Menuju konten utama

Ketatnya Premier League Turut Meningkatkan Kualitas Timnas Inggris

Jumlah pemain asal Inggris yang bermain di Premier League semakin menurun. Tapi itu tak berdampak pada kualitas timnas. Justru yang terjadi sebaliknya.

Ketatnya Premier League Turut Meningkatkan Kualitas Timnas Inggris
Para pemain Inggris berpose untuk foto tim sebelum pertandingan sepak bola Liga Bangsa-Bangsa UEFA antara Inggris dan Kroasia di stadion Wembley di London, Minggu, 18 November 2018. AP Photo / Matt Dunham

tirto.id - Tim nasional Inggris terus mengalami perkembangan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Di kelompok umur, U-19 berhasil menjadi juara Piala Eropa 2017, sementara pada tahun yang sama U-20 berhasil memenangkan Piala Dunia.

Sementara timnas senior, setelah 28 tahun, juga berhasil menembus posisi empat besar dalam Piala Dunia 2018.

Meski begitu, Gordon Taylor, Pejabat Eksekutif Tertinggi Profesional Footballers Association--serikat pekerja pesepak bola profesional di Inggris dan Wales--ternyata masih mengeluh. Dia berpendapat enam tim teratas di Premier League masih terlampau sedikit menyumbang pemain lokal.

Pernyataan ini bisa merujuk pada enam pertandingan teratas Premier League yang digelar 26 dan 27 Februari lalu. Ketika itu, dari 66 pemain, hanya hanya ada sembilan orang (setara 13,6 persen) asal Inggris yang ikut berjibaku di atas lapangan.

Jika situasi itu terus berlanjut, menurutnya, akan membahayakan masa depan timnas Inggris--yang sebetulnya sedang berada di jalur yang benar.

Football Association (FA) sebetulnya sudah lama menyadari itu. Karenanya sejak musim 2015-2016 lalu mereka menerapkan aturan bahwa setiap tim Premier League wajib menyertakan delapan homegrown player dari 25 pemain yang didaftarkan. Mereka juga rencananya akan meningkat jumlah homegrown player menjadi 12.

Homegrown player adalah istilah bagi pemain, terlepas apa pun kewarganegaraannya, yang sudah menghabiskan tiga musim di Inggris saat ia berusia 16-21 tahun. Tujuannya agar muncul bibit-bibit unggul, terutama orang Inggris, sejak usia muda.

Namun Taylor ternyata ingin perubahan lebih konkret.

“FA perlu mengembangkan homegrown player... Mereka harus berada di dalam skuat yang terlibat di dalam pertandingan sebenarnya,” tutur Taylor. “Krisis sebenarnya adalah berapa homegrown player yang terlibat di dalam pertandingan [di lapangan] daripada yang tercatat di dalam skuat. Itu yang harus diubah.”

Apa yang dikatakan Taylor tersebut ada benarnya. Pada pekan ke-30, hanya sekitar 29,5 persen permain Inggris yang layak tampil untuk membela timnas.

Tetapi, melihat kualitas pemain-pemain Inggris belakangan ini, keluhan itu tak sepenuhnya tepat.

Kualitas Bisa Menutupi Kuantitas

Menurut hitung-hitungan The Times, pelatih Gareth Southgate sejauh ini sudah memimpin timnas Inggris dalam 31 pertandingan. Jumlah pemain yang diikutsertakan mencapai 71, dan yang benar-benar bertanding sebanyak 56.

Dibanding jumlah pemain yang pernah dilibatkan oleh Roy Hodgson dan Sven-Göran Eriksson dulu, jumlah pemain yang terlibat saat ini memang masih kalah banyak. Roy Hodgson memimpin Inggris dalam 56 pertandingan dan melibatkan 70 pemain dari 78 pemain yang dipanggil. Sementara Eriksson memimpin Inggris dalam 67 pertandingan dan melibatkan 72 pemain dari 82 pemain yang dipanggil.

Namun, ada satu hal penting yang juga patut disadari: dengan melibatkan pemain yang lebih sedikit, Southgate mampu membawa Inggris tampil lebih baik.

Sementara prestasi Eriksson hanya mentok di babak perempat-final Piala Dunia dan Hodgson terpaksa angkat kaki setelah dipermalukan Islandia dalam Piala Eropa 2016, Southgate mampu membawa Inggris menembus empat besar Piala Dunia 2018.

Salah satu alasan kesuksesan Southgate itu tak terlepas dari peran Premier League. Meski jumlah pemain Inggris yang terlibat di Premier League semakin menurun setiap tahun, ketatnya kompetisi justru membuat kualitas pemain ikut meningkat.

Hal ini kemudian membuat persaingan untuk menembus timnas juga semakin ketat.

Kiprah pemain-pemain Inggris di tim besar Premier League bisa menjadi contoh. Saat ini, meski John Stones (Manchester City), Eric Dier (Tottenham Hotspur), Marcus Rashford (Manchester United), hingga Trent Alexander-Arnold (Liverpool) adalah pemain penting di timnya masing-masing, tapi posisi mereka di timnas belum sepenuhnya aman.

Di sektor belakang, Stones bersaing ketat dengan Kyle Walker, Harry Maguire, hingga Michael Keane. Di sektor full-back kanan, Kieran Trippier adalah saingan sepadan Alexander-Arnlod. Di lini tengah, Dier mendapat pesaing baru bernama Declan Rice, yang akhir-akhir ini tampil cemerlang bersama West Ham United.

Dan di lini depan, Rashford harus berkompetisi dengan Harry Kane, Raheem Sterling, hingga rekannya di Manchester United, Jesse Lingard.

Selain itu, ketatnya persaingan di Premier League juga ikut mendorong tim-tim Inggris untuk mengembangkan para pemain muda. Dulu, Inggris hanya mempunyai Lilleshall National Sports and Conferencing Centre untuk menghasilkan pemain bagus. Tapi kini hampir semua klub di Premier League sudah mempunyai akademi sepakbola sendiri yang mampu menghasilkan pemain-pemain muda dengan kualitas jempolan.

Alhasil, timnas senior Inggris pun ikut meraih keuntungan: mereka bisa mengkombinasikan pemain senior sarat pengalaman dengan pemain muda berkualitas.

Soal keuntungan yang didapat timnas Inggris dari para pemain muda, persiapan yang dilakukan Southgate untuk menghadapi Ceko dalam gelaran kualifikasi Piala Eropa pada Sabtu (23/3/2019) dini hari nanti bisa menjadi contoh. Dari 23 pemain yang dipanggil, sebagian besar adalah pemain muda, termasuk Callum Hudson-Odoi (18 tahun) dan Jadon Sancho (19 tahun).

Jadi, daripada mengeluh, Taylor sebaiknya bersyukur dengan semakin kompetitifnya Premier League.

Baca juga artikel terkait LIGA INGGRIS atau tulisan lainnya dari Renalto Setiawan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Renalto Setiawan
Editor: Rio Apinino