empat bekas sersan KNIL yang begitu berpengaruh di Ambon kala itu: Samson, Pattiwael, Kastanja, dan Pieters. Tiga bekas ajudan yakni Sopacua, Tahapary, dan Siwabessy yang lebih senior pangkatnya tak begitu berpengaruh di sana.

Mereka begitu penting bagi Christian Robert Steven Soumokil yang tiba di Ambon pada 13 April 1950. Kepemimpinan pasukan KNIL yang mau bubar itu sudah kacau di Ambon. Soumokil berperan penting dalam pembentukan negara baru di Ambon itu. Dia tak bisa sendirian, tokoh-tokoh lokal dia berdayakan untuk mendirikan Republik Maluku Selatan (RMS).

Menurut Johannes Hermanus Manuhutu, yang menjadi Presiden RMS pertama, dia disuruh Soumokil dan Manusama membuka kantornya untuk rapat pada 23 April 1950. Kedua orang itu membawa KNIL-KNIL bersenjata. Mantan Menteri Kehakiman Negara Indonesia Timur (NIT) Soumokil dan Ir Manusama menyuruh Manuhutu supaya memproklamirkan RMS. Esok malam, Soumokil dan para pengikutnya yang beribu-ribu orang jumlahnya terus mendesak lagi. Meski Soumokil juga orang Ambon, dia masih belum punya pengaruh di Ambon.

Pada 25 April 1950, Manuhutu pun membacakan proklamasi Republik Maluku Selatan.

“Memenuhi kemauan jang sungguh, tuntutan dan desakan rakjat Maluku Selatan, maka dengan ini kami proklamir Kemerdekaan Republik Maluku Selatan, de facto de jure, jang berbentuk Republik, lepas dari pada segala perhubungan ketatanegaraan Negara Indonesia Timur dan R.I.S.,” ucap proklamator.

Namun, Manuhutu hanya jadi Presiden hingga 3 Mei 1950. Dia kembali pangkuan ibu pertiwi dan melanjutkan karir sebagai pejabat Departemen Dalam Negeri hingga pensiun. Posisi Presiden lalu digantikan Soumokil.

infografik soumokil

Demi eksistensi RMS, seorang mantan wartawan dan mantan pekerja percetakan Siwalima Makassar bernama Domingus Zakarias Pessuwariza diangkat menjadi Menteri Penerangan. Siaran radio dan selebaran-selebaran yang terkait dengan proklamasi RMS disebarkan dan disiarkan. Sebagai sebuah negara, mereka punya bendera dan lagu kebangsaan.

"Maluku Tanah Airku" adalah lagu kebangsaannya. Lambang negara adalah seekor burung pombo yang hendak terbang dengan kaki mencengkeram kain bertuliskan: Mena Muria. Bendera RMS berwarna Biru-Putih-Hijau-Merah, dengan warna merah dominan.

Sudah pasti, para mantan sersan itu mendadak jadi kolonel. Hanya mereka yang paling sangar dan punya pengalaman sebagai militer. Dantje Samson menjadi panglima tertinggi Angkatan Perang RMS. Menurut propaganda RMS, seperti dicatat Agoes Anwar, terdapat 800 orang pasukan baret dari baret merah maupun baret hijau.

Menurut berita surat kabar Merdeka (28/04/1950) dan tulisan Jusuf Puar dalam Peristiwa Republik Maluku Selatan (1956), orang-orang KNIL di sekitar Ambon itu dilibatkan atas perintah komandan mereka yang anti-republik.

Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil “La Petite Histoire” Indonesia (2004) menulis, mereka terus bersikap merasa paling tahu. Pemerintah sipil RMS sering tak diindahkan oleh panglima eks KNIL, padahal orang-orang militer ini tulang punggung RMS. Pasukan mantan baret merah KNIL tak mau mendengar kata panglima tertinggi, mereka hanya mau dengar kata Corputy atau Nussy. Menurut Rosihan Anwar, komando yang kacau itu menjadi penyebab kekuatan mereka mudah digulung di Ambon oleh pasukan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) pimpinan Kolonel Alex Kawilarang.

Menurut laporan Manusama, ketika APRIS menyerang kota Ambon, pasukan baret yang ditakuti itu lari terbirit-birit seperti pengecut. Pasukan KNIL walaupun melawan tapi karena tidak punya disiplin lagi, sehingga bisa dipatahkan TNI. Perlawanan RMS tidak berarti sama sekali bagi TNI.

Angkatan Perang RMS lari terbirit-birit. Moril pasukan RMS akan jatuh jika dibiarkan. Lalu, kepala staf Angkatan Perang RMS, Pattiwael, ditembak mati oleh tentara RMS sendiri. Mereka menuduh Pattiwael memberikan perintah yang salah kepada tentara dan hukumannya adalah ditembak mati, disaksikan oleh Manusama

Hal yang sama terjadi juga pada Daud Lestaluhu. Seperti Nussy, dia juga dari baret merah. Lestaluhu adalah salah seorang panglima di Namlea. Setelah Namlea jatuh ke tangan pasukan pemerintah pada 13 Juli 1950, Lestaluhu tertangkap. Menurut John Pieris, dalam Tragedi Maluku: Sebuah Krisis Peradaban: Analisis Kritis Aspek Politik (2004), Lestaluhu yang kadang disebut Daniel adalah tokoh RMS yang beragama Islam, seperti halnya Menteri Persediaan Bahan Makanan RMS, Ibrahim Ohorila.

Setelah panglima macam Samson digulung TNI serta Ambon sudah jatuh ke tangan pemerintah, para mantan ajudan KNIL yang lebih senior macam Sopomena, Sopacua, dan Tahapary jadi petinggi Angkatan Perang RMS. Mereka bertahan dan bergerilya bersama Presiden RMS Soumokil yang bergerilya di Pulau Seram. Sopomena belakangan ditangkap TNI pada 6 Desember 1963.

Semula, mantan Sersan yang di awal RMS kalah pamor dari Nussy, Isaac Julius Tamaela, juga ikut bergerilya di sekitar Maluku. Namun, Tamaela pada 1963 kabur ke Negeri Belanda. Begitu juga Sopacua. Keduanya belakangan terkenal di Belanda. Tamaela bahkan dianggap sebagai jenderal RMS di Belanda. Kisah hidupnya dimuat koran Nederlandsch Dagblad (03/05/1977) dengan judul "Hoe Nederland Zijn Trouwste Soldaten Behandelde" (Bagaimana tentara Belanda yang setia diperlakukan).

Sekejam apapun si Thomas Nussy, belakangan dia jadi tawanan juga. Bahkan ketika DJ Samson bersama mantan menteri RMS lainnya disidang, Nussy menjadi saksi. Belakangan, Nussy malah jadi perwira Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang terlibat dalam Operasi Trikora. Dia pensiun dengan pangkat mayor dan di usia senjanya dia menjadi aktivis gereja di Ambon.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani