Menuju konten utama

Ketekunan Dokter Sardjito Menyigi Penyakit Tropis di Hindia Belanda

Dapat beasiswa sekolah kedokteran ke Belanda, Sardjito menekuni penyakit tropis yang relevan dengan kondisi Hindia Belanda.

Ketekunan Dokter Sardjito Menyigi Penyakit Tropis di Hindia Belanda
Ilustrasi Mas Sardjito 13 Agustus 1889-5 Mei 1970. tirto.id/Fuad

tirto.id - Dalam laporan Eijkman Instituut Central Laboratorium van den Dienst der Volksgezondheid 1888-1938 (hlm. 268), Dr. M. Sardjito terdaftar sebagai arts alias dokter sejak 1924. Namanya tetap muncul sebagai pegawai di laboratorium kedokteran tersebut hingga 1928. Lalu, pada 1932, Sardjito melanjutkan karier di sebuah laboratorium pemerintah kolonial di Semarang dan menjadi direkturnya pada 1942 hingga 1945.

Sardjito yang namanya kini diabadikan sebagai nama rumah sakit rujukan pusat di Yogyakarta itu lahir di Magetan, 13 Agustus 1889. Sardjito lulus dari STOVIA (Sekolah Kedokteran Hindia Belanda) pada Juni 1915. Setelah lulus, kariernya di bidang medis merentang panjang.

Mulanya, Sardjito bekerja di Centrale Burgelijke Ziekenhuis (CBZ, sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta). Dia lalu pindah ke Bandung untuk bekerja di Pasteur Instituut. Berkat kinerjanya yang baik, Yayasan Max Havelaar memberinya beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi di Belanda.

Leo van Bergen dkk. dalam Gelanggang Riset Kedokteran di Bumi Indonesia: Jurnal Kedokteran Hindia-Belanda 1852-1942 (2019, hlm. 118, 128) menyebut, Sardjito lantas menempuh pendidikan dokter di Universitas Leiden. Di Belanda, Sardjito menekuni bidang penyakit tropis yang relevan dengan kondisi Hindia Belanda.

Sardjito menyelesaikan pendidikannya pada 1923 dan kemudian bergabung dengan Central Laboratorium van den Dienst der Volksgezondheid (Laboratorium Pusat Dinas Kesehatan Masyarakat). Seturut J. Kevin Baird & Sangkot Marzuki dalam Eksperimen Keji Kedokteran Penjajahan Jepang (2020, hlm. 55), nama laboratorium lalu diubah menjadi Eijkman Instituut pada 1938 untuk memperingati setengah abad berdirinya lembaga yang didirikan Christiaan Eijkman itu.

Tak hanya fokus kerja, Sardjito juga rajin menulis jurnal ilmiah dan menerbitkannya melalui Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië (GTNI, Jurnal Kedokteran Hindia-Belanda). GTNI adalah satu-satunya jurnal kedokteran terkemuka di Hindia Belanda. Jurnal yang terbit pertama kali pada 1852 ini merupakan organ resmi Vereeniging tot Bevordering der Geneeskundige Wetenschappen in Nederlandsch-Indië (Masyarakat untuk Kemajuan Ilmu Kedokteran Hindia Belanda).

Organisasi itu sendiri didirikan oleh Willem Bosch, Direktur Jawatan Kesehatan Hindia-Belanda sekaligus pendiri Sekolah Dokter Djawa, pada 1851.

Sardjito adalah dokter pribumi yang paling produktif menerbitkan artikel ilmiah di GTNI. Hingga GTNI berhenti terbit pada 1942, Sardjito menerbitkan sebanyak 29 artikel ilmiah. Catatannya hanya bisa didekati oleh tiga dokter bumiputra lain, yaitu Achmad Mochtar (25 artikel), Raden Soesilo (23 artikel), dan Mohammad Amir (22 artikel).

Artikel-artikel Sardjito umumnya berfokus pada penyakit tropis di Hindia Belanda. Dari penelitian dan laporan yang ditulis Sardjito itulah, kita dapat melacak dan mempelajari penyakit-penyakit tropis yang jadi masalah kesehatan di Hindia-Belanda pada abad ke-20.

Disentri

Sardjito meneliti disentri kala menempuh pendidikan di Universitas Leiden. Di pun lulus dengan disertasi mengenai imunisasi melawan penyakit disentri basiler (Hasril Chaniago dkk., Pahlawan Kemanusiaan Indonesia. Biografi Prof. Dr. Achmad Mochtar, 2019, hlm. xxxi).

Pada 1926, Sardjito menulis dua artikel di GTNI tentang vaksin disentri yang merupakan lanjutan dari penelitiannya di Leiden. Dia juga menulis laporan penelitian vaksin untuk Mededelingen van den Dienst der Volksgezondheid in Nederlandsch-Indie (Laporan Dinas Kesehatan Masyarakat Hindia Belanda) di tahun yang sama.

Pada 1928, ada dugaan mewabahnya disentri di daerah perkebunan di Muaradua, Rangkasbitung. Sardjito datang ke sana dan memvaksinasi separuh penduduknya. Selain itu, Sardjito juga memeriksa tinja warga untuk mengetahui penyebab wabah. Laporan penelitian lapangan itu lantas diterbitkan oleh GTNI maupun dalam Mededelingen pada 1928.

Ketika berpindah tugas ke Semarang, Sardjito meneliti air Rawa Pening yang merupakan tempat rekreasi serta pemandian bersama warga Semarang dan sekitarnya. Sardjito bertanya-tanya, apakah danau ini merupakan tempat yang cocok untuk berkembangnya kuman penyakit demam tifoid, disentri, dan leptospirosis.

Hasil penelitiannya lantas dimuat GTNI dan Antonie van Leeuwenhoek pada 1937. Sardjito menemukan bahwa warga yang mandi di Rawa Pening memiliki risiko kecil terkena penyakit disentri dan demam tifoid, terlebih bila mereka telah mendapatkan vaksin anti-disentri. Tapi, Rawa Pening rupanya tidak aman dari bakteri Leptospira interrogans penyebab leptospirosis.

Tak hanya itu, Sardjito juga memeriksa 104 tikus sawah yang berhabitat di sekitar Rawa Pening. Dari jumlah tersebut, 54 di antaranya merupakan pembawa bakteri L. interrogans.

“Karena itulah, peluang air Rawa [Pening] terinfeksi urine tikus sawah yang mengandung organisme leptospira cukup meyakinkan,” demikian kesimpulan Sardjito dalam GTNI (Vol. 77, 1937, hlm. 457-479).

Leptospirosis

Penyakit ini disebarkan melalui air kencing atau darah inang genus bakteri Leptospira, seperti tikus, anjing, sapi, atau babi. Manusia bisa menderita leptospirosis jika terpapar tanah atau air yang terkontaminasi bakteri itu. Gejalanya luas, seperti mual, muntah, demam, dan nyeri. Penyakit ini bisa menyebabkan kematian jika penderitanya tak segera mendapat pertolongan medis.

Penduduk yang tinggal di daerah rawan banjir rentan terjangkit leptospirosis karena L. interrogans dapat bertahan cukup lama di dalam tubuh hewan pembawa maupun di air.

Sardjito pergi ke banyak tempat untuk meneliti Leptospira. Mulanya, dia meneliti bakteri itu di Laboratorium Pusat, Batavia, tempatnya bekerja. Dalam rentang 25 November 1925 hingga 12 Agustus 1926, Sardjito memeriksa 40 tikus di Weltevreden dan menemukan 4 di antaranya terinfeksi Leptospira.

Seperti biasa, Sardjito kemudian menerbitkan hasil penelitiannya di GTNI (Vol. 67 No.1, 1927, hlm. 73-83). Dalam artikelnya untuk Mededelingen di tahun yang sama, Sardjito memerinci lagi hasil eksperimennya. Kelak, Achmad Mochtar, sejawatnya di Lembaga Eijkman mematahkan hipotesis ahli Leptospira terkemuka Jepang Noguchi bahwa bakteri itu merupakan penyebab demam kuning.

Di tahun berikutnya dalam Mededelingen (Vol. 17, 1928, hlm. 535-544), Sardjito membandingkan karakter Leptospira air (S. biflexa) dan prevalensi penyakitnya di Eropa dan di wilayah tropis. Hasilnya, penyebaran dan pertumbuhan Leptospira air jauh lebih sedikit di Eropa dibandingkan di Sumatra. Karena itulah, kasus leptospirosis dan penyakit Weil—tahap kedua dari leptospirosis—juga jarang ditemukan di Eropa.

Sebaliknya, Leptospira air ditemukan di semua badan air di Pantai Timur Sumatra, baik yang mengalir maupun tidak. Itulah mengapa penyakit Weil bisa mewabah sepanjang tahun di wilayah ini.

Sementara itu, perairan di Jawa Barat nisbi bebas dari Leptospira air. Penyakit Weil pun merupakan kasus yang sangat jarang di wilayah itu. Sardjito menemukan bahwa air di hampir semua badan air di Jawa Barat memiliki pH 6.0, sementara pH air di Sumatra di atas 7.0. Ini adalah alarm bahaya karena Leptospira tumbuh lebih baik di air dengan pH 7.3-8.00.

Pada 1931, Sardjito berkesempatan melakukan penelitian ke Berlin selama lima bulan. Dia bereksperimen mencampurkan urin tikus yang terjangkit leptospirosis ke beragam air kran. Hasilnya, Sardjito mendapati adanya perubahan sifat-sifat pembawa penyakit pada galur-galur leptospira yang dikulturkan di air dengan perlakuan tertentu. Sardjito lalu menerbitkan laporan penelitiannya di jurnal berbahasa Jerman Zentralblatt fur Bakteriologie, Parasitenkunde, Infektionskrankheiten und Hygiene (Vol. 126 No. 5/6, 1932, hlm. 395-400).

Lepra

Hingga pertengahan abad ke-19, kedokteran Barat menganggap lepra sebagai penyakit menular. Anggapan itu berubah setelah terbitnya buku On Leprosy yang ditulis dua dokter Norwegia D.C. Danielssen dan C.W. Boeck pada 1848. Di Hindia Belanda, lepra masih ditangani sebagaimana penyakit menular hingga sekira 1865.

Pada tahun itu, pemerintah kolonial mendeklarasikan bahwa lepra merupakan penyakit keturunan. Lima tahun kemudian, pemerintah kolonial menyatakan tak lagi berperang melawan lepra. Pernyataan itu lantas diikuti penutupan rumah sakit lepra atau leproseri.

Deklarasi 1865 kemudian dicabut pada 1907 dan rumah-rumah sakit lepra pun dibuka kembali. Penyakit lepra pun tak lepas dari perhatian Sardjito.

Dokter yang kelak jadi rektor pertama Universitas Gadjah Mada ini melakukan riset terkait lepra bersama doktor lepra terkemuka Jacub Bernardus Sitanala. Laporan penelitian Sardjito dan Sitanala terhimpun dalam Mededelingen (Vol. 21, No. 2, 1932, hlm. 27-32; 32-37).

Dalam laporannya, Sardjito menjabarkan metode untuk menemukan basil lepra dengan metode “tetes darah tebal” seperti yang biasa dilakukan pada pemeriksaan malaria. Darah untuk pemeriksaan itu diambil dari bagian kulit pasien lepra yang masih sehat. Mereka berdua juga mengirimkan laporan riset metode ini ke Zentralblatt (Vol. 126 No. 5/6, 1932, hlm. 427-433).

Pada 1936, Sardjito kembali bekerja sama dengan Achmad Mochtar untuk mencari metode pengobatan lepra yang tepat. Di antaranya, mereka membandingkan kemanjuran antara penggunaan alepol dan etil ester dari minyak chaulmoogra. Pengobatan yang terakhir diperkirakan adalah yang paling manjur, meski sampel yang diuji sangat kecil.

Sardjito dan Achmad dalam artikelnya di GTNI (Vol. 76 No. 16, 1936, hlm. 973-983) menyebut, etil ester tidak hanya dapat digunakan di poliklinik dan rumah sakit, tapi juga cocok untuk pengobatan lepra dalam skala besar. Selain itu, biayanya juga jauh lebih murah dibandingkan jika harus menjalani perawatan di leproseri.

Infografik Mas Sardjito

Infografik Mas Sardjito 13 Agustus 1889-5 Mei 1970. tirto.id/Fuad

Penyakit Tropis Lain

Masih ada beberapa penyakit tropis lain yang menjadi perhatian Sardjito, di antaranya adalah rhinoscleroma. Penyakit ini pertama kali disebut di Hindia Belanda pada 1918. Sejak saat itu, pencatatan mengenai kejadian penyakit ini terus meningkat.

Rhinoscleroma merupakan penyakit akibat bakteri yang merusak bentuk hidung dan dapat menginfeksi saluran pernafasan atas. Penyakit ini lebih sering terjadi pada perempuan muda dan jamak terjadi di wilayah tropis seperti di Asia Tenggara.

Penelitian pertama Sardjito mengenai penyakit yang dianggap purba ini dilakukan bersama Johannes Leimena pada 1936 di Minahasa. Mereka menemukan tiga kasus rhinoscleroma di sana. Riset terkait metode pengobatan dan hasilnya mereka terbitkan dalam GTNI (Vol. 76, No. 32, 1936, hlm. 2010-2016).

Minat Sardjito pada penyakit tropis sangat luas dan menjadikannya sebagai seorang peneliti yang produktif di mana pun dia bekerja. Pada 1928 ketika masih bekerja di Eijkman Instituut, Sardjito dan bersama sejawatnya E.W. Walch mencoba mengidentifikasi darah manusia di dalam perut nyamuk Anopheles dengan uji Precipitin.

Riset ini bertujuan untuk menentukan spesies mana saja dari genus Anopheles yang membawa penyakit malaria. Hasil penelitian ini mereka laporkan di GTNI (No. 2, 1928, hlm. 247-268) dan Mededelingen (Vol. 17, 1928, hlm. 234-250).

Sardjito dan beberapa koleganya juga pernah melakukan riset terkait penyakit spirillosis atau demam gigitan tikus. Mirip dengan leptospirosis, kuman penyakit ini juga menyebar melalui paparan urine atau lendir di mulut tikus. Gejala-gejalanya yang berhasil dicatat dari seorang pasien adalah timbulnya demam naik-turun, detak jantung cepat, dan anemia.

Sardjito dan koleganya kemudian menemukan spesies baru bakteri Spirillum yang dianggap sebagai penyebabnya. Mereka memberi usul untuk menamakannya Spirillum cardiopyrogenes (GTNI, Vol. 72, No. 20, 1932, hlm. 1359-1363).

Baca juga artikel terkait SARDJITO atau tulisan lainnya dari Uswatul Chabibah

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Uswatul Chabibah
Editor: Fadrik Aziz Firdausi