Menuju konten utama

Ketika Bot Mempecundangi Seorang Profesional

Bot dengan artificial intelligence, AlphaGo dan OpenAI, telah sukses mengalahkan lawan kuatnya di bidang masing-masing.

Ketika Bot Mempecundangi Seorang Profesional
Ilustrasi kecerdasan artifisial. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - “Untuk membuat komputer melakukan apapun, kamu perlu menulis sebuah program komputer. Untuk menulis program komputer, kamu perlu memberitahu komputer, langkah demi langkah, persis seperti apa yang kamu inginkan. Komputer kemudian ‘mengeksekusi’ program tersebut, mengikuti tiap langkah secara mekanis untuk menyelesaikan tujuan akhirnya. Ketika kamu memberitahu komputer apa yang harus dilakukan, kamu dapat memilih bagaimana hal tersebut dilakukan. Di sanalah algoritma komputer hadir. Algoritma merupakan teknik dasar yang digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan.”

Kutipan di atas merupakan penjabaran suatu istilah komputer bernama “algoritma.” Di masa ini, algoritma komputer terasa sangat penting. PageRank dari Google ialah salah satu algoritma paling tersohor yang sukses membantu umat manusia mencari informasi dari internet dengan jauh lebih mudah.

Selain PageRank, perihal apa yang disajikan Facebook di halaman muka akun kita masing-masing juga merupakan ulah dari algoritma. Atau, rekomendasi video apa yang sekiranya kita suka di Youtube dan playlist yang muncul di sesi “Discover Weekly” di akun Spotify kita.

Namun, penjabaran algoritma di atas terasa kurang bisa merepresentasikan keadaan dunia komputer hari ini. Adalah AlphaGo dan sebuah bot buatan OpenAI yang membuat definisi di atas terasa usang.

Di bulan Mei 2016, AlphaGo, sebuah artificial intelligence buatan DeepMind, anak usaha Google, sukses mengalahkan pemain catur Go profesional bernama Ke Jie. Menurut tulisan Ars Technica, Ke Jie kalah setengah poin atas AlphaGo.

Sebelum kekalahan tersebut, Ke Jie mengungkap bahwa ia telah terlebih dahulu mempelajari bagaimana AlphaGo bermain saat kecerdasan buatan itu sukses mengalahkan lawan sebelumnya. Namun, Ke Jie tetap gagal menaklukan AlphaGo. Atas kekalahannya, Ke Jie mengungkapkan bahwa ia “terkejut” dan menurutnya pertandingan itu “sangat berkesan.”

Ia, sebagaimana dikutip Techcrunch mengungkapkan bahwa pertandingan antara dirinya dengan AlphaGo, “tidak akan pernah terjadi dalam pertandingan antara manusia melawan manusia.”

Selepas kesuksesan AlphaGo itu, pada Agustus 2017 ini, sebuah bot yang dikendalikan oleh kecerdasan buatan OpenAI yang didukung penuh oleh Elon Musk, sukses mengalahkan gamer profesional bernama samaran Dendi dalam permainan game online bernama Dota 2, dengan tempo kurang dari 10 menit.

Dalam permainan Dota 2 itu, alih-alih bermain fullgame, OpenAI melaksanakan pertarungan 1 lawan 1 hanya menggunakan satu karakter dari 113 karakter yang tersedia bernama Shadow Fiend. Merujuk Ars Technica, dipilihnya permainan 1 lawan 1 bukanlah tanpa sebab. Selain masih memiliki keterbatasan, pertandingan 1 lawan 1 lebih bisa memperlihatkan bagaimana kekuatan antara AI melawan manusia terlihat jelas.

Dalam pertarungan game online antara AI dengan manusia itu, sesungguhnya sang AI tidaklah mengetahui bagaimana cara bermain game Dota 2 (ataupun game lainnya). Namun, selepas mempelajari ribuan jam video permainan game itu memanfaatkan fasilitas awan dari Microsoft Azure, sang AI kemudian mempelajari bagaimana caranya bermain dan memenangi pertandingan. Bot bertenaga AI bikinan OpenAI itu mulanya hanya bisa berdiri memandangi arena permainan dan kalah dengan mudah. Namun, setelah 2 minggu belajar, bot bertenaga AI itu sukses mengalahkan pemain Dota 2 profesional.

Dalam dunia game online bernama Dota 2, terdapat turnamen dengan nilai hadiah yang sangat menggiurkan. Turnamen bertajuk “The International” yang digagas oleh Valve bahkan menghadiahi juaranya dengan uang senilai $10 juta. Dan "The International," bukan satu-satunya ajang pertarungan game Dota 2. Tak heran banyak gamer profesional lahir karena dunia ini secara finansial cukup menjanjikan.

