Menuju konten utama

Ketika Aparat Menyuburkan Konflik di Papua dengan Berdagang Senjata

OPM mendapatkan senjata juga dari TNI-Polri. Dengan begitu aparat juga menyuburkan konflik di daerah panas tersebut.

Ketika Aparat Menyuburkan Konflik di Papua dengan Berdagang Senjata
Ilustrasi transaksi senjata api. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Tiga orang ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan penjualan senjata api ke kelompok bersenjata di Papua. Mereka adalah Bripka MJH (anggota Brimob Kelapa Dua), DC (aparatur sipil negara sekaligus anggota Perbakin Nabire), dan FHS (eks TNI AD). Ketiganya dijerat Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951. Barang bukti yang disita ialah M16, M4, dan Glock, masing-masing satu pucuk.

DC diduga sebagai perantara, sementara terduga pembeli berinisial SK, diduga kelompok bersenjata. Kini polisi masih memburu si pemesan.

Kapolda Papua Irjen Pol Paulus Waterpauw mengatakan Bripka MJH telah menyelundupkan senjata api tujuh kali ke Nabire. “Upah berkisar dari Rp10 juta-Rp30 juta, tergantung jenis senjata api yang dibawa,” ujar Paulus, Senin (2/11/2020), dikutip dari Antara. Senjata itu dihargai Rp300 juta-Rp350 juta.

Paulus mengakui polisi telah lama memantau praktik jual-beli ini, terlebih ketika kekerasan di Intan Jaya terus meningkat. “Saya pribadi sangat menyesalkan, karena senjata itulah yang nantinya digunakan KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata, istilah aparat Indonesia untuk gerilyawan bersenjata) untuk membunuh warga sipil dan aparat keamanan termasuk rekan-rekannya.”

Pengungkapan kasus kali ini bermula ketika ada informasi M16 dan M4 masuk ke Nabire melalui Timika pada 22 Oktober. Lantas kepolisian mulai beroperasi, kemudian menangkap Bripka MJH di Nabire. Dia menyertakan dokumen Perbakin sebagai cara meloloskan penyelundupan senjata serbu.

Berdasar pemeriksaan, ia terlibat bisnis ini sejak tahun 2017. Bripka MJH membeli senjata di Jakarta senilai Rp150 juta, lalu diserahkan kepada DC yang akan meneruskan itu ke para pembeli dengan harga yang telah disepakati.

Kasus sebelumnya berawal dari pemesanan senjata api dari DD, mantan anggota DPRD Paniai. Dia diduga menggadaikan mobilnya untuk memperoleh senjata dari mantan personel TNI AD berinisial FAS. Desember 2019, SK yang diduga orang asli Papua sebagai pemesan senjata menyuruh DD mencarikan M16 kepada Bripka MJH. Upah yang diterima Bripka MJH sesuai urutan pengiriman yakni Rp10 juta, Rp25 juta, Rp30 juta, Rp25 juta, Rp15 juta, Rp25 juta, dan Rp25 juta. Itu semua dari Juni 2017 hingga ia diringkus.

Turut Serta Jadi Masalah

Pada September 2001, Antonius Wamang mendapatkan misi memperoleh senjata dan amunisi. Ia harus ke Jakarta dari Timika. Sendirian ia membawa karung isi cendana yang harganya mungkin lebih dari Rp500 juta. Tiba di Bandara Soekarno-Hatta, dia ditemui oleh Agus Anggaibak, pedagang kayu gaharu yang berhubungan dekat dengan militer Indonesia.

“Agus Anggaibak yang mengatur semuanya. Dia melobi petugas dan mengatur uangnya,” kata Janes Natkime dalam Murder at Mile 63, yang ditulis oleh S. Eben Kirksey dan Andreas Harsono.

Keduanya menginap di sebuah wisma polisi di Jakarta. Di sana mereka bertemu dengan Sersan Puji, seorang polisi. Puji bertanya tentang aktivitas gerilyawan Papua di sekitar Timika. Ia lantas memberi Wamang hadiah enam magasin peluru (total 180 peluru) yang bisa digunakan dalam senapan M16 atau SS1 milik Wamang; serta peluru untuk Mauser. Suatu malam di wisma, Puji menunjukkan 15 senapan M16. Wamang membayar Rp250 juta untuk senjata-senjata tersebut.

“Perdagangan senjata dan peluru, dari beberapa tentara maupun polisi, kepada milisi Papua, bukan perkara kemarin sore. Ia sudah terjadi sejak 1970-an ketika pasokan peluru dari zaman pemerintahan Kerajaan Belanda menipis di Papua,” ucap Andreas Harsono ketika dihubungi reporter Tirto, Kamis (5/11/2020).

Juru Bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) Sebby Sambom membenarkan bahwa jual-beli senjata api dan amunisi adalah perkara lama yang masih dilakoni hingga kini. “Ya, benar. Harga bervariasi. Prinsipnya, TPNPB butuh senjata dan anggota TNI-Polri butuh uang, itu saja,” katanya ketika dihubungi reporter Tirto, Kamis.

Senjata itu merupakan jenis standar yang kerap dipakai oleh aparat. “Berapa anggota TNI-Polri patok harga, beli saja,” tambah Sebby. Harga tertinggi yang pernah ditebus Rp250 juta-Rp300 juta, lalu sebutir peluru Rp100 ribu.

Ia mengatakan TPNPB mendapatkan uang untuk menebus itu dari banyak sumber. Mulai dari menjual kayu, pasir, hingga babi hutan. Mereka juga punya dana sumbangan wajib dan sukarela. “Uang hanya digunakan dalam perjuangan. Kami tidak hitung kerugian, tapi [fokusnya] misi terus berjalan. Maka setiap komando daerah pertahanan (kodap) berusaha [menghasilkan uang].” Setiap kodap memiliki jaringan masing-masing; tidak satu jalur transaksi.

Meski demikian, Sebby membantah pihaknya menggunakan senjata tersebut untuk menyerang warga seperti yang dituduhkan. Satu-satunya sasaran adalah aparat.

Menurut kriminolog dari Universitas Indonesia Leopold Sudaryono, pada dasarnya senjata api dan amunisinya adalah komoditas berharga di daerah konflik. Menjualnya di wilayah tersebut mendatangkan uang banyak. Godaan ini yang menurutnya sulit ditolak oleh pihak yang memiliki akses ke persenjataan.

Meski begitu, sejauh ini pelaku “masih terbatas pada individu-individu tertentu dengan motif ekonomi, tidak ditemukan bukti mengarah pada tindakan kolektif atau pun motif ideologis,” kata Leopol kepada reporter Tirto, 5 November. Motif ideologis yang dimaksud adalah mendukung gerakan gerilyawan.

Namun bukan berarti transaksi hitam ini tidak dapat ditekan bahkan dihentikan. Ini bisa dilaksanakan dengan memperkuat pengawasan dan pengendalian senjata api sebagaimana diamanatkan Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 38 Tahun 2014 atau Peraturan Kapolri Nomor 11 Tahun 2017. Dua peraturan itu secara khusus menetapkan mekanisme dan prosedur khusus pelacakan dan penggunaan senjata api di wilayah konflik. Satgas gabungan yang mengawasi penyimpanan dan penggunaan juga perlu dibikin, kemudian di tingkat satuan dilekatkan mekanisme pelaporan yang lebih ketat.

“BAIS TNI dan Baintelkam Polri juga bertanggung jawab untuk deteksi potensi transaksi jual-beli,” katanya.

Sementara Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua Emanuel Gobay mengatakan jika betul kelompok bersenjata mendaptkan senjata dari aparat, apa pun alasannya, maka mereka sama saja turut serta menanam masalah. “Bisa disebut yang menyuburkan konflik di Papua karena tindakan oknum-oknum TNI dan Polri yang berdagang senjata. Keterlibatan itu hanya untuk bisnis,” ujar dia ketika dihubungi reporter Tirto, Kamis.

Kepentingan cuan menggugurkan hak hidup manusia Papua dan melenceng dari tupoksi aparat. Tak hanya sanksi pemecatan, hukuman paling utama adalah pemenjaraan sesuai dengan undang-undang.

Baca juga artikel terkait KONFLIK BERSENJATA PAPUA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Politik
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino