Menuju konten utama
25 November

Ketika Para Guru Berserikat dan Bergerak

Di rimba gelap
butiran embun jadi
percik cahaya.

Ketika Para Guru Berserikat dan Bergerak
Ilustrasi Raden Mas Ngabehi Dwidjosewojo. tirto.id/Gery

tirto.id - Sebelum abad ke-20, beberapa orang Indonesia sudah jadi guru. Bahkan ikut mendidik calon guru pribumi juga. Di Sumatra Barat ada Engku Nawawi—yang ikut serta menyusun ejaan van Ophuijsen. Dari Tapanuli, Sumatra Utara, ada Willem Iskander. Di tanah Jawa ada Raden Kamil.

Mereka biasanya berasal dari kalangan elit lokal di daerah. Memang hanya golongan elit yang bisa mengakses sekolah. Berkat pengaruh orang tua dan kesadaran bahwa pendidikan adalah jalan menjadi orang berkedudukan, mereka disekolahkan. Di masa kolonial, guru adalah profesi yang dihormati.

Berserikat dan berkumpul setidaknya sudah dilakoni guru-guru pribumi sejak 1912. Di tahun tersebut, Perserikatan Goeroe Hindia Belanda (PGHB) berdiri. Menurut Atashendartini Habsjah dkk dalam Perjalanan Panjang Anak Bumi (2007), PGHB adalah organisasi guru pribumi pertama (hlm. 12). Salah satu pendirinya adalah Dwidjosewojo, anggota Boedi Oetomo (BO).

Baca juga:

Di tahun yang sama dengan berdirinya PGHB, Dwidjosewojo bersama rekan-rekan gurunya juga mendirikan perusahaan asuransi bernama Boemi Poetra—yang masih ada hingga sekarang dan berganti ejaan menjadi Bumiputera. Para pendiri perusahaan dan pemegang polis awalnya adalah para guru yang tergabung dalam PGHB.

Menurut Edward S. Simanjuntak dalam tulisannya Raksasa Bumiputera dari Tangan Guru (Prisma No.2 Tahun XVIII, 1989), tidak adanya kepastian dari BO membuat Dwidjosewojo menawarkan ide itu pada PGHB di tahun 1911. Di PGHB, sambutannya cepat. Dua anggotanya, M.K.H. Soebroto dan M. Adimidjojo, tertarik merealisasikannya. Jadi, kaum guru di zaman kolonial sudah berpikir memperkuat ekonomi dengan mendirikan perusahaan asuransi.

Baca juga:

Tak Hanya Mengajar, Para Guru Juga Bergerak

Dalam sejarah pendidikan di Indonesia, ada guru-guru macam Mohammad Syafei (pendiri INS Kayutanam), Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hajar Dewantara (pendiri perguruan Taman Siswa), Surjopranoto (salah satu pendiri sekolah Arjuna), E.F.E. Douwes Dekker (pendiri perguruan Ksatriaan Institut). Keempatnya adalah orang-orang pergerakan nasional.

Mereka tak hanya jadi guru, tapi juga pemimpin sekolah atau perguruan. Selain sekolah di atas, ada juga yang disebut Perguruan Rakyat. Tan Malaka pernah memimpin sekolah pergerakan di Semarang, meski tidak lama. Sekolah-sekolah macam ini pernah dianggap membahayakan oleh pemerintah kolonial.

Baca juga: Kosmopolitanisme Tan Malaka

Para guru di sekolah swasta yang terkait dengan pergerakan nasional adalah orang-orang yang paling keras menentang ketika pemerintah kolonial hendak menerapkan Wildeschoolen Ordonantie (Ordonansi Sekolah Liar). Menurut Slamet Muljana dalam Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme Sampai Kemerdekaan (2008), ordonansi yang dikeluarkan 1 Oktober 1932 pada zaman Gubernur Jenderal de Jonge itu bersifat preventif (hlm. 109).

“Maksudnya, permohonan izin untuk menyelenggarakan pendidikan dapat ditolak atas dasar dugaan bahwa pendidikan yang diselenggarakan mungkin akan membahayakan,” tulis Slamet Muljana. Ordonansi ini kemudian tak jadi diterapkan dan kaum pergerakan menang dan berjaya.

Sekolah dan pendidikan dianggap sangat penting oleh kaum pergerakan nasional. Tak heran jika di Boven Digoel, tempat kaum pembuangan berada, sekolah juga dibangun dan dijalankan. Orang-orang buangan tak mau memasukkan anak mereka ke sekolah yang dikehendaki pejabat Belanda.

Baca juga:

Menurut Langgeng Sulistyo Budi dalam "Boven Digoel dan Pergerakan Politik" di buku Jejak Kebangsaan Kaum Nasionalis di Manokwari dan Boven Digoel (2013), pernah ada sekolah bernama Malay English School (hlm. 181). Tempat belajarnya di rumah orang buangan Digoel (biasanya disebut "Digulis") dan gurunya juga orang buangan.

Di antara orang-orang buangan memang ada yang berprofesi sebagai guru sebelum dibuang. Beberapa di antara guru yang pernah dibuang ke Digoel adalah Soekindar dan Ngaliman. Dua Digulis itu, pulang bersama ratusan Digulis lain setelah dibebaskan setelah 1930. Tahun yang sama dengan diwacanakannya Ordonansi Sekolah Liar.

Infografik Mozaik Organisasi Guru Riwayatmu Dulu

Kembali mengajar bukan hal mudah bagi guru Digulis macam Ngaliman. Surat kabar Sinar Deli (21/12/1931) menyebut Ngaliman—kala itu jadi guru sekolah Balai Guru Tegalamon di Klaten—dilarang mengajar. Ia bahkan sempat dipanggil aparat pemerintah.

Meski ada pelarangan itu, menurut berita di Djawa Tengah (07/03/1932), Soekindar berhasil membangun sekolah model Hollandsche‐Inlandsche School (sekolah dasar untuk anak pribumi berbahasa Belanda) di Semarang.

Sekitar tahun 1932, PGHB pun mengganti namanya menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI). Di masa kolonial, menurut catatan Darmaningtyas dalam Pendidikan Rusak-rusakan (2005:154), terdapat beberapa perserikatan guru seperti Perserikatan Guru Bantu (PGB), Perserikatan Normaal School (PNS), Kweekschool Bond (KB), dan Hoogere Kweekschool Bond (HKSB).

Pada masa pendudukan Jepang, para guru tak bisa berkumpul. “Semua organisasi profesi dilarang,” tulis Darmaningtyas.

Organisasi profesi guru hidup lagi setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dalam Kongres Guru Indonesia 25 November 1945 di Surakarta, dibentuk lah sebuah organisasi guru dengan semangat negara merdeka. Namanya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). “Mula-mula bersifat organisasi guru dalam arti sebagai organisasi pekerja,” tulis Darmaningtyas. Tanggal berdirinya PGRI kemudian diperingati sebagai Hari Guru.

Pada 1973, dalam Kongres Guru di Jakarta, “PGRI menegaskan dan menyatakan dirinya menjadi suatu organisasi yang bersifat dan berfungsi sebagai organisasi profesi, terhitung mulai 25 November 1973 yang bertepatan dengan hari ulang tahun PGRI ke-28.”

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Mild report
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan