Menuju konten utama

Ketika Dunia Mengingat Permainan yang Terlupakan

Permainan tradisional kalah pamor dengan permainan modern yang terus berkembang. Namun, semangat melestarikan permainan ini terus ada dan menjadi perhatian dunia. Indonesia termasuk negara yang memiliki banyak permainan tradisional. Sayangnya sosialisasi pada permainan ini masih minim mulai di tingkat keluarga, masyarakat, hingga pemerintah.

Ketika Dunia Mengingat Permainan yang Terlupakan
Sejumlah pelajar mengikuti perlombaan terompah panjang pada ajang Children Traditional Sport Games Festival rangkaian dari kegiatan The 6th TAFISA World Sport for All Games di Ancol, Jakarta, TAFISA/ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana

tirto.id - "Ketika saya kecil, permainan yang menarik bagi saya adalah bermain bola saat hujan. Malam ini, hujan pun menjadi bagian dari pembukaan TAFISA,” kata Wakil Presiden Jusuf Kalla saat membuka Association For International Sport for All (TAFISA) World Sport for All Games Sabtu malam (8/10/2016)

TAFISA merupakan ajang tertinggi untuk perhelatan olahraga rekreasi yang mempertandingkan 54 cabang olahraga dan permainan tradisional. Tahun ini, Indonesia menjadi tuan rumah yang dipusatkan di Pantai Carnaval Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta.

Kejuaraan TAFISA di Indonesia diwarnai dengan pemecahan rekor dunia untuk kegiatan permainan tradisonal "Engrang" asal Indonesia yang diikuti oleh 2.600 peserta dan menari Zumba yang diikuti oleh 14.000 peserta . Ajang ini memang telah menunjukkan kepada 83 negara peserta TAFISA bahwa Indonesia juga kaya dengan permainan tradisional.

“Saya sangat terpukau dengan permainan tradisional Indonesia yang merepresentasikan budaya dan persahabatan yang erat,” kata Presiden TAFISA Ju-Ho Chang saat penutupan TAFISA 2016, Selasa (11/10)

Setelah Indonesia, Portugal akan menjadi tuan rumah TAFISA Games World Sports for All Games ke-7 pada 2020 di Lisbon. Upaya melestarikan permainan tradisional tak hanya dalam skala global, tapi juga skala lokal. Pada 2013 lalu pemerintah daerah Jawa Barat menggelar pesta permainan rakyat dengan tajuk "Festival Kaulinan Urang Lembur 2013.

Setelah itu, untuk pertama kalinya, pesta olahraga tradisional Alimpaido digelar dalam rangkaian kegiatan Festival Seni dan Budaya Pesisir Utara Jawa di Keraton Kasepuhan Cirebon yang berlangsung sejak 8-10 Oktober 2014.

Alimpaido menampilkan delapan cabang permainan yang dilombakan secara estafet antara lain engrang, lari kelom batok, tarik pelepah, lari sinerji, perepet jengkol, lari putar gasing, lomba beban tarik pelepah, engklek tembak batu sorodot gaplok, dan menembak dengan sumpit.

Semua permainan ini terancam terlupakan bila dibiarkan, di tengah gempuran permainan modern. Studi menunjukkan rendahnya pemahaman masyarakat terhadap permainan tradisional, termasuk para orang tua.

Yang Hampir Terlupakan

Diperkirakan ada 1.000 lebih permainan tradisional dari Sabang sampai Merauke, tapi yang berhasil tercatat lebih sedikit. Dari jumlah itu, hanya 20 persen yang masih eksis dan tetap dimainkan oleh publik terutama di pedesaan.

“Jumlah yang sudah kami kumpulkan sudah ada 890 jenis,” kata pendiri Komunitas Hong, M. Zaini Alif dikutip dari situs ciburial.desa.id.

Apa yang menjadi perkiraan Komunitas Hong asal Bandung, Jawa Barat ini, sangat klop dengan kondisi di lapangan. Berdasarkan hasil tesis tentang permainan tradisional yang dipublikasikan binus.ac.id, pengetahuan dan kesadaran orang tua Indonesia terhadap permainan tradisional masih rendah. Padahal para orang tua saat ini tak sedikit yang masih mengalami permainan tradisional saat mereka kanak-kanak.

Dalam studi itu, dari total 153 koresponden orang tua, rentang umur antara 20-45 tahun, rasio perbandingan perempuan dan laki-laki sebesar 55 persen dan 45 persen. Sebanyak 80 persen dari mereka berpendidikan S1. Mereka terdiri dari dua kategori, yaitu kalangan yang sudah memiliki anak usia 0-8 tahun, dan kalangan yang belum memiliki anak.

Tercatat sebanyak 60 persen dari kalangan yang sudah memiliki anak usia 0-8 tahun menjawab bahwa mereka lebih sering memberikan anak-anaknya permainan berbasis digital. Hanya sekitar 20 persen saja yang menjawab mereka mengarahkan anaknya untuk bermain permainan tradisional.

Sebanyak 50 persen dari koresponden yang memiliki anak usia 0-8 tahun tidak mengetahui bahwa permainan tradisional mengandung dan mengajarkan nilai-nilai budaya. Selain tercatat sebanyak 50 persen cukup tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang permainan tradisional.

Sementara itu, koresponden yang belum memiliki anak menjawab sebanyak 53 persen koresponden memilih permainan tradisional untuk diberikan kepada anak usia 3-8 tahun. Ada 31 persen koresponden tidak tahu permainan tradisional mengandung dan mengajarkan nilai-nilai budaya.

Survei bisa menggambarkan kondisi alam pikiran orang tua di Indonesia terhadap permainan tradisional. Pemahaman terhadap pentingnya permainan warisan nenek moyang ini masih perlu ditingkatkan. Padahal umumnya permainan tradisional jarang membutuhkan peralatan khusus. Banyak permainan dapat dimainkan di mana saja dan lintas usia.

Sebuah jurnal Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dalam situs uny.ac.id mengungkapkan beberapa manfaat dari permainan tradisional di Indonesia. Permainan tradisional cenderung menggunakan atau memanfaatkan alat atau fasilitas di lingkungan sekitar tanpa harus membelinya sehingga perlu daya imajinasi dan kreativitas yang tinggi bagi anak-anak. Banyak alat-alat permainan yang dibuat atau digunakan dari tumbuhan, tanah, genting, batu, atau pasir.

Permainan anak tradisional melibatkan pemain yang relatif banyak, hampir setiap permainan rakyat begitu banyak anggotanya. Sebab, selain mendahulukan faktor kesenangan bersama, permainan ini juga mempunyai dampak interpersonal yang lebih tinggi seperti petak umpet, congklak, dan gobak sodor. Kegiatan ini juga sebagai cara mewariskan nilai-nilai luhur dan pesan-pesan moral tertentu seperti nilai-nilai kebersamaan, kejujuran, tanggung jawab, sikap lapang dada atau sportivitas, dorongan berprestasi, dan taat pada aturan.

Dari sisi jasmani, permainan tradisional dapat menstimulasi berbagai aspek perkembangan anak yang dapat meliputi hal-hal perkembangan motorik, termasuk melatih daya tahan fisik, daya lentur. Selain itu, ada dorongan pada aspek kognitif seperti mengembangkan imaginasi, kreativitas, kemampuan memecahkan masalah.

Engklek misalnya, berdasarkan riset dari 30 anak usia SD kelas III dan IV di Kabupaten Malang, menunjukkan bahwa permainan tradisional tersebut memiliki keunggulan dalam mengatasi permasalahan anak. Permainan ini meningkatkan koordinasi dan keseimbangan tubuh. Seorang anak juga bisa belajar memecahkan masalah sehingga kemampuan tersebut bisa jadi pengalaman dalam kehidupan nyata.

Permainan tradisional punya manfaat yang positif. Di tengah maraknya berbagai permainan modern, sudah seharusnya mengingat kembali permainan yang hampir terlupakan ini. Sayangnya masalah sosialisasi untuk mengangkat permainan tradisional belum maksimal. Ini juga terjadi dengan ajang TAFISA 2016, sebagian masyarakat tidak mengetahui kegiatan yang digelar di Taman Impian Jaya Ancol.

Dalam situs resmi Federasi Olahraga-Rekreasi Masyarakat Indonesia (FORMI) tak ada informasi soal kegiatan akbar skala internasional ini. Masalah sosialisasi ini jadi catatan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi.

"Kejuaraan ini adalah barang baru dalam olahraga karena ini olahraga tradisonal. Kita menjadi tuan rumah segenap olahraga tradisional dunia ini sehingga butuh publikasi yang besar juga," kata Imam Nahrawi dikutip dari Antara.

Penyelenggaraan acara besar seperti TAFISA dan kegiatan sejenis di dalam negeri hanya salah satu cara melestarikan salah satu warisan budaya yang layak dipertahankan. Sosialisasi terhadap permainan tradisional sangat penting mulai orang tua di keluarga, masyarakat, dan pemerintah.

Baca juga artikel terkait TAFISA 2016 atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Olahraga
Reporter: Suhendra
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti