Menuju konten utama

Ketika Kaum Progresif Era Perang Menulis Sastra Anak

Ada sastrawan yang berkarya untuk anak-anak dan mereka menyelipkan pesan-pesan politis di dalamnya. Hal itu muncul di periode Perang Dunia II.

Ketika Kaum Progresif Era Perang Menulis Sastra Anak
Pippi langstrump. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Sebelum TikTok dan Instagram, pada suatu masa hiburan anak-anak adalah buku-buku cerita beserta para tokoh fiktifnya. Salah satunya Pippi Långstrump atau Pippi Si Kaus Kaki Panjang, anak 9 tahun berambut merah kepang dua asal Swedia.

Sejak terbit di pengujung 1945 atau persis setelah Perang Dunia II, buku Pippi sudah terjual 70 juta eksemplar dan diterjemahkan ke dalam 77 bahasa. Ia masuk dalam daftar 100 karya sastra terbaik sepanjang masa pilihan 100 penulis dari 54 negara dalam survei Norwegian Book Clubs dan Norwegian Nobel Institute. Artinya, Pippi Långstrump duduk berdampingan bersama mahakarya William Shakespeare dan Leo Tolstoy sampai Genji Monogatari (hikayat abad ke-11 dari sastrawan perempuan Jepang, Murasaki Shikibu) dan Divina Commedia (puisi naratif abad ke-14 karya penyair Italia, Dante Alighieri).

Pippi Långstrump kemudian diadaptasi ke medium audio visual, baik seri televisi atau film, sejak 1969.

Pippi, yang dikisahkan begitu perkasa sampai mampu mengangkat seekor kuda dengan tangan kosong, mungkin tidak terlihat spesial jika dibandingkan dengan karakter-karakter dalam karya sastra legendaris lain. Kendati demikian, Pippi diapresiasi sebagai tokoh pendobrak atau “radikal” pada zamannya, bahkan mungkin sampai hari ini. Ia mencerminkan jiwa bebas nan pemberontak yang berani menentang dan mempertanyakan aturan dan otoritas, termasuk dari orang dewasa.

Pippi si berandal bertolak belakang dari anak-anak lain yang tinggal bersama orang tua dan diajari untuk patuh dan disiplin. Ia tinggal sendirian di rumah, hanya ditemani monyet dan kuda peliharaan.

Pippi melakukan apa saja yang ia mau: tidur dengan kaki di atas bantal, menolak bersekolah, mengusir pencuri, sampai membopong dua polisi keluar dari rumahnya karena mereka memaksa Pippi tinggal di panti asuhan. Di samping itu, ia juga seorang pemberani yang selalu membela teman saat ditindas anak lebih tua.

Pencipta karakter unik ini adalah seorang ibu rumah tangga yang anti-fasis, Astrid Lindgren (1907-2002). Ia begitu membenci perang dan terutama Adolf Hitler. Pandangan politik ini baru terbaca jelas pada 2015, ketika buku hariannya diterbitkan dalam judul War Diaries, 1939-1945.

“Sayang sekali tak ada yang menembak Hitler,” kata Lindgren pada 13 Oktober 1939 ketika mendapati tanah airnya yang bersikap netral, Swedia, tak luput dari krisis akibat perang. Ketika tahu rencana Hitler membiarkan orang-orang Yahudi mati kelaparan di Polandia, Lindgren bertanya-tanya, “Bagaimana bisa Hitler memperlakukan sesama manusia seperti itu?” Ia juga menulis dalam catatan harian, “Apakah betul-betul diperlukan tak lebih dari segelintir orang seperti Hitler dan Mussolini untuk mendorong seluruh dunia ke dalam kehancuran dan kekacauan?”

Lindgren pernah menyindir pemimpin Nazi ini melalui tokoh rekaannya. Alkisah, ada seorang pemain sirkus bernama Adolf Sang Perkasa. Meski disebut sebagai laki-laki terkuat di dunia, anak sekecil Pippi dengan mudah mengangkat dan melempar tubuh Adolf. Ia mempermalukan pria berotot tersebut di hadapan para pemirsa sirkus.

Richard W. Orange di Aeon menyebut pemikiran Lindgren memang dipengaruhi kuat oleh pengalamannya menyaksikan totalitarianisme dan kekerasan semasa perang. Karena itu dapat dipahami Lindgren lewat karyanya ingin menjaga generasi muda agar tidak hanyut dalam “konformitas dan pemujaan terhadap kekuasaan.”

Karakter Pippi sempat dikritik oleh pemerintah yang didominasi Partai Sosial Demokrat Swedia. Partai yang pendekatan politiknya agak kaku ini menganggap tindakan Pippi sudah mencerminkan “individualisme yang anarkis,” tulis Orange. Sementara Lindgren sendiri menjelaskan bahwa Pippi “merepresentasikan kerinduan kanak-kanak saya untuk bertemu seseorang yang punya kekuasaan namun tidak menyalahgunakannya.”

Rodari, Penulis Kesayangan Anak-Anak Italia

Gianni Rodari (1920-1980) asal Italia juga menyuarakan kritik politik lewat sastra anak. Ia mulai aktif menulis cerita dan puisi untuk anak-anak setelah Perang Dunia II.

Ia adalah satu-satunya orang Italia yang mendapat penghargaan bergengsi Hans Christian Andersen Medal atas kontribusinya di dunia literatur anak. Namun ia tidak terlalu dikenal di negara-negara berbahasa Inggris, terutama Amerika Serikat dan para sekutunya. Salah satu alasannya disinyalir berkaitan dengan afiliasi Rodari pada Partai Komunis Italia selama Perang Dingin.

Kumpulan cerpen anaknya (70 kisah) yang paling terkenal, Favole Al Telefono atau Kisah-kisah Telepon, yang formatnya adalah cerita bapak kepada anak melalui telepon, ​terbit perdana pada 1962. Naskah ini baru diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris di AS pada 2020, persis 40 tahun setelah Rodari meninggal dunia.

Rodari lahir di Italia sebelah utara. Ibunya asisten rumah tangga, bapaknya pembuat roti yang meninggal karena pneumonia ketika Rodari berusia 9 tahun. Lingkungan mereka kala itu melarat di bawah rezim fasis Benito Mussolini.

Rodari yang sedari kecil suka membaca sempat berkarier sebagai guru SD. Ketika Perang Dunia II meletus, ia bergabung dengan Pasukan Resistance dan Partai Komunis. Setelah perang usai ia ditugaskan untuk menulis berita politik di koran partai, L’Unità, dan mengasuh publikasi khusus pembaca anak-anak, Il Pioniere.

Di Il Pioniere, Rodari menulis puisi-puisi jenaka tentang keseharian anak-anak dan keluarga. Karyanya begitu digemari sampai-sampai ia menerima surat dari pembaca kecil yang meminta agar dibuatkan puisi tentang ayahnya yang bekerja sebagai sopir trem, atau tentang anak yang tinggal di bangunan bawah tanah.

Rodari lantas mulai menerbitkan buku, salah satunya rilis pada dekade 1950-an, Le Avventure Di Cipollino atau Petualangan Bawang Bombai Kecil. Ceritanya tentang sayur-mayur serta buah-buahan, komoditas yang sulit diperoleh rakyat Italia pascaperang. Tokoh Cipollino, Zucchini, Stroberi, dan Parsley yang harganya relatif murah di pasar diceritakan melawan tirani Lemon beserta bahan pangan yang harganya lebih mahal seperti Ceri dan Tomat.

Tak hanya dibaca di Italia, buku ini juga jadi bacaan favorit anak-anak di negara-negara Uni Soviet.

Meskipun dibingkai dalam tema kebaikan versus kejahatan, kisah Cipollino menyiratkan perjuangan kelas yang mencoba menyadarkan pembaca muda tentang pentingnya melawan penindasan terhadap kaum lemah dan penyelewengan oleh orang-orang yang berkuasa.

Nama Rodari masih diingat baik oleh generasi muda Italia masa kini. Martina (29 tahun), penulis dan penerjemah yang tinggal di Turin, menyampaikan kepada saya bahwa karya favoritnya berjudul Il Libro Degli Errori (1964) atau Buku tentang Kekeliruan. Isinya berupa puisi dan cerpen jenaka yang dipetik dari kekeliruan anak-anak, terutama tentang kesalahan dalam mengeja. Topik yang mirip juga ditemukan dalam buku berjudul La Grammatica Della Fantasia (1974) atau Tata Bahasa Fantasi, kumpulan esai panduan para guru untuk menggugah kreativitas murid melalui dongeng atau cerpen.

Joan Acocella menulis di The New Yorker bahwa Rodari adalah manusia sederhana yang ikut menyelami kesulitan orang lain. Selama menjadi guru, Rodari mengamati betapa miskin murid-muridnya sampai tidak bisa masuk sekolah pada musim dingin hanya karena tidak punya sepatu. Di samping itu, sebagian besar muridnya tidak menguasai bahasa Italia standar. Inilah yang membuat Rodari memutuskan bercerita, agar anak-anak tidak dipermalukan orang lain karena kemampuan bahasanya serta agar mereka dapat mengembangkan pola berpikir imajinatif.

Guru SMA di Genoa, Giulia (34), juga mengatakan suka karya Rodari. “Aku tidak ingat secara spesifik, tapi puisi dan kisah-kisahnya menceritakan tentang bagaimana jadi orang yang baik dan mau menerima satu sama lain,” kata Giulia kepada saya ketika dihubungi via pesan singkat 15 November lalu.

Kesan yang ditangkap Giulia bisa dipahami karena pesan moral dari cerita Rodari memang bersifat universal. Melansir tulisan Giorgio Diamanti, Rodari menghadapkan pembacanya pada permasalahan yang memengaruhi seluruh umat manusia dalam rangka “merangsang refleksi dan komitmen mereka.” Karya-karyanya mengkritik perang karena muncul “ajakan untuk menyayangi satu sama lain, mengakui kita semua bersaudara, dan membangun masa depan yang damai dalam solidaritas.”

Dalam buku Kisah-Kisah di Telepon, nuansa politis Rodari juga terasa halus. “Ia meletakkan politik dalam cerita-ceritanya dengan cara yang membuatmu tidak bisa bilang, ‘Ah, ini ideologi sosialis,’ tapi membuatmu mempertanyakan apa yang tengah terjadi di dunia dan bagaimana orang-orang terkadang bisa bersikap tak masuk akal,” ujar Jack Zipes, profesor emeritus dari University of Minnesota di bidang sastra perbandingan sekaligus penerjemah buku Rodari, kepada New York Times.

Namun Rodari tetap tidak terbebas dari kritik dari sejumlah pihak, misalnya Partai Komunis meskipun dirinya juga bagian dari mereka, kata Giorgio Chiappa dalam artikel di Jacobin. “Antiotoritarianisme yang disuarakan dalam cerita-ceritanya tidak cocok menurut pihak-pihak tertentu, dan Rodari menghadapi pengucilan yang lumayan besar karena pandangannya yang tidak ortodoks ini,” tulis Chiappa.

Sastra Proletar untuk Anak Kaum Pekerja Jepang

Di Jepang, kita menemukan hal seperti karya Lindgren dan Rodari salah satunya dari majalah berjudul Shōnen Senki, terbit sebentar pada 1929-1931, kurang lebih sebelum Perang Dunia II meletus. Pembuatnya adalah para sastrawan proletar dan intelektual kiri.

Meskipun judul majalah ini bisa diartikan Bendera Perang Anak Laki-laki, ia ditujukan untuk “anak laki-laki dan perempuan petani pekerja,” demikian tulis Norma Field, profesor emeritus dari University of Chicago, dalam kata pengantar buku kumpulan cerpen For Dignity, Justice, and Revolution: An Anthology of Japanese Proletarian Literature (2016).

Di dalamnya terdapat cerpen, puisi, lirik lagu, surat pembaca, sampai rubrik pengenalan tokoh seperti aktivis antiperang dan ekonom Marxis asal Jerman, Rosa Luxemburg. Beberapa artikel juga menyinggung keseharian “pionir muda” di Uni Soviet atau di AS, bahkan anak-anak Korea yang negaranya masih dijajah Jepang.

Anak-anak dari petani penggarap di Jepang pada masa itu tak hanya kekurangan materi. Mereka juga tidak dimengerti oleh guru-gurunya serta teman-teman sekelas yang orang tuanya lebih mapan. Penderitaan mereka tambah berat ketika menyaksikan orang tua kerap dihina karena ada dalam lapisan terbawah dalam struktur masyarakat yang timpang.

Oleh karena itu, meski politisasi karya sastra untuk anak-anak dihujani kritik keras, “masuk akal jika anak-anak perlu ikut dalam arus politisasi karena mereka turut berjuang bersama orang tuanya,” tulis Field.

Salah satu cerita menarik dari Shōnen Senki edisi September 1929 berjudul 'Kematian Si Jangkrik' karya Murayama Kazuko, satu dari segelintir tokoh perempuan dalam gerakan sastra anak proletar. Isinya tentang seekor jangkrik yang dipecat karena kakinya terluka parah saat bekerja di pabrik. Ketika pergi ke rumah sakit untuk mendapat perawatan, ia ditolak karena tidak mampu membayar—lalu mati. Sedangkan seekor jangkrik lain yang terlihat kaya raya dirawat dengan penuh perhatian cuma gara-gara keluhan cegukan.

Direktur rumah sakit binatang, Si Lebah, bercerita kepada jangkrik kaya tentang jangkrik miskin yang ingin dapat layanan gratis. “Dia (si jangkrik miskin) adalah salah satu tipe pekerja dan begitu kurang ajar sampai Si Cacing harus mengusirnya. Hal demikian tentu tidak terpikir oleh kaum beradab seperti kalian, saya yakin, tapi nampaknya cukup sering terjadi di kalangan kelas bawah!”

Infografik mild kaum progresif dan sastra anak

Infografik mild kaum progresif dan sastra anak.(tirto.id/Fuad)

Cerita lain, masih ditulis oleh Kazuko, sesederhana pertemanan seekor gajah dan tikus. Cerita pendek ini diterbitkan dalam serial anak-anak oleh asosiasi Pers Teman Perempuan. Si Gajah yang sombong dan egois kerap menindas Si Tikus yang penakut namun pintar. Suatu ketika, dengan teleskop, Si Tikus bisa melihat betapa kecilnya Si Gajah. Sebaliknya, ketika Si Gajah memaksa untuk melihat teleskop dari sisinya, Si Tikus justru terlihat sangat besar. Semenjak itu Si Gajah jadi lebih menghargai kepintaran Si Tikus. Kisah ini mengajari anak-anak bahwa apa pun latar belakangnya mereka perlu rajin belajar supaya tidak merasa “kecil” atau takut dengan orang-orang “besar” yang penindas.

Menjelang pertengahan dekade 1930-an, Jepang semakin ganas berekspansi ke Cina dan Asia Tenggara sampai akhirnya bersekutu dengan rezim fasis Jerman dan Italia pada 1940. Gerakan intelektual kiri yang gencar mengkritisi otoritas Jepang pun digilas habis-habisan. Media-media kiri dan produk sastra proletar mulai disensor dan diberedel. Aktivis kiri harus bersembunyi atau siap dipersekusi polisi, dipenjara, atau dipaksa mengubah ideologinya.

Terpengaruh Perang Dunia II dan prihatin dengan dampaknya yang destruktif, para intelektual progresif berusaha memberikan harapan kepada generasi muda melalui karya sastra sederhana. Beberapa warisan mereka masih bertahan sampai hari ini, seperti karya Lindgren dan Rodari, atau mungkin terbatas dipelajari di ruang-ruang kuliah seperti karya sastra proletar Jepang.

Baca juga artikel terkait KARYA SASTRA atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino