Menuju konten utama

Ketika Hari Valentine di Manado Diwarnai Peristiwa Merah Putih

Peristiwa Merah Putih pada 14 Februari 1946 di Manado digerakkan oleh para anggota KNIL.

Ketika Hari Valentine di Manado Diwarnai Peristiwa Merah Putih
Ilustrasi Tentara. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Sebelum Jepang menduduki Hindia Belanda, Charles Choesoy Taulu (1906-1969) sudah menjadi anggota KNIL. Ia kemudian termasuk golongan bawah tanah yang anti terhadap tentara fasis Jepang. Setelah Nippon kalah, seperti disebut Abdul Haris Nasution dalam Seputar Perang Kemerdekaan 3 (1991:290), Taulu masuk kembali ke KNIL sebagai pengurus peralatan, perlengkapan, dan perbekalan di asrama Teling, Manado, dengan pangkat sersan.

Orang-orang Belanda yang kembali berkuasa rupanya kurang menyadari bahwa setelah 1945, anggota KNIL di Minahasa mengalami perubahan, termasuk Taulu.

Menurut Ben Wowor dalam Sulawesi Utara Bergolak: Peristiwa Patriotik Merah-Putih, 14 Pebruari 1946 dalam Rangka Revolusi Bangsa Indonesia (1985:42), dalam tubuh KNIL Belanda terjadi praktik “membeda-bedakan pembagian jatah jenis rokok untuk KNIL Belanda dan KNIL Indonesia.”

Orang-orang Belanda mendapat rokok macam Chesterfield, Lucky Strike, dan Players. Sementara serdadu KNIL asal Indonesia mendapat rokok dengan kualitas lebih rendah seperti Homare dan Kinsi. Masalahnya kemudian bukan sekadar rokok. Prajurit KNIL asal Minahasa seperti Taulu juga sudah punya simpati kepada Republik Indonesia.

Prajurit KNIL lain yang berpangkat sersan seperti Taulu adalah S.D. Wuisan, kelahiran 1914. Dalam Ringkasan Riwajat Hidup Anggota DPRD I 1977 (1980:35) disebutkan, Wuisan bergabung dengan KNIL sejak 1934. Kemudian antara 1936-1937 dan 1937-1938, ia menghadiri Kaderschool hingga menjadi sersan.

Taulu, Wuisan dan anggota KNIL lain yang tidak suka kepada Belanda pernah mengadakan rapat rahasia. Kedua orang ini mempunyai banyak pengikut di kalangan kopral dan serdadu bawahan lainnya yang siap memberontak.

Menurut Laurens Manus dkk. dalam Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) Daerah Sulawesi Utara (1992:94-95), rapat rahasia tersebut diadakan pada tanggal 7 Februari di rumah Lapian di Desa Singkil, Manado Utara. Pertemuan berikutnya digelar di rumah Wuisan di Desa Titiwungen, Menado Selatan.

Sebelum gerakan dimulai, Taulu pernah menyambangi Bernard Wilhelm Lapian, mantan anggota dewan rakyat kolonial yang pro Republik. Lapian mendukung rencana Taulu dan kawan-kawannya, meski dia sadar peluang gagal teramat besar.

Pada 10 Februari 1946, Militaire Politie (Polisi Militer Belanda) menahan Taulu dan Wuisan berdasarkan perintah Kapten Bloom, Komandan Garnisun Manado. Anggota gerakan lain yang bukan berasal dari KNIL juga ditangkap, seperti John Rahasia dan Mat Canon. Meski kondisi semakin buruk dengan kerasnya otoritas Belanda kepada pemimpin mereka, rapat rahasia terus diadakan. Tanggal 12 Februari 1946, pertemuan dipimpin Lapian. Mereka sepakat mempercepat dimulainya gerakan dua jam lebih awal.

Kopral Runtukahu dengan 8 orang bawahannya dari kompi VII bersiap. Lalu pada 14 Februari 1946, mereka memulai pergerakan dengan merebut gudang senjata di asrama Teling I. Berbekal senjata tanpa peluru, mereka berhasil mengelabui bintara piket dan bawahannya yang menjaga asrama dan gudang senjata. Selain merampas senjata, mereka berhasil membebaskan Taulu dan Wuisan. Selanjutnya, KNIL pro Indonesia bersama pemuda-pemuda Republiken Manado bergerak menangkapi orang-orang Belanda.

Dalam peristiwa yang belakangan dikenal sebagai Peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946 itu, Taulu dan kawan-kawannya membentuk Tentara Rakyat Indonesia Sulawesi Utara (TRISU). Mulanya, para KNIL dan pemuda yang melawan Belanda itu menginginkan Jan Kaseger sebagai komandan TRISU sebab ia paling senior, baik secara usia maupun secara kedinasan di KNIL.

Infografik Peristiwa Merah Putih di Manado

Infografik Peristiwa Merah Putih di Manado 14 Februari 1946. tirto.id/Fuad

Namun, Jan Kaseger merasa terikat sumpah setia kepada Ratu Belanda. Seorang Republiken bernama AS Rombot berusaha membujuknya, bahwa sumpah itu tidak berlaku lagi. Bagaimana pun KNIL sudah bubar pada 8 Maret 1942 di Kalijati. Jan Kaseger bergeming. Dalam buku Peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946 (1997:179) disebut Jan Kaseger tampak ragu untuk ikut gerakan Taulu dan kawan-kawannya.

“Het gaat verkeerd, neem de zaak over!,” Chris Ponto membisiki Taulu—yang artinya kira-kira: itu tidak benar, ambil alih! Sementara AF Nelwan memainkan pistolnya karena tidak puas dengan sikap Kaseger yang ogah-ogahan.

“Kalau demikian halnya, maka pimpinan ketentaraan saya ambil alih,” kata Taulu. Tanpa berat hati Kaseger membalas, “baiklah, silahkan bertindak.”

Meski ogah-ogahan ikut Republiken, Kaseger tetap diikutkan dalam gerakan. Dalam Republik Indonesia Propinsi Sulawesi (1953:239) disebutkan, Kaseger “juga diangkat menjadi mayor, tetapi belakangan mengundurkan diri karena tidak menyetujui pemberontakan ini.”

Tokoh lain yang tidak bersemangat adalah dokter Roland Tumbelaka. Dia bahkan berkata, “jangan bertindak mengikuti jejaknya saudara-saudara di Jawa dan Sumatra karena bertentangan dengan undang-undang internasional.” Namun para pemuda pro Republik tetap pada sikapnya. Di sisi lain, otoritas Belanda memperkuat KNIL di Manado untuk kemudian mengadang Taulu dan kawan-kawan. Kelompok yang melakukan perebutan kekuasaan ini lalu melemah.

Pada 10 Maret 1946, seperti dicatat FR Mawikere dalam BW Lapian: Nasionalis Religius dari Timur 1892-1977 (2012:22), ketika Pasoekan Pemoeda Indonesia (PPI) hendak menaikkan senjata ke atas truk di Teling, Manado, mereka ditodong senjata oleh pasukan KNIL pimpinan Kaseger.

Para pimpinan perebutan kekuasaan, termasuk Taulu, juga kena gulung dan ditahan. Taulu dipenjarakan mulai dari Manado, kemudian pindah ke Makassar, Balikpapan, dan Jatinegara. Akhir 1949, Taulu baru dibebaskan dari tahanan Belanda. Sementara itu, Kaseger dipindahkan ke Jawa dan naik pangkat sebagai Mayor KNIL. Dia tutup usia pada 1951 di Belanda.

Wuisan, setelah 1950 menjadi perwira polisi RI. Antara 1950-1952, ia menjadi kepala polisi negara untuk daerah Sulawesi Utara dan Tengah. Pada 1954, Wuisan menjadi Ketua Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), dan di masa Orde Baru ikut Golongan Karya serta menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Sementara itu, Taulu juga menjadi sepuh yang dihormati. Taulu meninggal di rumah sakit Gatot Subroto pada 20 Mei 1969 dan dimakamkan di Kalibata.

Baca juga artikel terkait PEMBERONTAKAN atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh