Menuju konten utama

Ketakutan, Konspirasi, dan Penderitaan Selama Pandemi COVID-19

Tidak ada yang takut dengan cuaca, tetapi orang-orang takut terhadap virus.

Ketakutan, Konspirasi, dan Penderitaan Selama Pandemi COVID-19
Ilustrasi Linda Christanty. tirto.id/Sabit

tirto.id - Seorang teman yang sedang tugas belajar di Tiongkok mengabari saya tentang ada virus corona jenis baru atau SARS-CoV-2, yang kemudian kita kenal sebagai COVID-19. Ia kemudian meninggalkan negara itu pada akhir Januari 2020. Ketika itu transportasi publik sudah tidak beroperasi lagi di kawasan tempat tinggalnya dan beruntung, ada orang bersedia mengantarnya dengan mobil pribadi menuju bandara. Ia juga beruntung karena bandara masih dibuka untuk penerbangan umum keluar Tiongkok.

Sekitar November 2019 tersiar kabar bahwa sejumlah orang telah meninggal dunia di Wuhan akibat serangan virus dan semula ia mengira mereka terserang virus yang sama, yang kadang kembali lagi. Jarak dari Kaifeng, kota tempat tinggalnya, ke Wuhan sekitar enam jam berkereta. Beberapa kali dalam dua tahun belakangan selama dia di kota itu, warga diingatkan agar tidak makan ayam karena ada penyakit yang menyerang unggas, termasuk ayam. Restoran-restoran langsung berhenti menjual makanan olahan dengan bahan ayam. Gerai-gerai ayam goreng tutup. Ayam-ayam juga menghilang dari pasar swalayan ataupun pasar tradisional. Flu burung ini, yang disebut qingliugan di Tiongkok, sempat menyebar ke beberapa negara, termasuk Indonesia, lalu mereda. Rupanya virus yang menyerang Wuhan kali ini adalah jenis baru. Orang-orang di Tiongkok menyebutnya xin xing guan zhuang bing du. Virus corona.

Dari mana virus itu berasal?

Beberapa bulan lalu, sebuah teori dicetuskan para ilmuwan yang menyebutnya berasal dari kelelawar. Entah bagaimana, setelah seseorang makan sup kelelawar, virus itu melompat dan bersemayam di tubuhnya. Seorang teman berasal dari Manado terpaksa berpuasa makan kelelawar sesudah membaca berita itu. Luc Montagnier, ahli virus dan peraih Hadiah Nobel di bidang kedokteran, tidak turut menyalahkan kelelawar. Menurut Montagnier, sebagaimana dikutip salah satu media di Perancis, virus itu sebagian tumbuh di laboratorium di Institut Virologi Wuhan, Tiongkok. Katanya, virus buatan itu mengandung bagian dari HIV, yang menghancurkan kekebalan tubuh manusia.

Tentu saja, sejumlah ilmuwan lain membantah pendapat Montagnier. Pada 2015, pemerintah Barack Obama memberi hibah 3,7 juta dolar AS kepada lembaga di Wuhan tadi untuk penelitian virus corona. Apakah ada hubungannya? Jangan berharap dapat menemukan buktinya di film-film Netflix. Oh ya, di masa pandemi yang menyarankan kita jaga jarak fisik dan sosial, Netflix meraih keuntungan dari orang-orang yang duduk di rumah. Jumlah pelanggan dan harga saham perusahaan ini malah melonjak.

Pandemi ini kemudian menjangkau berbagai negara, yang membuat dunia dilihat dan dihadapkan dengan beberapa agenda.

Agenda pertama adalah berapa lama kita harus berlindung di suatu tempat atau sampai kapan tetap mengurung diri di rumah?

Media massa turut mendorong ketakutan untuk menjaga agar ‘lockdown’ tetap berjalan. Sejumlah pihak menginginkan situasi ini berlangsung hingga November nanti ketika, tentu saja, musim dingin Eropa dan Amerika Utara akan mengantarkan gelombang 'gejala mirip flu' lainnya tepat waktu. Pernyataan ahli onkologi Amerika, Dr. Ezekiel Emanuel, menambah rasa khawatir penduduk bumi. Ia menyatakan COVID-19 akan bersama kita selama 18 bulan atau lebih dan hidup kita tidak akan kembali normal sebelum vaksin yang efektif ditemukan, meskipun segelintir orang mengerdilkan pandemi ini dengan menyebutnya “tidak separah flu musiman.”

Ekses pandemi jelas mengguncang kehidupan. Ekonomi dunia di tepi jurang, pasar saham turun, harga minyak runtuh, dan jutaan orang telah kehilangan pekerjaan. Pengecualian selalu ada. Sekelompok orang diam-diam melihat pandemi dari sisi positif dan menganggapnya peluang yang menguntungkan mereka. Mereka lebih suka mematikan ekonomi dunia, biar bangkrut total dan setelah itu masyarakat baru dibangun kembali dari puing-puing, kira-kira mirip situasi pasca-Perang Dunia II, dengan utang-utang baru. Kalau virus kali ini tidak bekerja dengan baik, di laboratorium masih ada campak yang bisa diolah dan disebarkan, atau sesuatu yang membunuh pasien diabetes, misalnya. Ah, tetapi orang-orang lugu akan menyebut penjelasan tadi hoaks belaka, atau teori konspirasi.

Orang-orang jahat selalu ada dan itu bukan ilusi. Setidaknya, pemerintah-pemerintah korup dan media-media pendukungnya telah menemukan sesuatu yang ampuh untuk mengatasi permasalahan. Tidak perlu perang atau perubahan iklim untuk menimbulkan ketakutan. Virus ini bekerja jauh lebih ampuh daripada perubahan iklim. Tidak ada yang takut dengan cuaca, tetapi orang-orang takut terhadap virus. Orang-orang bersedia tinggal di rumah dan mereka yang patuh ini dibuat merasa bangga, seolah-olah tetap tinggal di rumah adalah tindakan patriotik.

Sementara itu, orang-orang yang berada di dasar piramida ekonomi kita tentu paling menderita. Mereka kehilangan segalanya. Mereka tidak bisa protes atau turun ke jalan untuk menuntut hak-haknya. Banyak pegawai toko, kuli bangunan, penjual cilok, dan pengemudi taksi tidur dengan perut kosong sekarang. Keluarga mereka sama buruknya. Berdemonstrasi di masa sekarang dianggap lebih buruk dari sekadar melawan pemerintah, yaitu melawan ras manusia. Mati kelaparan lebih dihormati ketimbang mati akibat virus. Tidak aneh bila ada berita tentang orang-orang yang menolak penguburan jenazah yang meninggal akibat COVID-19 dilakukan di kampung mereka. Orang-orang dibuat saling curiga dan saling mengawasi, seperti kehidupan di bawah rezim otoriter yang sudah kita alami.

Akibatnya, COVID-19 makin meningkat popularitasnya hingga memicu pertanyaan: membutuhkan vaksin (vaksinasi) atau tidak? Ini agenda kedua.

Mengapa memerlukan vaksin (vaksinasi) ketika kita sudah memiliki obatnya? Anda mungkin pernah mendengar tentang hydroxychloroquine atau chloroquine, obat untuk mencegah malaria yang terbuat dari pohon kina. Di Indonesia, pohon ini banyak ditanam. Obat malaria sudah dicobakan pada pasien-pasien yang positif COVID-19, termasuk di Indonesia. Obat dengan harga terjangkau ini dalam bentuk tabletnya tersedia di lemari obat kita. Oh, oh, katanya karakter COVID-19 mirip HIV. Jangan cemas. Sejumlah uji klinis juga membuktikan bahwa kina ternyata membunuh bagian dari HIV. Untuk membuat efektif hydroxychloroquine pada pasien COVID-19, ia harus dikombinasikan dengan seng sulfat. Tiba-tiba, di seluruh apotek, obat malaria menghilang.

Namun, kelihatannya Organisasi Kesehatan Dunia dan media tidak bersenang hati. Mereka bersama-sama mendorong penggunaan vaksin dan wacana tentang vaksin digencarkan terus. Perusahaan-perusahaan farmasi besar juga tidak menyukai obat malaria. Mereka berlomba membuat vaksin. Sejalan dengan Organisasi Kesehatan Dunia adalah gembong vaksinasi Bill Gates dan Gates Foundation-nya. Belum lama ini Gates menyatakan bahwa dia ingin semua orang tetap di rumah sampai dia mendapatkan vaksin.

Para elite korup tentu membenci obat murah atau yang harganya terjangkau masyarakat kebanyakan, karena tidak banyak uang untuk bisa dikorupsi. Obat yang menyembuhkan akan disingkirkan untuk digantikan oleh vaksin yang sedang dicari ini.

Mudah-mudahan COVID-19 mengikuti jejak flu Spanyol pada 1918, ketika penderitanya tidak ada lagi ditemukan secara signifikan sebelum vaksinnya sendiri ditemukan dan dunia bergerak kembali seperti biasa. Kita merindukan orang-orang berada di jalan lagi, bekerja kembali, saling mengunjungi teman ataupun keluarga, memeluk ibu kita atau mencium kekasih kita, menjalani hari-hari kehidupan yang meskipun berat tidak lagi dikendalikan termometer dan wajib masker untuk memasuki kawasan tertentu.

Tidak sedikit orang yang mengaitkan COVID-19 dengan senjata biologi atau lebih jauh lagi, bioterorisme, dan tentu saja, ada yang menyangkalnya. Ada pula yang sengaja membuat situs pemeriksa fakta di internet untuk menjebak orang-orang lugu yang haus informasi agar mereka menemukan jawaban bahwa virus ini murni dari alam, semurni air yang mengalir dari gunung.

Pada 2009, wartawan investigasi Austria Jane Burgermeister mengajukan tuntutan pidana terhadap Organisasi Kesehatan Dunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa dan beberapa pejabat tinggi pemerintah (mantan presiden Barack Obama termasuk di antaranya), dengan menuduh mereka mempraktikkan bioterorisme dan berupaya melakukan pembunuhan massal. Uniknya, di waktu lain, CEO YouTube, Susan Wojcicki seakan-akan menjawab tuntutan Burgermeister, dengan mengatakan "apa pun yang bertentangan dengan rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia akan menjadi pelanggaran terhadap kebijakan kami."

Saluran-saluran televisi dalam dan luar negeri terfokus pada pandemi ini, yang membuat banyak peristiwa penting tidak tersiarkan, termasuk kejahatan-kejahatan kemanusiaan dan genosida yang masih berlangsung di banyak tempat di dunia, kasus perdagangan anak dan perempuan, kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan, pencemaran ataupun penghancuran alam dan lingkungan, dan banyak lagi.

Pak Joko Widodo, bagaimanapun sampeyan masih presiden republik ini dan saya sebagai rakyat ingin menyampaikan aspirasi. Tolong, orang-orang disiapkan kembali untuk bekerja dan berbisnis. Kemiskinan akibat virus ini akan membunuh jauh lebih banyak orang ketimbang virus itu sendiri. Tolong gunakan obat malaria sebagai langkah pencegahan yang namanya sempat sampeyan katakan kepada media dulu. Setidaknya sampeyan juga perlu mempertimbangkan pengampunan untuk mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari yang mendekam di penjara selama empat tahun dan melibatkan pengkritik vaksinasi Organisasi Kesehatan Dunia itu untuk bergabung dalam tim sampeyan.

Pandemi ini membuat saya pada akhirnya teringat ucapan komedian Hollywood, Groucho Marx, "Politik adalah seni mencari masalah, menemukannya di mana-mana, mendiagnosisnya secara salah, dan menerapkan solusi yang salah."

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.