Menuju konten utama
Sejarah Indonesia

Ketegasan Ratu Shima Penguasa Pantura

Ratu Shima penganut Hindu taat, tapi mengayomi pemeluk agama lain, termasuk umat Buddha dan kaum pedagang Islam.

Ketegasan Ratu Shima Penguasa Pantura
Ilustrasi Ratu Shima. tirto.id/Rangga

tirto.id - Ada satu cerita terkait sikap tegas yang melekat pada diri Ratu Shima. Ketegasan penguasa Kerajaan Kalingga yang bertakhta sejak 674 hingga 695 Masehi itu konon sudah terkenal di berbagai penjuru, hingga ke luar Jepara, luar pulau, bahkan sampai ke negeri-negeri lain yang jauh.

Kabar itulah yang membuat seorang raja bernama Ta-Shih penasaran. Secara diam-diam, raja yang disebut-sebut berasal dari Timur Tengah ini datang ke Kalingga dan meletakkan sekantung emas di persimpangan jalan dekat alun-alun kerajaan. Raja asing ini ingin tahu, apakah rakyat Kalingga berani mengambil sesuatu yang bukan milik mereka.

Baca Juga: Perdebatan Masuknya Islam ke Nusantara

Beberapa bulan berlalu, kantung berisi emas itu masih tetap di tempatnya. Hingga pada suatu saat, Pangeran Narayana yang tidak lain adalah putra Ratu Shima, berjalan melewati lokasi tersebut. Kakinya tak sengaja menyentuh kantung emas yang tergeletak di situ.

Di sinilah ketegasan Ratu Shima diuji. Semua orang tahu, Ratu Shima amat menyayangi Narayana, anak lelaki satu-satunya yang bahkan sudah dinobatkan sebagai putra mahkota selaku penerus estafet kepemimpinan Kerajaan Kalingga nantinya. Lantas, apa keputusan Ratu Shima?

Ratu Shima semula menjatuhkan hukuman mati terhadap putra terkasihnya itu. Namun, para pejabat dan keluarga istana meminta keringanan kepada sang ratu agar sang pangeran diampuni kesalahannya.

Namun, hukum tetap harus ditegakkan. Lantaran kaki sang pangeran yang menyentuh kantung emas itu meskipun tidak sengaja, maka Ratu Shima memerintahkan agar kaki anaknya dipotong sebagai hukuman (R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, Jilid 2, 1988:37).

Diboyong Dari Seberang

Terlepas benar atau tidaknya kisah yang melegenda itu, Ratu Shima memang kerap dicitrakan sebagai sosok pemimpin yang tegas, bahkan cenderung keras. Nama Shima kerap diidentikkan dengan istilah simo yang berarti “singa” (Gunawan Sumodiningrat, Membangun Indonesia Emas, 2005:83). Kendati begitu, sang ratu sangat dicintai rakyatnya.

Kalingga adalah kerajaan Hindu yang pernah menjadi pemerintahan terbesar di Jawa, khususnya di bagian tengah pulau tersebut. Kerajaan ini berpusat di pesisir pantai utara Jawa, tepatnya di daerah Jepara sekarang. Kalingga juga dikenal dengan nama Kerajaan Holing atau Kaling (Jepara dalam Angka, 2007:38).

Baca Juga: Kegigihan Ratu Kalinyamat Mengusir Portugis

Ratu Shima sendiri bukan berasal dari Jawa. Ia lahir pada sekitar tahun 611 M di Sumatera bagian selatan, di dekat daerah yang kini bernama Musi Banyuasin. Ratu Shima, putri seorang pemuka agama Hindu-Syiwa, diboyong ke Jepara setelah menikah dengan pangeran dari Kalingga bernama Kartikeyasinga, yang kemudian menjadi raja sejak tahun 648 M.

Setelah Kartikeyasinga wafat pada 674 M, Ratu Shima melanjutkan peran suaminya sebagai penguasa Kalingga (Catatan-catatan Tercecer Mengenai Kerajaan-kerajaan dan Raja-raja pra Islam di Jawa Barat, 1993:16). Ratu Shima naik takhta karena dua anaknya, yakni Parwati dan Narayana, masih kecil.