Selain dua AI itu, ada lagi AI-AI lainnya yang telah lebih dahulu hadir. Yang termasuk fenomenal ialah dua buah bot berkekuatan AI bernama Tay dan Zo. Meskipun berakhir cukup menyedihkan, keduanya sebenarnya sukses “menyerap” informasi dari penduduk internet. Tay sukses “menyerap” informasi yang berujung lontaran kalimat seksis di akun Twitternya. Zo sukses pula “menyerap” informasi bahwa Windows merupakan spyware.

Jika kita menilik kesemua kisah-kisah sukses AI di atas, mereka tidaklah diajari tahap-demi-tahap sebagaimana penjabaran algoritma di atas. AI, dalam bahasa yang sederhana, belajar sendiri cara untuk melakukan suatu tugas.

Bot yang bermain game bikinan OpenAI perlu belajar 2 minggu sebelum ia sukses mengalahkan pemain game profesional. Begitu pula AlphaGo. Ia tak serta merta diprogramkan oleh programer DeepMind untuk mengalahkan permainan Go. Begitu pula Tay yang jelas tak disuruh Microsoft untuk mencuitkan kalimat seksis dan rasis.

Dengan demikian, apa yang dilakukan AlphaGo, OpenAI, Tay, dan beragam AI lainnya di masa ini, bisa dikatakan merupakan lompatan besar dalam dunia komputer.

Merujuk sejarahnya, perbincangan soal AI telah dimulai sejak dahulu kala. Geneva Internet Platform melalui buletin DigitalWatch menyebut bahwa kelahiran resmi AI sebagai disiplin akademik dan riset terjadi pada 1956. Kala itu, peserta Konferensi Dartmounth menggagas istilah AI yang kini menjadi perbincangan umum.

Dalam sebuah penelitian berjudul “An Introduction to Artificial Intelligence” karya Staffan Persson, pada 1964 ia mengatakan bahwa AI setidaknya terbagi ke dalam 5 jenis. Pertama ialah AI berjenis “Game-Playing Programs.” Di jenis ini, AI “Samuel's checkers-playing program” mencuat menjadi yang pertama. AlphaGo juga bisa dikatakan AI jenis ini.

Berikutnya ialah AI berjenis “Problem-Solving Machines.” Di jenis ini, The Logic Theory Machine dari Newell, Shaw, dan Simon merupakan pelopor. Kemudian, ada pula AI berjenis “Inductive Machines.” SAD SAM, mesin yang berhasil menjawab teka-teki perihal garis keturunan, merupakan AI pertama berjenis ini.

Kemudian, ada pula AI berjenis “Question-Answering-Machines.” Jika kita perhatikan, WolframAlpha yang merupakan mesin pencari, termasuk ke dalam kategori ini. Terakhir, ada AI berjenis “Simulation of Cognitive Processes.” The Elementary Perceiver and Memorizer yang sukses bertingkah laku selayaknya manusia merupakan capaian pertama AI jenis ini.

Infografik Kecerdasan Buatan

Selain penjabaran soal AI itu, salah satu titik fenomenal di dunia kecerdasan buatan ialah Alan Turing yang pada 1950 memprediksi bahwa di akhir abad akan ada mesin yang bisa menipu manusia. Salah satu gagasan Turing yang terkenal soal AI ialah sebuah konsep uji bernama “Turing Test.”

Dalam penjabaran yang sederhana, Turing test merupakan sebuah tes yang mencoba menjawab apakah sesuatu yang mengikuti tes tersebut manusia atau mesin. Dalam melaksanakan Turing test, terdapat 2 sosok yang tidak diketahui apakah ia manusia atau mesin. Kedua sosok itu kemudian dimasukkan ke dalam kamar atau ruangan berbeda. Masing-masing, berinteraksi dalam sebuah terminal komputer—di masa kini, ia lebih cocok dilakukan melalui aplikasi chat.

Kemudian, masing-masing sosok itu bebas bertanya apa saja. Apakah ia manusia atau mesin, menurut Turing, bisa diperkirakan dari jawaban yang diberikan dalam sesi tanya jawab itu.

Namun, menurut Turing, akan ada suatu masa di mana kita tidak akan mampu menebak apakah sosok di ruang atau kamar lain yang berinteraksi dengannya dalam Turing test merupakan mesin atau manusia. Menurut prediksinya, di tahun 2000, akan ada mesin yang berhasil mengelabui Turing test ini.

Pada 2014, Turing test, meskipun tidak sempurna, telah sukses ditaklukan oleh sebuah mesin bernama Eugene Goostman yang mensimulasikan sosok bocah berusia 13 tahun. Eugene Goostman sukses menipu 33 persen juri bahwa ia merupakan manusia.

Jika menilik preseden di atas, juga pencapaian AlphaGo dan OpenAI, bisa disimpulkan bahwa lompatan besar dalam dunia komputer sedang terjadi.

Baca juga:

Baca juga artikel terkait ARTIFICIAL INTELLIGENCE atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Reporter: Ahmad Zaenudin
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Maulida Sri Handayani