Menuju konten utama

Ketergantungan Terhadap Beras, Cetak Lahan Sawah Baru Berlanjut

"Sejak Orde Baru ada revolusi hijau. Kebijakan pangan berorientasi pada beras"

Ketergantungan Terhadap Beras, Cetak Lahan Sawah Baru Berlanjut
Hamparan areal persawahan padi Desa Kebumen terlihat dari Bukit Gumuk Reco, Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Minggu (10/2/2019). ANTARA FOTO/Aji Styawan/nz.

tirto.id - Ketua Institut Hijau Indonesia, Chalid Muhammad mengatakan ketergantungan masyarakat terhadap beras menjadi alasan pemerintah terus menggenjot ketersediaan beras. Salah satu solusinya dilakukan melalui peningkatan produksi melalui pencetakkan lahan sawah baru.

Ia pun tidak heran bila daerah-daerah penghasil sagu seperti Sulawesi dan Papua hingga Jawa pun turut dirambah untuk kepentingan menambah pasokan beras. Bahkan Menteri Bappenas, Bambang Brodjonegoro pun mengakui bahwa saat gizi menjadi persoalan, kebijakan pemerintah yang masih terlalu fokus pada beras memang kebablasan.

"Sejak Orde Baru ada revolusi hijau. Kebijakan pangan berorientasi pada beras. Lalu mengubah pola konsumsi di banyak tempat dan membuat kebergantungan beras," ucap Chalid saat dihubungi reporter Tirto pada Rabu (20/2/2019).

Chalid mengatakan pemerintah bahkan jauh sebelum Jokowi telah mencoba memulai program diversifikasi pangan. Namun, program itu belum mampu menunjukkan taringnya. Seperti misalnya kebijakan Kementerian PAN-RB yang sempat mewajibkan konsumsi rapat mengutamakan produksi pangan lokal, tetapi belakangan kebijakan itu menguap begitu saja.

Meskipun program diversifikasi pangan membutuhkan proses, pemerintah menurut Chalid perlu mengambil langkah secara sistematis termasuk melakukannya melalaui Bappenas.

"Ketergantungan beras sangat tinggi. Kalau diubah fundamental jadi masalah sosial. Orang enggak siap dengan kelangkaan beras dan tiba-tiba harus makan sagu kembali," ucap Chalid.

"Jadi proses revitalisasi konsumsi pangan yang dulu pernah ada perlu dilakukan perlahan," ucap Chalid.

Sebab jika tidak, maka sulit untuk keluar dari kungkungan solusi pangan yang sudah ada. Seperti misalnya mencetak sawah dan yang kurang disukai juga berupa impor beras.

Dalam mencetak sawah, Chalid pun mengingatkan agar pemerintah perlu berhati-hati sebab prosesnya dilakukan dalam skala besar. Terutama dilakukan di atas rawa maupun gambut.

Pada zaman Soeharto kata Chalid program 1 juta hektar sawah di lahan gambut sempat mengalami kegagalan sekaligus dampak lingkungan yang tidak sedikit.

Sama halnya dengan program impor beras yang masih berlanjut. Meskipun tak sepenuhnya dapat disalahkan, ia menilai agar impor tak membengkak pemerintah perlu memastikan tak lagi ada lahan sawah yang terkonversi dan memberantas mafia impor.

Baca juga artikel terkait BERAS atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Irwan Syambudi