Antara Kalingga dengan kerajaan-kerajaan di negeri Melayu memang terjalin ikatan kekerabatan yang cukup erat. Ibunda Kartikeyasinga atau mertua Ratu Shima adalah putri dari Kerajaan Sribuja yang berpusat di Palembang. Kelak, kerajaan ini ditaklukkan oleh Sriwijaya pada 683 M.

Baca Juga: Mengenal Kerajaan Melayu di Lampung, Sekala Brak

Setelah diperistri oleh Kartikeyasinga, Ratu Shima sempat tinggal di kawasan yang disebut Adi Hyang di pegunungan Dieng yang sampai saat ini masih didapati candi-candi bercorak Hindu. Maka, sempat terjadi perdebatan terkait lokasi Kerajaan Kalingga meskipun dugaan terkuat tetap Jepara (Solichin Salam, R.M.P. Sosrokartono: Sebuah Biografi, 1987:14).

infografik ratu shima

Ibu Raja-raja Jawa

Kerajaan Kalingga semasa Ratu Shima berkuasa disebut-sebut mencapai puncak keemasannya. Pelabuhan milik Kalingga pada masa itu merupakan salah satu pusat perdagangan paling sibuk di Jawa, dan menjadi tempat pertemuan banyak orang dari berbagai bangsa.

Kalingga mengambil-alih peran bandar dagang teramai yang semula dikuasai oleh Kerajaan Tarumanegara di pesisir utara Jawa bagian barat. Bahkan, Kalingga telah menjalin relasi dengan kekaisaran di Cina sejak abad ke-5 M (Ismawati, dkk., Continuity And Change: Tradisi Pemikiran Islam di Jawa, 2006:36).

Tak hanya sektor perdagangan, kehidupan perekonomian Kalingga ditopang pula dengan majunya aspek-aspek lainnya, termasuk pertanian. Dalam hal ini, Ratu Shima memakai sistem pengairan subak, yang juga diterapkan oleh masyarakat petani Hindu di Bali.

Baca Juga: Ratu Harisbaya Memicu Perang Sumedang vs Cirebon

Dikutip dari Seni, jurnal terbitan Institut Seni Indonesia (Volume 5, 1996:367), penduduk Kalingga pada era Ratu Shima juga dikenal terampil dalam hal kerajinan tangan, seperti membangun rumah, membuat kapal atau perahu, berbagai perabotan rumah tangga, dan pekerjaan di bidang pertukangan lainnya.

Ratu Shima memerintah Kerajaan Kalingga selama 21 tahun. Semasa periode itu, Kalingga menjadi satu-satunya kerajaan besar di Jawa bagian tengah, sekaligus penguasa pesisir pantai utara. Ratu Shima mengayomi pemeluk agama lain, termasuk Buddha, dan orang-orang Islam dari Timur Tengah yang datang untuk berdagang.

Sebelum Ratu Shima wafat pada 695 M, wilayah Kalingga dibagi dua untuk kedua anaknya, yakni Parwati dan Narayana. Parwati, yang diperistri Rahyang Mandiminyak dari Kerajaan Sunda-Galuh, menguasai Kalingga utara. Sedangkan bagian selatan diserahkan kepada Narayana (Atja Wangsakerta, Pustaka Raja-raja di Bumi Nusantara, 1991:63).

Baca Juga: Salakanagara, Kerajaan (Sunda) Tertua di Nusantara

Parwati nantinya punya cucu bernama Sanjaya, yang menikah dengan Dewi Sudiwara yang tidak lain adalah cucu dari Narayana. Perkawinan antar cicit Ratu Shima ini dikaruniai anak laki-laki bernama Rakai Panangkaran, lahir pada 717 M. Rakai Panangkaran inilah yang kelak menurunkan raja-raja besar di Jawa.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Reporter: Iswara N Raditya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Zen RS