Menuju konten utama

Keterangan Saksi & Ahli Lemah Bikin Prabowo Kalah di MK

Saksi dan ahli yang didatangkan tim hukum Prabowo tidak bisa membuktikan seluruh dalil.

Keterangan Saksi & Ahli Lemah Bikin Prabowo Kalah di MK
Ketua Tim Kuasa Hukum BPN, Bambang Widjojanto (tengah) menghadiri Sidang Putusan PHPU di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (27/6/2019). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Sebanyak 14 saksi dan dua ahli yang dihadirkan oleh tim hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno tidak bisa mengubah hasil Pilpres 2019. Seluruh dalil Prabowo-Sandiaga ditolak, dikesampingkan, dan dianggap tak relevan oleh Hakim Mahkamah Konstitusi (MK).

MK sama sekali tak menilai ada kecurangan yang diterangkan oleh saksi maupun ahli dari tim hukum 02. Semua keterangan mereka--yang tujuannya memperkuat dalil permohonan--tidak ada yang mampu meyakinkan hakim.

Dalam pembacaan putusan, Kamis (27/6/2019) siang hingga malam, hakim sebetulnya mempertimbangkan keterangan ahli Jaswar Koto dan juga saksi Agus Muhammad Maksum, misalnya dalam dalil manipulasi Daftar Pemilih Khusus (DPK). Sayangnya keterangan keduanya tidak kuat tanpa alat bukti lain.

Bukti P-144 yang harusnya bisa berupa formulir A-5 dan formulir C-7 tidak pernah diserahkan. Itu membuat dalil pemohon tidak relevan untuk dipertimbangkan lebih lanjut oleh sembilan hakim.

"Meskipun dalam keterangannya sebagai ahli dan sebagai saksi keduanya menyinggung permasalahan DPK, namun tidak ada keterangan serta kesaksian lebih lanjut bahwa DPK tersebut bersifat manipulatif dan menimbulkan kerugian nyata bagi pemohon," kata hakim MK Saldi Isra.

Soal dalil lainnya tentang indikasi Daftar Pemilih Tetap (DPT) tidak wajar sebanyak 17,5 juta--atau disebut 'DPT siluman' oleh kubu 02. Hakim MK menganggap permohonan tidak berdasar menurut hukum.

Saksi dan ahli yang lagi-lagi dijadikan penguat masih Agus dan Jaswar. Mahkamah menilai sebagai alat bukti dari pihak pemohon tidak cukup meyakinkan.

"Pemohon tidak dapat membuktikan, bukan hanya apakah yang disebut sebagai pemilih siluman menggunakan hak pilihnya atau tidak, tetapi juga tidak dapat membuktikan pemilih siluman tersebut jika menggunakan hak pilihnya, quod non, mereka memilih siapa," juga kata Saldi Isra.

Dalil lain soal adanya pencoblosan oleh petugas KPPS juga ditolak oleh MK dengan pelbagai alasan. Selain tidak ada kaitan dengan perolehan suara, biasanya alat bukti tidak cukup kuat. Keterangan saksi seperti Beti Kristiana dan Nur Latifah bahkan tidak disebut secara spesifik.

Seharusnya pernyataan mereka bisa menguatkan dalil pemohon. Nyatanya hakim tidak merasa demikian.

Said Didu juga tak mampu meyakinkan majelis soal pelanggaran persyaratan Ma'ruf Amin sebagai cawapres yang berujung pada permohonan diskualifikasi. Hakim MK menganggap Ma'ruf tidak menyalahi aturan menurut Undang-Undang.

"Dalil pemohon yang menyatakan cawapres Ma'ruf Amin, yang tidak mengundurkan diri dari dewan pengawas syariah Bank Syariah Mandiri dan Bank BNI syariah sehingga pemohon memohon agar mahkamah membatalkan, mendiskualifikasi, paslon 01 Jokowi-Ma'ruf Amin sebagai peserta Pilpres 2019, adalah tidak beralasan menurut hukum," kata hakim MK lainnya Wahidudin Adams.

Di saat skors persidangan, ketua tim hukum 01 Yusril Ihza Mahendra sudah bisa meramal hasilnya. Dia percaya diri lemahnya bukti, termasuk keterangan saksi dan ahli, akan membuat gugatan pemohon ditolak seluruhnya.

"Semua alat bukti itu dimentahkkan baik oleh kuasa hukum termohon dalam hal ini KPU, pihak terkait, dan dimentahkan juga oleh Bawaslu dan ditolak oleh majelis hakim sebagai tidak beralasan hukum," kata Yusril di Gedung MK.

"Jadi nanti kalau permohonan ditolak bukan salah siapa-siapa, karena memang buktinya tidak cukup atau memang tidak ada sama sekali."

Minta Mahkamah, KPU, dan Jokowi-Ma'ruf Aktif

Ketua tim hukum 02 Bambang Widjojanto secara tak langsung mengakui bahwa bukti yang ia berikan ke MK--dalam bentuk video dan keterangan saksi serta ahli--tidak cukup kuat untuk membuktikan kecurangan.

"Fakta kecurangan itu terbukti sebenarnya," kata BW.

Dia mengatakan, rekaman video dari masyarakat sudah menunjukkan kecurangan, namun mereka tidak mempunyai keahlian untuk mengaitkan itu dengan perolehan suara. Oleh sebab itu, salah satu dalil pemohon adalah meminta kepada termohon dan terkait untuk membuktikan kecurangan itu benar-benar tidak ada.

Dalil itu ujungnya juga ditolak hakim karena pembuktian adalah kewajiban pemohon.

"Yang punya alat dan struktur itu adalah pihak termohon dan petahana. Itu sebabnya share mengenai pembuktian itu harus dilakukan tidak hanya oleh pemohon karena fakta kecurangannya masif di mana-mana," katanya lagi.

BW juga keberatan ketika MK mempertimbangkan bahwa kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif selesai pada ranah Badan Pengawas Pemilu. Atas sebab itu dia memandang MK harusnya bertindak lebih aktif lagi.

"Menurut kami ada kelemahan di Bawaslu. Karena di Bawaslu kan ada organ lain yang namanya Gakkumdu, ada unsur dan elemen penegak hukum. Unsur dan elemen ini acap kali, kadang kali, bertentangan dengan rekomendasi Bawaslu dan kemudian Bawaslu ikut tidak bisa mendorong kasus itu ke tindak pidana.

Menurut saya ada problem struktural di Bawaslu. Ini tidak cukup dilihat bahwa seolah-olah Bawaslu sudah bekerja, tapi performa pekerjaannya itu harus dinilai juga," kata mantan pimpinan KPK ini panjang lebar.

Namun BW mengesampingkan fakta bahwa untuk menilai kinerja di Bawaslu itu, mereka semestinya lapor ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Hukum
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino