Menuju konten utama

Ketika Jokowi dan Anies Digugat karena Polusi Udara di Jakarta

Salah satu hak warga negara yang dijamin konstitusi adalah hak kelangsungan hidup (Pasal 28B ayat 1), itu termasuk lingkungan yang sehat.

Ketika Jokowi dan Anies Digugat karena Polusi Udara di Jakarta
Kondisi udara di Ibukota DKI Jakarta dengan latar belakang gedung tinggi di Jakarta, Selasa (17/7/2018). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

tirto.id - Badan Kesehatan Dunia (WHO) punya standar untuk menyebut udara sehat. Udara sehat adalah yang punya partikel debu halus atau PM (Particulate Matter) 2,5 sebesar 25 µg/m³.

Komponen utama PM adalah sulfat, nitrat, amonia, natrium klorida, karbon hitam, debu mineral, dan air. Selain itu, PM adalah campuran kompleks partikel padat dan cair dari zat organik dan anorganik yang tersuspensi di udara. Merujuk pada standar ini, maka udara di Jakarta tak bisa disebut sehat.

Berdasarkan data alat pemantau kualitas udara DKI Jakarta, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyebut PM 2,5 di atas 38 µg/m³, bahkan mencapai 100 µg/m³ pada hari-hari tertentu.

Dari catatan alat pemantau kualitas udara kedutaan Amerika Serikat pada Januari hingga Oktober 2018, masyarakat Jakarta Pusat menghirup udara tidak sehat selama 206 hari, sementara di Jakarta Selatan mencapai 222 hari.

Atas dasar itu, sejumlah orang yang tergabung dalam Gerakan Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta menggugat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dengan mekanisme citizen law suit (CLS) atau gugatan warga negara. Notifikasi gugatan diserahkan koalisi di Balai Kota DKI, Rabu (5/12/2018) kemarin.

Citizen law suit, mengutip salah satu putusan Mahkamah Agung (PDF), adalah mekanisme yang sebetulnya tidak dikenal dalam sistem hukum civil law Indonesia. "Namun gugatan dengan mekanisme ini telah beberapa kali muncul dan di antaranya telah diterima hak gugatnya." Sumber yang sama juga menyebut kalau gugatan via citizen law suit "pernah ada yang dikabulkan, bahkan ada yang diputus di tingkat kasasi."

Tergugat selalu penyelenggara negara yang dianggap lalai memenuhi hak warga negaranya, dalam hal apa pun.

Gugatan tak cuma dilayangkan kepada Anies, tapi juga Presiden Joko Widodo, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan, Gubernur Jawa Barat, dan Gubernur Banten.

Arip Yogiawan, satu dari 19 penggugat, mengatakan kepada reporter Tirto, tujuan mereka adalah "meminta supaya Gubernur DKI memiliki agenda untuk menanggulangi polusi udara di Jakarta. Di antaranya memiliki rencana aksi."

Arip mengemukakan, Pemprov DKI Jakarta perlu berkoordinasi dengan pemerintah daerah lain. Ini lantaran polusi yang terjadi di Jakarta merupakan limpahan dari kawasan industri yang terletak di provinsi sekitarnya, seperti Jawa Barat dan Banten.

"Sejauh ini, kualitas udara di Jakarta kami nilai buruk. Namun pemerintah dinilai tidak memiliki rencana aksi yang memadai, sementara pemerintah pusat tidak memiliki panduan koordinasi. Padahal sumber pencemar itu berasal dari provinsi atau daerah lain," jelas Arip.

infografik polusi jakarta

Direktur Eksekutif Walhi DKI Jakarta Tubagus Soleh Ahmadi mempertegas pernyataan Arip. Katanya hingga saat ini koordinasi antarpemerintah daerah memang masih minim. Ia juga menegaskan kembali jika udara di Jakarta tak sehat.

"PM 2,5 dapat terhirup dan mengendap di organ pernapasan. Jika terpapar dalam jangka tertentu dapat menyebabkan infeksi saluran pernapasan akut, terutama bagi anak-anak, ibu hamil, dan lansia," kata Bagus kepada reporter Tirto, Kamis (6/12/2018).

Kebijakan yang Bermasalah

Salah satu usulan penggugat untuk mengatasi polusi udara adalah dengan mempercepat revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Ini bukan kewenangan Anies, tapi pemerintah pusat.

Menurut Dosen Hukum Lingkungan dari Universitas Indonesia Andri Gunawan Wibisana, aturan hukum tersebut memang bermasalah dan harus segera diubah.

"Saya belum baca gugatannya. Tapi memang PP itu sudah seharusnya diganti. PP dasar [hukumnya] masih UU lama, UU 23/1997, padahal UU-nya sudah berganti menjadi UU 32/2009, yang memang meminta ganti peraturan,” kata Andri kepada reporter Tirto.

Kenapa perlu diubah? Menurut Andri selain karena memang UU-nya sudah berubah, PP perlu mengakomodir standar baku mutu baru berdasarkan penelitian termutakhir. Dalam PP yang ada sekarang misalnya, standar PM 2,5 yang ditetapkan pemerintah adalah 65 mg/m³, padahal WHO menetapkan angka 25 µg/m³.

"Paling tidak disesuaikan dengan standar WHO," kata Bagus.

Apa respons Anies? Di Hotel Borobudur, Jakarta, Kamis (6/12/2018), ia mengapresiasi gugatan ini. Namun baru sebatas itu. Anies belum menjelaskan bagaimana ia menanggulangi polusi udara.

"Tadi malam, saya selaku Kepala BKSP (Badan Kerja Sama Pembangunan), diskusi dengan semua kepala daerah di 12 daerah. Agenda utamanya soal air, lingkungan hidup, dan transportasi. Salah satunya soal lingkungan hidup," kata Anies.

Baca juga artikel terkait POLUSI UDARA atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Rio Apinino