Menuju konten utama

Ketegangan Serangan Gas Air Mata di Atma Jaya

Meski jumlah massa aksi 30 September tak sebanyak massa aksi 24 September, tapi polisi jauh lebih represif. Posko medis bahkan diserang.

Ketegangan Serangan Gas Air Mata di Atma Jaya
Ilustrasi aksi Reformasi Dikorupsi. tirto.id/Lugas

tirto.id - Pukul 17:45 Sasha bergegas mengangkut semua kebutuhan logistik dan medis yang ada di posko medis depan Hotel The Sultan menuju Taman Segitiga Semanggi. Ia dapat kabar kalau banyak massa demonstrasi Reformasi Dikorupsi mundur ke sana, karena ditembaki gas air mata oleh polisi. Sebelumnya, Sasha sempat menonton video rusuh di depan DPR lewat twitter.

“Massa yang mundur ditembakin gas air mata,” kata Sasha. “Aku mikirnya, pasti di sana sudah banyak yang butuh bantuan, makanya pontang-panting langsung menuju ke Taman Semanggi.”

Tak sampai setengah jam di sana, ia dan timnya langsung menerima dua korban yang sesak napas karena menyedot gas air mata, salah satunya bahkan asmanya kambuh. Mereka adalah pasien pertama Sasha hari itu, setelah berjaga di depan posko medis depan Hotel The Sultan sejak pukul 11 siang. Di sekitar mereka, massa yang berlari mundur makin banyak. Lima belas menit kemudian, teriakan evakuasi menggema di sana.

“Evak! Evak! Evak!” Sasha mengulangi teriakan itu.

Massa yang sebagian sedang beristirahat, dan bersiap pulang tiba-tiba dilempari gas air mata dari atas simpang susun Semanggi.

Sasha langsung menyelamatkan semua barang logistik dan medis yang bisa dibawanya ke dalam mobil yang standby. Mereka mundur menuju Posko Medis di pelataran Universitas Katolik Atma Jaya, pusat evakuasi medis terdekat. Kabarnya di sana juga ada PMI dan dokter yang berjaga. Dua pasien pertama Sasha juga dibawa ke sana, pakai dua sepeda motor yang disiapkan membawa pasien.

Sekitar pukul enam sore, mereka membuka posko darurat di trotoar depan Unika Atma Jaya, yang bersebrangan dengan lingkaran Semanggi. Jalur itu ramai dilalui demonstran, sampai-sampai sebagian korban yang tim Sasha rawat sempat disenggol massa yang berlalu lalang.

“Terlalu rame, sampai kita susah pasang parameter,” kata Sasha.

Kerumunan Aksi depan Gedung DPR

Di tempat lain massa aksi sedang melakukan konferensi pers terkait kondisi terkini rapat paripurna DPR. Konferensi berhenti sejenak karena adzan magrib. Saat itu sudah ada arahan balik secara teratur, sebagian massa pun sudah mulai mundur.

Salah satunya, Stacey. Ia dan 5 orang timnya adalah tim medis dari kelompok relawan yang sama dengan Sasha. Hanya saja, sejak sore Stacey masuk tim medis yang berpatroli di kerumunan massa, untuk menjangkau korban-korban yang butuh pertolongan pertama jika ada.

Sekitar pukul 17:55, polisi menembakkan gas air mata di depan gedung DPR, mendesak massa mundur. "Tembakan itu dari depan banget, massa langsung pecah, pada lari mundur,” kata Stacey.

Ia dan timnya menyisir sisi jalan seberang DPR. Mereka akhirnya memutuskan untuk berjaga di taman bawah jembatan layang Senayan-Gatot Subroto, depan Graha Jalapuspita milik TNI Angkatan Laut.

“Soalnya, aksi kemarin (24 September) di titik itu banyak korban, tapi enggak ada medis,” kenang Stacey.

Tembakan gas air mata makin menjadi-jadi. Padahal, sejak tembakan pertama, sebagian massa sudah meneriakan, “Jangan tembak! Jangan tembak!” ke arah polisi, sambil mengangkat tangan ke atas. Stacey akhirnya harus mundur, dan bersama timnya memutuskan masuk ke halaman parkir Graha Jalapuspita. Di sana sudah ada sekitar 5 korban yang terkapar.

“Ada korban pingsan, luka-luka karena jatuh dan terseret, sesak napas, katatonik karena syok, bahkan kena peluru karet,” kata Stacey.

Sebetulnya ia sempat tak yakin untuk tetap bertahan di sana. “Gue sempat mixed-feeling sebenarnya, karena marinir kan juga aparat. Apa ini jadi tempat aman buat korban-korban aksi?”

Ia baru yakin karena salah seorang marinir sempat bilang, polisi tak akan berani masuk ke area tersebut. “Tenang aja, mbak, aman,” Stacey mengulangi kalimat sang marinir.

Massa kian banyak dan sebagian berlarian ke dalam halaman parkiran. Dugaan Stacey mereka hendak sembunyi atau berlindung dari gas air mata dan peluru karet. Namun, marinir yang menjadi gerbang cuma memperbolehkan korban, pendamping korban, dan tim medis untuk masuk ke sana. Dalam waktu singkat, korban bertambah banyak.

“Dari sekitar 4-5 korban, nambah sampai 20-an. Nyampur anak STM dan mahasiswa,” tambah Stacey.

Stok oksigen, air salin, dan perlengkapan medis mereka mulai menipis, pada saat bersamaan suara tembakan makin bertubi-tubi, makin dekat. Teriakan minta tolong dibukakan pagar juga semarak. Akhirnya, sebagian marinir mengarahkan massa ke gang kecil di sampir Rumah Sakit Mintoharjo untuk sembunyi.

Saat Stacey sedang menangani salah satu korban yang sesak napas, sebuah selongsong gas air mata sekonyong-konyong masuk ke halaman parkir Graha Jalapuspita. Cuma beberapa langkah dari kakinya.

“Pak, tolong ini korban, Pak! Tolong, Pak!” spontan ia berteriak minta tolong para marinir mengevakuasi para korban.

Sore di Depan Atma Jaya

“Tin! Tin! Tin!”

Jay menekan klakson mobilnya berkali-kali. Dari depan trotoar Unika Atma Jaya, mobilnya memang dalam posisi berlawanan arah di Jalan Sudirman. Di dalamnya penuh disesaki bahan-bahan logistik dan medis yang sehari sebelumnya telah disiapkan Sasha dan timnya—ditambah seorang korban pingsan yang akan ditransfer ke Rumah Sakit Jakarta, bersama tiga orang temannya.

Mobil itu amat penuh, sampai kaki korban menjulai ke luar jendela.

“Minggir! Minggir!” Jay harus teriak kencang, karena jalur yang dilewatinya memang tak ditutup polisi, meski terbilang dekat sekali pada posko medis dan bisa jadi laur pulang massa.

Ia bahkan sempat cekcok dengan salah satu pengendara saat masuk ke jalan sempit di antara Atma Jaya dan Hotel Arya Duta. Mau tak mau, Jay yang menuju RS Jakarta harus mundur, dan membiarkan sekitar lima mobil lewat baru akhirnya bisa masuk ke sana.

“Sampai di situ, orang-orang di IGD juga masih panik. Mereka mungkin enggak nyangka ada korban aksi yang dilarikan ke situ, mungkin yang saya antar itu pasien pertama yang dari korban aksi,” kenang Jay.

Di saat yang bersamaan, polisi terus mendorong massa dari Jalan Gatot Subroto menuju lingkaran Semanggi yang ada di depan Atma Jaya. Suara tembakan gas air mata makin sering terdengar, sayup-sayup teriakan orasi polisi dari mobil komando mereka juga makin dekat.

Saat mengantar korban selanjutnya, Jay menempelkan bendera lakban merah yang disilangkan bagai logo palang merah di depan mobilnya. Di lengan kanannya juga dililitkan logo serupa, yang ternyata membantu proses evakuasi korban lebih lancar di jalan.

“Saya bawa yang pingsan-pingsan, dan butuh pertolongan lanjutan. Kalau korban yang kepalanya bocor, atau lebih parah biasanya langsung dibopong, jalan kaki, menghindari macet,” kenang Jay.

Di tengah keadaan panik itu, massa simpatisan mulai menutup Jalan Sudirman di seberang Atma Jaya. Para pengendara umum diarahkan untuk belok kiri ke arah jalur lambat Semanggi. Dari situ, sekitar pukul 19:23, barikade polisi sudah tampak berbaris di depan Atma Jaya. Di hadapan mereka, ada gerombolan massa yang sudah bercampur.

Demonstran yang tengah istirahat kembali berhamburan. Ada yang masuk ke Plaza Semanggi, sebagian melompat ke pagar belakang kampus Atma Jaya.

Warga non-demonstran pun ikut jadi korban. Penumpang Trans Jakarta di halte Benhil kocar-kacir akibat gas air mata. Warga lain yang hendak pulang ke rumah juga turut jadi korban. Dari jendela gedung-gedung tinggi di depan Atma Jaya, gerombolan orang tampak menonton sambil merekam video dengan ponsel mereka.

Sebagian warga yang pingsan dan dilarikan ke Atma Jaya untuk mendapat pertolongan pertama. Tim Advokasi Untuk Demokrasi menyebut polisi juga menangkapi dan menggebuki sejumlah orang. Tim medis tak luput dari perburuan.

Tembakan gas air mata bersahut-sahutan dengan teriakan massa. Mereka sempat lari, sebelum akhirnya kembali menyerang dan memukul mundur polisi.

Pukul 20:21 di Aula Sport

Sasha yang semula menggelar posko darurat di depan trotoar Atma Jaya sudah pindah ke dalam, tepatnya di Aula Sport, sebuah lapangan basket.

“Waktu sampai, ternyata sudah banyak korban di sana, saya panik mengeluarkan peralatan medis lain. Tapi karena panik, ternyata sudah banyak yang tercecer dalam perjalanan dari Taman Semanggi, ke depan Atma Jaya, dan ke dalam kampus,” kata Sasha.

Posko medis yang semua ada di pelataran Atma Jaya berpindah ke dalam saat gas air mata dari polisi makin dekat.

“Bahkan masih kecium di dalam. Aku sempat cari-cari masker lagi, buat korban yang terus datang. Tapi, udah habis,” kata Sasha.

Kondisi di dalam memang jadi panik karena gas air mata. Tak hanya korban, para tim medis juga mulai sesak, mata mereka juga perih. Stok perlengkapan medis, seperti air salin dan oksigen juga makin menipis.

Di media sosial muncul seruan untuk menyuruh polisi hentikan tindakan represi pada posko medis Atma Jaya. Orang-orang di dalam Aula Sport mulai meminta bantuan, dan menghubungi kenalan mereka di luar.

“Tim Advokasi untuk Demokrasi mendesak Kepolisian Daerah Metro Jaya (Polda Metro) untuk segera menghentikan tindakan represif pasca-penanganan aksi Senin 30 September 2019, termasuk masih dilangsungkannya serangan gas air mata diarahkan ke Universitas Atmajaya yang berfungsi sebagai posko medis untuk merawat korban aksi.”

Potongan kecaman itu tersebar masif di media sosial: twitter dan instagram.

Sekitar pukul 7 di Halaman Parkir Graha Jalapuspita

Selosong gas air mata bikin Stacey dan tim medis yang tersudut di Halaman Parkir Graha Jalapuspita panik. Dugaan Stacey, polisi mengira mereka adalah bagian dari massa aksi yang tengah bersembunyi.

“Mereka kayanya pukul rata aja, semua dianggap massa aksi, tanpa mempertimbangkan ada tim medis dan korban yang butuh pertolongan pertama,” kata Stacey.

Mereka mulai bersembunyi di balik mobil-mobil yang terparkir. Takut, kalau gas air mata akan kembali ditembakan. Saat mereka masih sibuk saling membopong korban ke tempat lebih aman, selongsong gas air mata kedua masuk. Beberapa marinir sempat emosi karena lokasi mereka sebetulnya dekat dengan Rumah Sakit Mintohardjo, area yang harusnya tak boleh diserang polisi.

Bau gas air mata bikin mereka sesak napas dan menangis. Sementara oksigen dan salin water yang dibawa Stacey dan timnya sudah habis.

Mereka dapat komando untuk bergabung dengan posko medis di Atmajaya yang perlengkapannya dianggap lebih baik. Stacey juga dapat kabar kalau semua tim medis sudah kembali ke Atmajaya, kecuali timnya. Mereka sempat mencoba cari jalur alternatif untuk kembali dengan aman, tapi jalan di depan Bendungan Hilir yang berseberangan dengan Atmajaya tengah rusuh.

Stacey juga sempat melihat seruan kecaman pada polisi yang menyerang Atmajaya dengan gas air mata bertubi-tubi. Kabar sweeping yang dilakukan polisi ke rumah makan, dan sebagian tempat umum juga berhembus di media sosial.

“Kondisi sangat tidak kondusif, plus ada sweeping aparat. Kalau terindikasi massa aksi bisa digebukin,” kata Stacey.

Pukul 21:30 di Dalam Kampus Atmajaya

Beberapa kali, pihak Atmajaya melalui dosen, alumni, dan satpam berdiskusi dengan tim medis dan massa di dalam. Mereka meminta mereka keluar pelan-pelan, karena Atma Jaya harus segera dikosongkan. Sebabnya ditakutkan polisi akan masuk dan menggelar sweeping.

Tim medis menyiasatinya dengan langsung membawa korban yang sudah sehat langsung ke luar Atma Jaya, dan korban yang butuh pertolongan lanjut ditransfer ke rumah sakit terdekat. Gunanya mencegah terjadi penumpukan. Namun, korban terus berdatangan. Kisruh antara massa dan polisi di depan Atma Jaya terus berlangsung.

Hingga pukul 22:02, korban sesak napas dan terluka terus berdatangan ke dalam posko medis di dalam Atma Jaya. Tim Medis sempat disuruh masuk ke rubanah untuk menghindari ancaman sweeping dari aparat. Sekitar seratusan orang, yang berisi tim medis, massa aksi dari Atma Jaya, korban yang beristirahat, dan beberapa orang jurnalis yang meliput terjebak di rubanah cukup lama.

Lampu dimatikan, agar tidak mengundang kecurigaan bahwa di sana masih banyak kerumunan.

Namun, hingga pukul sepuluh lewat, dua sampai tiga korban kelemasan masih masuk. Beberapa relawan dari PMI juga sempat membantu menangani: memberikan semprotan salin water, minum, dan oksigen. Beberapa kali Sasha harus mengondusifkan suara obrolan massa yang cukup berisik.

“Sssst.. sstt.. mohon jangan mengundang kericuhan,” bisiknya.

Dalam gelap itu, semua orang cuma menunggu dua hal: suasana di luar aman, atau polisi datang menangkapi satu per satu.

Beruntung, yang terjadi adalah hal pertama. Sekitar pukul 22:58, kami mulai ke luar dalam sel-sel kecil, tiga sampai lima orang.

Aksi Reformasi Dikorupsi

Aksi Reformasi Dikorupsi. tirtoi.id/Lugas

Keesokan paginya, Polda Metro Jaya

Atas semua kekacauan di posko medis Atma Jaya, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Argo Yuwono hanya mengatakan “mungkin polisi reflex”. Sebab, katanya di Polda Metro Jaya, Selasa (1/10/2019), "karena melihat massa berlarian ke sana.”

Sementara untuk gas air mata yang diarahkan ke tempat lain, menurut Argo, itu semata untuk memukul mundur massa. Padahal mereka memang hendak pulang. Yang memilih diam pun sebenarnya tengah rehat barang sejenak.

Malam itu hingga tanggal 1 Oktober dini hari, polisi menangkap 649 orang. Di kantornya, Jakarta, Selasa (1/10/2019), Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan orang—yang ia sebut sebagai “perusuh”—ditangkap—dia memilih menggunakan kata “diamankan”—oleh Polda Metro Jaya dan polres metro jajaran.

"Seluruhnya masih penyelidikan. Jika selesai proses penyelidikan, bisa ditingkatkan status hukumnya ke tahap penyidikan," kata Dedi.

"Statusnya bisa jadi tersangka," sambung Dedi, jika masing-masing dari mereka terbukti bersalah dengan dasar dua alat bukti.

Baca juga artikel terkait AKSI MAHASISWA DI DPR atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Aulia Adam
Editor: Mawa Kresna