Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Ketika Kepala Daerah Ramai-Ramai Diminta Nyaleg & Harus Mundur

Arfianto menilai aksi para kepala maupun wakil kepala daerah mundur dari jabatan karena maju pileg tidak etis.

Ketika Kepala Daerah Ramai-Ramai Diminta Nyaleg & Harus Mundur
Ilustrasi Caleg DPR dan DPD. tirto.id/Quita

tirto.id - Partai politik peserta pemilihan umum serentak 2024 resmi mendaftarkan bakal calon anggota legislatif (bacaleg) ke KPU. Dari ribuan nama dan beragam latar belakang yang didaftarkan, terdapat deretan kepala dan wakil kepala daerah. Berdasarkan Pasal 182 huruf k dan Pasal 240 ayat (1) huruf k UU Pemilu, mereka harus mundur dari jabatan mereka.

Dalam catatan Tirto yang dihimpun dari beragam pemberitaan, sejumlah kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tercatat maju nyaleg, antara lain: Bupati Lebak Iti Jayabaya dan Wali Kota Palembang Harnojoyo dari Partai Demokrat. Lalu, Wali Kota Parepare Taufan Pawe dari Golkar, Wali Kota Lubuklinggau SN Prana Putra Sohe dan Wakil Wali Kota Ternate Jasri Usman dari PKB.

Kemudian ada Wali Kota Jambi Syarif Fasha dari Partai Nasdem, Wakil Bupati Lingga Neko Wesha Pawelloy dari Partai Perindo, Bupati Tanah Laut Sukamta, Bupati Merangin Mashuri dan Wakil Bupati Merangin Nilwan Yahya, serta Wakil Wali Kota Serang Subadri dari PPP.

Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute, Arfianto Purbolaksono mengakui bahwa ada perubahan fenomena dalam pemilu di Indonesia. Umumnya, para kandidat memilih maju legislatif terlebih dahulu, kemudian mereka mundur untuk maju di pilkada. Ia menduga, hal ini tidak lepas dari situasi politik dan berupaya memanfaatkan situasi tersebut.

“Ini lebih ke peluang dan kedua sebenarnya, catatannya adalah ongkos politiknya memang besar dibandingkan kalau di [pil]kada lebih besar di legislatif," kata Arfianto saat dihubungi reporter Tirto.

Arfianto juga tidak memungkiri bahwa momen tersebut ada arahan dari partai politik. Ia beralasan, pemilu legislatif berkaitan dengan partai sebagai institusi. Parpol akan fokus dalam upaya meraup suara. Situasi tersebut berbeda dengan pilkada --bisa dilakukan dengan gabungan partai-- sehingga partai akan mengerahkan kader terbaiknya, termasuk para kepala daerah di pileg.

“Itu merupakan bagian dari strategi menyikapi pemilu serentak. Artinya mereka mengamankan dulu suara partai. Ketika suara partai sudah naik, ada limpahan suara di sana," kata Arfianto.

“Jadi bagaimana mereka itu misalkan yang penting tingkatin dulu suara partai. Kalau persoalan nanti guwa mau mencalonkan lagi, guwa mundur. Bisa jadi ada kemungkinan seperti itu,” kata Arfianto menambahkan.

Oleh karena itu, ia melihat metode ini lebih pada motif politik daripada untuk kepentingan publik. “Ini motifnya lebih banyak bagaimana meningkatkan suara partai karena dianggap si orang-orang ini memiliki popularitas cukup baik di mata publik dan akhirnya diharapkan bisa dikonversi ke suara,” kata Arfianto.

Namun, Arfianto menilai, aksi para kepala daerah maupun wakil kepala daerah mundur dari jabatan tidak etis. Sebab, kata dia, para kader yang menjadi kepala maupun wakil kepala daerah secara etika harus selesai hingga masa jabatan berakhir.

“Kan mereka amanatnya sampai masa kerja selesai. Jadi ketika mereka diamanatkan harusnya kan menjalankan amanat itu sampai tuntas," kata Arfianto.

Di sisi lain, mundurnya para kepala daerah merugikan bagi masyarakat. Ia beralasan, para kepala daerah yang mundur akan digantikan pelaksana tugas (Plt). Akan tetapi, Plt tidak bisa mengambil kebijakan strategis seperti penganggaran.

“Tentu akan ada persoalan kalau di ranah publik ketika diganti Plt, sedangkan posisi Plt tidak bisa mengambil kebijakan seperti kepala daerah tetap. Jadi ketika tidak bisa mengambil kebijakan besar artinya rakyat akan dirugikan," kata Arfianto.

Arfianto juga mengingatkan pemerintah agar berhati-hati dalam memilih Plt. Sebab, kata dia, pemilihan Plt bisa politis karena bisa saja tidak netral.

“Artinya kalau pemerintah pusat melalui Kemendagri harus menyikapi dengan tepat menugaskan Plt-nya, menunjuk Plt-nya di daerah tersebut walaupun publik harus mengawasi Plt akan berjalan seperti apa," kata Arfianto.

Sementara itu, analis politik dari Universitas Padjajaran Bandung, Kunto Adi Wibowo mengakui bahwa para kepala daerah diarahkan untuk memenangkan pemilu karena mereka terbukti terpilih sebagai orang nomor satu dan dua di daerah.

Partai, kata Kunto, akan berupaya untuk meraup suara maksimal di legislatif, termasuk para kepala daerah yang mepet akan selesai masa jabatan maupun masih menjabat selama suara legislatif bisa diperoleh maksimal.

Para kepala daerah yang sudah terbukti dipilih publik sehingga perlu dikelola, kata Kunto. Hal itu menjadi alasan utama partai meminta para kepala daerah untuk maju dan menjadi salah satu motif kuat partai mengajukan mereka sebagai bacaleg.

“Untuk vote gathers karena di partai kita nggak ada isu, nggak ada ideologi. Salah satu magnet bagi pemilih ya kepala daerah, tokoh di daerah, nggak ada yang lain," kata Kunto kepada reporter Tirto.

Kunto menilai, aksi partai yang meminta kader mereka maju berpotensi membawa kerugian. Kerugian bukan pada para kepala daerah itu mundur, melainkan efek turunan lain.

“Walaupun mereka mundur, mereka masih punya akses terhadap birokrasi, kedua terhadap fasilitas-fasilitas pejabat publik daerah walaupun sedikit pasti ada, ketiga dia masih punya semacam penghormatan feudal dari masyarakat yang kurang paham atau kurang berpengetahuan sehingga itu bisa dimanfaatkan untuk kemudian exercise power masa pemilu," kata Kunto.

Kunto menilai, masalah ini tidak serta merta bisa diselesaikan lewat regulasi. Ia lebih mendorong pengawasan publik yang diawali lewat edukasi politik seperti hak politik dan fasilitas maupun pengaruh kepala daerah yang maju nyaleg. Selain itu, peran media penting untuk mengurangi efek buruk.

“Regulasi bisa saja dicoba asal penegakan konsisten dan bagus,” kata Kunto.

Respons Partai

PPP mengakui bahwa para kepala daerah maupun wakil kepala daerah diarahkan untuk maju dalam pemilihan legislatif pada Pemilu 2024. Ketua DPP PPP, Achmad Baidowi menegaskan, tidak ada yang salah karena para kepala daerah itu mengikuti aturan perundangan. Ia pun tidak memungkiri bahwa pengajuan dilakukan dari penugasan partai.

“Ya memang karena masa jabatannya mau habis dan penugasan di eksekutif sudah selesai, kami geser penugasan ke parlemen," kata pria yang akrab disapa Awiek tersebut pada Rabu, 17 Mei 2023.

Awiek tidak memungkiri bahwa upaya pengarahan untuk kepentingan perolehan suara legislatif. Ia mengakui bila hal tersebut sebagai bagian strategi partai.

“Ya salah satu strategi begitu. Beliau-beliau itu, kan, maju kepala daerah mendapatkan dukungan mayoritas, harapannya yang mayoritas memilih mereka tetap memilihnya pada saat pencalonan sebagai anggota DPR, secara tidak langsung itu akan menopang suara partai," kata Awiek.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz