Menuju konten utama

Ketika Guru Dirundung Murid, Bagaimana Mencegahnya?

Kasus perundungan guru oleh murid cukup sering terjadi, tapi jarang disadari.

Ketika Guru Dirundung Murid, Bagaimana Mencegahnya?
Ilustrasi perundungan. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Beberapa hari belakangan, sebuah video mendadak viral secara online. Video yang berdurasi 24 detik tersebut memperlihatkan bagaimana seorang guru tengah mendapat perundungan (fisik) dari sekelompok murid di dalam kelas. Masyarakat pun segera mengutuk keras video tersebut.

Berdasarkan laporan Tirto (12/11/2018), sekelompok murid dalam video tersebut berasal Sekolah Menengah Kejuruan Nahdlatul Ulama 03 Kaliwungu Kendal, Jawa Tengah. Sementara guru yang dirundung bernama Joko. Namun, menurut Kepala SMK NU 03, Muhaidin, situasi di dalam video tersebut hanyalah gurauan belaka dan bukan termasuk perundungan.

Pengakuan Muhaidin turut dibenarkan oleh Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Jawa Tengah, Gatot Bambang Hastowo. Sebagaimana yang dikatakannya kepada Tirto, Senin (12/11/2018), dari klarifikasi yang dilakukan kepada kepala sekolah, wakil kepala sekolah, dan juga guru terkait, Gatot menyimpulkan kejadian itu memang gurauan belaka.

“Intinya sebenarnya itu adalah gurauan dengan guru itu. Bergurau guru itu. Guru itu, kata kepala sekolah, pendekatan dengan siswanya memang seperti itu. Dekat gitu, ya. Jadi itu diviralkan seolah bukan gurauan, kan. Saya peringatkan hal seperti itu jangan sampai terjadi,” kata Gatot.

Klarifikasi yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan Jawa Tengah dilakukan pada Sabtu (10/11/2018). Gatot beralasan klarifikasi itu dilakukan melalui telepon karena kegiatan belajar-mengajar memang tengah libur. “Sudah diklarifikasi semuanya. Guru itu memang sembrono seperti itu. Sering bermain dengan anak seperti itu. Sering bermain dengan anak," ujar Gatot.

Teror Geng Lemphizi di SMA Botswana dan Teror Amy Sulkis

Terlepas dari klarifikasi yang dilakukan Disdik, kasus perundungan yang menimpa guru di sekolah memang cukup marak terjadi. Salah satu yang terparah pernah (dan masih terjadi hingga saat ini) di salah satu SMA di Botswana, selatan Afrika.

Di desa Mmadinare, Botswana, terdapat geng murid di SMA setempat yang menamakan diri mereka Lemphizi. Dengan berjumlah sekitar 15-20 anggota, geng Lemphizi kerap menjadikan guru-guru di sekolah, baik pria maupun wanita, sebagai target perundungan hingga penyerangan fisik. Selain itu, mereka juga kerap terlibat beberapa aksi kriminal ringan seperti pencurian dan vandalisme.

Pihak orangtua yang mendapat laporan dari anak-anak mereka turut mengkhawatirkan gejala tersebut. Ironisnya, ketika mereka mengadukan hal ini, pihak sekolah terkesan menutup mata dan tidak melakukan apapun. Beberapa dari orangtua ini pun kemudian memutuskan untuk menceritakannya kepada media lokal, Mmegi Online, tapi dengan identitas anonim demi menjaga keamanan.

“Laporan yang kami dapatkan, anak-anak yang merupakan murid di SMA Mmadinare ini kerap melecehkan orang lain di lingkungan sekolah. Mereka mendorong siswa perempuan ke dalam gudang dan menghilangkan barang-barang berharga mereka seperti kalkulator dan tas sekolah bermerek seperti Nike, Puma, dan lain-lain. Bahkan juga melecehkan mereka secara seksual.”

Keberingasan teror geng Lemphizi memang kelewat batas. Bahkan, pernah mereka menghadang guru wanita di jalan lantaran sebelumnya ia sempat menasehati beberapa anggota tersebut di sekolah. Tak lama usai kejadian itu, geng Lemphizi juga kembali berbuat ulah dengan membawa berbagai senjata tajam ke sekolah seperti kapak, pedang, dan golok.

Beberapa guru di SMA tersebut juga menyayangkan mengapa pihak sekolah yang semestinya bertanggung jawab tidak pernah melakukan apapun demi memberantas teror geng Lemphizi.

“Komite disiplin telah kehilangan fungsinya dan para siswa mengambil keuntungan dari kekosongan ini untuk melakukan apa yang mereka inginkan. Baru-baru ini ada perkelahian di lingkungan sekolah dan hal tersebut telah menciptakan rasa takut,” keluh salah satu guru yang juga menyamarkan identitas aslinya.

Sementara itu, Kepala Sekolah SMA Mmadinare, Sechaba Oabile, telah menyangkal keberadaan geng Lemphizi. Oabile justru menganggap sikap para orangtua yang menceritakan kepada media mengenai teror tersebut membuat situasi semakin buruk.

Sebelumnya ia juga pernah mendatangkan pihak kepolisian untuk melakukan penyelidikan, termasuk menangani para siswa yang “bermasalah”. Hal ini dibenarkan oleh Inspektur Victor Nlebesi, komandan polisi di Selebi-Phikwe, sebuah distrik di Mmadinare.

“Polisi pernah datang ke SMA Mmadinare untuk menyelidiki laporan para siswa yang mengganggu orang lain. Kami juga pergi ke sana untuk memastikan masalah tersebut diselesaikan secara administratif,” kata Nlebesi.

Kasus perundungan guru yang dilakukan murid juga pernah menimpa Amy Sulkis, seorang guru di SMA Downey Unified School District di Los Angeles, AS, pada tahun 2015. Sulkis menjadi korban perundungan di media sosial hingga mengarah ke pelecehan seksual.

Kasus yang menimpa Sulkis cukup pelik. Sebermula ketika ia mendapati sebuah akun Twitter palsu yang mengatasnamakan dirinya yang dibuat sejak tahun 2013. Ironisnya, akun tersebut kerap bercuit tak senonoh, termasuk kerap mengomentari kultur sekolah tempat ia mengajar. Pendek kata, ia telah difitnah melalui akun palsu tersebut.

Pada 2014, Sulkis juga mendapati seorang muridnya bernama Andrew Mejia pernah merundungnya melalui gambar porno di Twitter. Cuitan tersebut pun membuat heboh SMA Downey. Seorang murid lain juga pernah mengancamnya di Twitter melalui gambar senapan AK-47 setelah Sulkis mengadukan nama-nama murid yang bermasalah ke komite disiplin sekolah.

Akibat berbagai perundungan tersebut, Sulkis pun mengalami depresi. Ia sampai mengambil cuti setahun untuk memulihkan tekanan emosional yang ia alami. Setelah itu, Suklis menempuh langkah hukum untuk menggugat para murid, terutama Meija, ke meja hijau.

Infografik Gangguin guru

Kasus Perundungan Guru dan Bagaimana Mencegahnya?

Perilaku perundungan yang dilakukan murid terhadap guru sudah menjadi tabiat umum di berbagai sekolah, namun amat jarang guru yang menjadi korban perundungan mengadukan hal ini ke pihak sekolah.

Dalam konteks Amerika tahun 2013, kasus perundungan guru bahkan sempat menjadi krisis nasional. Oleh National Education Association (NEA), kasus tersebut dideskripsikan dengan istilah “overlooked crisis” atau “krisis yang diabaikan”. Riset yang dilakukan American Psychological Association (APA) pada tahun yang sama menunjukkan, 80 persen guru di Amerika pernah menjadi korban perundungan murid.

Laporan lain dari Indicators of School Crime and Safety Report (PDF, 2013) memperlihatkan bahwa sepanjang periode 2009 hingga 2010, 23 persen guru mengetahui kasus perundungan yang menimpa guru, dan 9 persen di antaranya mengaku telah menjadi korban. Sementara riset Departemen Pendidikan AS (PDF, 2015) menyebut 20 persen guru-guru di sekolah publik pernah mengalami perundungan verbal dan 10 persen lainnya menjadi korban perundungan fisik.

“Berjalan di depan sekelompok murid terasa intimidatif. Mereka akan menantangmu secara akademis, sosial, dan, saya benci mengatakan ini, mereka juga akan menantang Anda secara fisik. Anak-anak hanya ingin sejauh mana batasannya,” ujar Bill Bond, mantan guru dan kepala sekolah di AS yang kini menjadi konselor di National Association of Secondary School Principals.

Bond mengatakan, banyak guru-guru muda yang takut mengakui bahwa mereka telah menjadi korban perundungan para murid karena hal itu dirasa “tidak efektif”. Bahkan, sejatinya, jauh lebih umum bagi guru menerima perundungan dibanding murid.

Setiap guru, menurut Bond, jelas bukan makhluk yang polos tanpa dosa. Namun, jika murid merasa tidak dihormati oleh guru, mereka akan menantang dan secara perlahan menjadikannya sebagai sesuatu yang personal. Maka untuk mencegah terjadinya konflik satu sama lain, hanya ada satu kunci: “saling menghargai,” ujar Bond.

Esais Soe Hok Gie pernah mengatakan hal senada: “Guru bukan dewa dan murid bukan kerbau.”

Baca juga artikel terkait KASUS PERUNDUNGAN GURU atau tulisan lainnya dari Eddward S Kennedy

tirto.id - Pendidikan
Penulis: Eddward S Kennedy
Editor: Maulida Sri Handayani