Menuju konten utama

Ketika Lembaran Fotokopi KTP Berakhir Jadi Bungkus Gorengan

Sepertinya tak ada perlindungan data pribadi di Indonesia sehingga bisa-bisanya fotokopi KTP berakhir jadi bungkus gorengan.

Petugas memperlihatkan KTP (Kartu Tanda Penduduk) Elektronik yang baru dicetak di Kantor Disdukcapil Kota Serang, Banten, Rabu (4/3/2020). ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman/ama.

tirto.id - Ke mana fotokopi KTP yang kerap kita gunakan untuk urusan-urusan administratif berakhir? Mungkin ke tempat sampah, barangkali dibakar, atau bisa jadi dimanfaatkan sebagai bungkus gorengan.

Foto yang diunggah oleh akun Twitter bernama @edwin_basuki, warga Cibinong, Jawa Barat, Rabu (5/5/2021), memperlihatkan fotokopi KTP berakhir menjadi bungkus gorengan. Edwin menutup nama dan nomor induk kependudukan (NIK) pemilik KTP yang sebenarnya tampak terlihat jelas.

Hal ini sebenarnya bukan kali pertama terjadi. Tahun lalu ada pengguna Facebook dari Ponorogo yang melaporkan kartu keluarga (KK) yang dijadikan bungkus tempe. Lalu setahun sebelumnya dilaporkan ada fotokopi kartu keluarga (KK) yang dipakai sebagai bungkus gorengan di Jagakarsa Jakarta Selatan. Mungkin saja ada kasus serupa yang lebih banyak tapi tak ramai dibicarakan.

Mungkin bagi sebagian orang dokumen-dokumen pribadi dijadikan bungkus makanan adalah hal biasa atau bahkan lucu. Tapi di balik itu sebenarnya ada potensi bahaya. Di kertas-kertas itu jelas tertera identitas si pemilik, dan data tersebut bisa dipakai untuk hal-hal negatif. Dengan kata lain, berpotensi penyalahgunaan data pribadi.

"Karena semua data yang terkandung dalam fotokopi itu bisa disalahgunakan. Penanggung jawabnya adalah mereka yg meminta fotokopi KTP," kata anggota Komisi II DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera kepada reporter Tirto, Jumat (7/5/2021).

Penyalahgunaan bisa bermacam-macam. Biasa untuk mendaftarkan urusan di perbankan, pinjaman online, termasuk mendaftarkan kartu SIM gawai. "Semua bisa menyulitkan penegak hukum untuk mengeksekusi segala hal yang terkait dengan penegakan hukum," katanya.

Mardani merasa miris karena selain bisa dipakai untuk penipuan, bagaimana mungkin di zaman sekarang, yang digadang-gadang sebagai eranya revolusi industri 4.0, masih banyak pihak yang meminta fotokopi KTP untuk keperluan administrasi, dari mulai perusahaan, perbankan, hingga pemerintahan.

"Zaman e-KTP tapi masih minta fotokopi KTP adalah paradoks dan bencana. Mestinya keberadaan e-KTP mengintegrasikan dan mengamankan data. Jika ini masih terus berlangsung, proyek triliunan rupiah e-KTP tidak mencapai sasarannya," ucapnya.

Semakin membingungkan karena pihak-pihak yang meminta data itu tak pernah menjelaskan akan diapakan fotokopi data pribadi setelah dipakai.

Sebaiknya, kata dia, perusahaan, perbankan, atau pihak-pihak terkait tak lagi meminta fotokopi identitas pribadi lantaran dapat memintanya melalui Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil). "Tentu terbatas dan tetap aman," katanya.

Apabila fotokopi KTP memang dibutuhkan karena darurat, maka harus dipastikan bahwa itu dijaga.

"Ada hukuman yang berat bagi mereka yang tidak menjaga apalagi menyalahgunakan data pribadi masyarakat," kata Mardani.

Dia mengatakan DPR RI saat ini masih menggodok Rancangan Undang-undang (RUU) Perlindungan Data Pribadi yang, seperti namanya, mencegah kebocoran-kebocoran seperti ini di kemudian hari.

Ketua Communication & Information System Security Research Center (Cissrec) Pratama Pershada mengaku miris dengan penemuan fotokopi KTP sebagai bungkus makanan. "E-KTP yang sudah elektronik lebih sering difotokopi daripada digesek chip-nya, padahal data pribadi sangat rentan untuk disalahgunakan, menimbulkan kerugian finansial," ujar dia ketika dihubungi reporter Tirto, Jumat.

Menurutnya jika memang fotokopi data pribadi tak terhindarkan, pihak yang meminta harus memastikan itu langsung dihancurkan setelah dipakai. Ini semua dapat menghindari si pemilik data dari kerugian. Misalnya untuk pinjaman online. Sekarang ini banyak terjadi seseorang ditagih utang padahal tak pernah merasa meminjam. Itu karena si pelaku kejahatan menggunakan identitasnya.

"PR utamanya adalah melakukan integrasi antar lembaga. Misalnya Dukcapil Kemendagri sudah memberikan akses kepada swasta dan lembaga publik lain untuk melakukan verifikasi, namun ternyata masih banyak yang tidak siap. Akhirnya terjadi kasus seperti bobolnya rekening Ilham Bintang," jelas Pratama.

Untuk mengurangi kasus semacam ini, yang harus dilakukan menurutnya adalah meloloskan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. Dalam peraturan ini harus ada pasal soal standar teknologi, hukuman bagi penyelenggara sistem yang lalai, dan paling penting pembentukan Komisi Perlindungan Data Pribadi.

"Hal ini jarang dibahas padahal pengamanan data pribadi ini sangat fundamental di era siber sekarang," tutur dia.

Selain itu menurutnya yang tak boleh dilupakan adalah sikap masyarakat sendiri. Menurutnya secara umum kesadaran tentang keamanan data pribadi di Indonesia masih sangat rendah. Masyarakat masih dengan mudahnya berbagi informasi pribadi di mana pun, termasuk di media sosial.

Baca juga artikel terkait PERLINDUNGAN DATA PRIBADI atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Gilang Ramadhan
-->