Menuju konten utama

Ketentuan Penting RUU PKS Hilang, DPR Harus Dengarkan Masyarakat

Belum juga disahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual menghilangkan pasal penting dan mengubah nama RUU.

Ketentuan Penting RUU PKS Hilang, DPR Harus Dengarkan Masyarakat
Aktivis yang tergabung dalam Gerak Perempuan menggelar aksi damai di depan kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Senin (10/2/2020). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/ama.

tirto.id - Pada draf terbaru Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) terjadi penghapusan sejumlah ketentuan penting untuk menjamin dan melindungi korban kekerasan seksual.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik meminta agar DPR mendengarkan suara masyarakat.

"Badan Legislasi DPR perlu lebih banyak dialog dengan masyarakat sipil terutama LBH atau lembaga layanan yang biasa menghadapi kasus-kasus di lapangan. Karena dari pengalaman akan lebih terlihat pentingnya pasal-pasal tersebut,” kata Koordinator Pelaksana Harian Asosiasi LBH APIK Khotimun Sutanti, Kamis (2/9/2021)

Penghapusan terkait perubahan nama RUU. Sebelumnya bernama "RUU Penghapusan Kekerasan Seksual" menjadi "RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual".

Menurut Khotim perubahan nama RUU menghilangkan substansi, karena dalam RUU tidak hanya memuat ketentuan pidana dan acara pidana yang masih lemah mengakomodasi pengalaman korban di UU lain. Melainkan juga memiliki pencegahan yang melibatkan berbagai lapisan, penguatan struktur hukum yang lebih berperspektif korban dan pemenuhan hak korban.

Dengan hilangnya diksi "penghapusan" dari RUU, maka RUU jadi tidak menonjol.

“Dan ada rasa khawatir juga jika hal lain selain tentang ketentuan pidana akan kurang menjadi perhatian. Maka Baleg harus betul-betul merumuskan secara komprehensif RUU ini,” katanya.

Kemudian terkait hilangnya pengaturan tentang bentuk-bentuk kekerasan seksual, seperti pemaksaan pelacuran, pemaksaan aborsi, menurutnya akan menyebabkan korban-korban pemaksaan aborsi dan pemaksaan pelacuran tidak terlindungi.

“Dari berbagai pengalaman kasus yang ditangani kantor-kantor LBH APIK, ada kasus-kasus pemaksaan aborsi yang dilakukan oleh pasangan, dengan ancaman, tipu daya dan lain-lain dimana korban yang dihukum sedangkan pelaku yang memaksa tidak dihukum. Hal ini sangat menyedihkan karena harapan perlindungan bagi mereka akan masih lemah,” ujarnya.

Sementara itu, Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengapresiasi langkah DPR untuk membahas RUU PKS. Menurutnya draf terbaru ini masih bisa diubah berdasarkan masukan-masukan berbagai pihak

“Terkait dengan [perubahan] judul, Komnas Perempuan tidak mempermasalahkan sepanjang enam elemen kunci penghapusan kekerasan seksual diadopsi yaitu tindak pidana kekerasan seksual, sanksi pidana dan tindakan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan pengadilan, hak-hak korban, pencegahan, pengawasan,” katanya, Kamis.

Menurutnya memang perubahan judul sangat dimungkinkan berdasarkan masukan-masukan berbagai pihak. Judul yang diberikan yaitu “Tindak Pidana Kekerasan Seksual, mungkin menurutnya perlu ditambahkan dengan kata penghapusan atau pemberantasan. Menjadi “Penghapusan Tindak Pidana Kekerasan Seksual”.

Sementara terkait tindak pidana yang belum diakomodir meliputi tindak pidana pemaksaan perkawinan, pemaksaan aborsi, pemaksaan pelacuran dan perbudakan seksual, “mungkin harus duduk bersama dan mencermati bagaimana kita mengatasi kasus kasus tersebut secara hukum,” katanya.

Termasuk terkait kekerasan berbasis gender siber (KBGS) yang juga tidak ada pengaturannya, padahal menurutnya kasus ini meningkat tajam di tahun 2020, dan belum ada aturan hukum yang bisa menjangkaunya.

Sebelumnya Tim Ahli Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Sabari Barus saat rapat Baleg DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Senin (30/8/2021) memaparkan sejumlah usulan perubahan pada draf RUU PKS. Di antara usulanya adalah perubahan nama menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

"Kata penghapusan terkesan abstrak dan mutlak, karena penghapusan berarti hilang sama sekali, ini yang mustahil tercapai di dunia. Kami menggunakan RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual," kata Sabari.

Selain itu, ada perubahan terkait jenis kekerasan seksual dari yang sebelumnya ada 9 jenis yang diatur meliputi pelecehan seksual; pemaksaan perkawinan; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan aborsi; perkosaan; eksploitasi seksual; pemaksaan pelacuran; perbudakan seksual; dan penyiksaan seksual. Berkurang menjadi hanya lima jenis.

“Ada lima jenis tindak pidana kekerasan seksual yang pertama pelecehan seksual itu ada dalam pasal 2, kemudian pemaksaan memakai alat kontrasepsi ada di pasal 3; pemaksaan hubungan seksual pasal 4; eksploitasi seksual pasal 5; dan tindak pidana kekerasan seksual yang disertai dengan perbuatan pidana lainnya di pasal 6,” kata Sabari.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN SEKSUAL atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Politik
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Zakki Amali