Menuju konten utama

Ketakutan dan Harapan Warga di Permukiman Padat saat Pandemi

Kisah tentang warga di permukiman padat penduduk dalam menghadapi pandemi Covid-19.

Ketakutan dan Harapan Warga di Permukiman Padat saat Pandemi
Masyarakat di Kawasan Padat Penduduk Menghadapi Pandemi Corona. tirto.id/Andrey Gromicko

tirto.id - Mohammad Toha termangu di depan rumah petaknya di Kali Anyar, Tambora, Jakarta Barat, saat saya menyapanya akhir pekan lalu. Tatapannya kosong, badannya terlihat lunglai.

“Sedih, mas, situasinya kayak gini,” katanya lirih.

“Kita enggak bisa ngapa-ngapain selain [diam] di rumah,” imbuhnya.

Apa yang dirasakan Toha juga dirasakan hampir semua penduduk dunia. Wabah Covid-19 telah membuat hari-hari tak ubahnya mimpi buruk tak berkesudahan. Aktivitas dipaksa berhenti dan perekonomian berada di ambang kejatuhan yang mendorong lahirnya berbagai ketidakpastian.

Namun, bagi orang-orang seperti Toha yang tinggal di kawasan padat penduduk di Jakarta, kondisinya bisa jauh lebih suram. Mereka adalah salah satu kelompok paling rentan terkena dampak pandemi, baik dari segi kesehatan maupun pendapatan.

Kombinasi Maut

Setiap kota besar mempunyai daerah padat penduduk yang biasanya terbangun dari rumah-rumah yang saling berdempetan, gang-gang kecil, dan letaknya tak jauh dari kemegahan gedung-gedung simbol kapital. Kesan kawasan padat penduduk adalah daerah kumuh, miskin, sekaligus seringkali jadi pusat gesekan sosial.

Di Jakarta, gambar terbaik dari kepadatan tersebut ada di Tambora dan Johar Baru, dua kecamatan yang masing-masing berlokasi di Jakarta Barat dan Jakarta Pusat.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta Barat menyebut Tambora terdiri atas 11 kelurahan, dengan total penduduk sebanyak 260.384, dan tingkat kepadatannya 48.224 per kilometer persegi. Sementara Johar Baru dihuni oleh sekitar 143.227 orang. Tanah Tinggi, satu dari empat kelurahan di Johar Baru, menjadi wilayah paling padat dengan 47.667 orang.

Kepadatan tersebut bukan sekadar angka statistik. Bila datang ke dua wilayah ini, Anda akan disambut pemandangan deretan rumah yang berjajar tanpa jarak yang proporsional. Antarblok dipisahkan oleh gang-gang kecil yang hanya bisa dilewati satu motor. Kondisi ini membuat warga tak punya banyak pilihan.

Mardiya Sukawati warga Tanah Tinggi, ia mengaku sudah beberapa minggu berdiam diri di rumah. Ia tak ingin ambil risiko untuk keluar dan melakukan kegiatannya seperti biasa. Agar kebutuhannya tetap dapat dipenuhi, ia biasa berbelanja ke warung dekat rumahnya dan tak perlu ke pasar untuk sementara waktu.

“Mau gimana lagi, mas? Keadaannya lagi begini, kan? Daripada nanti [saya] kenapa-kenapa. Malah repot,” terangnya kepada Tirto.

Pernyataan serupa disampaikan oleh Noni, warga Kali Anyar, yang mengatakan bahwa dirinya terpaksa “tak ke mana-mana terlebih dahulu” karena kehadiran wabah yang belum bisa diprediksi kapan akan berakhir. “Biar enggak kena, mas, meski saya sampai sekarang sehat-sehat aja,” tegasnya.

Meski demikian, kondisi mereka tidak benar-benar aman. Selain jarak antarrumah yang hampir tidak ada, juga banyak rumah yang luasnya tak seberapa namun diisi oleh lebih dari empat orang. Hal ini diperparah oleh sanitasi yang buruk. Kondisi inilah yang menyebabkan upaya memutus rantai penyebaran Covid-19 di kawasan padat penduduk menjadi sulit.

Sejauh ini, berdasarkan data yang dihimpun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, kasus positif Covid-19 di kawasan permukiman padat penduduk macam Kali Anyar, Tanah Tinggi, maupun Johar Baru memang tidak sebanyak di daerah Jakarta Selatan yang jadi episentrum penyebaran virus. Kali Anyar, misalnya, sampai 13 April (pukul 08.00), baru mencatat satu kasus positif corona. Kemudian di Johar Baru ada 8 kasus dan Tanah Tinggi dua kasus.

Kendati demikian, bukan berarti daerah permukiman padat penduduk aman dari wabah. Potensi penyebarannya sangat besar. Bila tidak ada upaya preventif, bisa dibayangkan betapa mengerikannya wabah tersebut menjangkiti masyarakat permukiman padat penduduk. Virus menular dengan cepat dari satu orang ke orang yang lain yang tinggal secara berdempetan.

Hasbullah Thabrany, ahli kesehatan masyarakat dari Universitas Indonesia, mengatakan bahwa salah satu cara yang dapat diambil guna mencegah penyebaran wabah di permukiman padat penduduk ialah dengan memanfaatkan fasilitas publik milik pemerintah untuk tempat tinggal sementara.

“Sekolah-sekolah, kan, diliburkan. Pemerintah Provinsi DKI bisa memakai itu untuk sementara waktu buat mereka yang tinggal di daerah seperti Tambora, Johar Baru, atau Tanah Abang. Ini supaya risiko penularannya bisa diminimalisir,” ujar lulusan University of California Berkeley ini saat dihubungi Tirto.

Ia menambahkan, pemerintah harus cepat mengantisipasi penyebaran Covid-19 di zona-zona tersebut. Jika tidak, maka warga di daerah padat penduduk bakal bertambah apes.

“Kondisi sekarang itu sudah bikin mereka enggak bisa ngapa-ngapain,” tuturnya. “Gimana jadinya ketika mereka banyak kena wabah?”

Masyarakat Miskin Kota

Masyarakat di Kawasan Padat PendudukMenghadapi Pandemi Corona. tirto.id/Andrey Gromicko

Terimpit Keadaan

Antoni Jaya memakai masker berwarna hitam. Ia tampak sibuk memindahkan beberapa kotak berisi barang-barang dari tempat konfeksi ke dalam rumahnya. Ia telah menjalankan bisnis konfeksi selama sepuluh tahun. Meskipun kecil, bisnisnya tak pernah sepi pesanan.

Belakangan, pandemi Covid-19 mengubah peruntungan bisnis yang ia bangun. Pendapatannya merosot tajam. Ia pun terpaksa mesti merumahkan pegawainya yang berjumlah belasan. “Harusnya bulan-bulan ini [pendapatan] gede banget karena mendekati puasa dan lebaran,” keluhnya. “Tapi, gara-gara [wabah] ini jadi berantakan.”

Kerugian tak cuma dialami Antoni. Penduduk Kali Anyar yang mayoritas bekerja di sektor informal macam buruh konfeksi, pedagang kaki lima, sampai pengemudi ojek daring, turut menerima konsekuensi serupa.

Pandemi menempatkan mereka pada posisi terburuk. Berhentinya banyak kegiatan perekonomian berdampak pada pendapatan mereka yang mengandalkan pemasukan harian. Ketika wabah membuat aktivitas manusia lebih banyak dilakukan di rumah, maka para pekerja informal kelimpungan. Pengemudi ojek sepi penumpang, pedagang makanan tak laku, dan buruh-buruh konfeksi terpaksa dirumahkan.

“Para pekerja [konfeksi] di sini (Kali Anyar) udah enggak kerja selama beberapa minggu terakhir,” ucap Wiwi, 45 tahun, kepada Tirto.

“Yang dagang juga banyak yang di rumah. Ada yang tetep jualan, tapi cuma buat warga sini aja,” imbuhnya.

Pemerintah bukannya abai melihat kondisi ini. Mereka sadar bahwa wabah telah memukul telak orang-orang dari kelompok berpenghasilan rendah. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah pusat menganggarkan triliunan rupiah sebagai jaring pengaman (safety net) untuk membantu orang-orang miskin yang terdampak Covid-19. Anggaran tersebut dialokasikan dalam bentuk bantuan sosial, stimulus kredit usaha rakyat (KUR), dan pengadaan sembako.

Kebijakan yang sama diambil oleh Pemprov DKI. Mereka mencatat ada sekitar 1,1 juta orang miskin yang bakal diberi sembako. Angka itu adalah yang tercatat secara resmi. Sedangkan sisanya, sekitar 2,6 juta orang yang masuk golongan rentan miskin, menjadi urusan pemerintah pusat.

Direktur Pelaksana INDEF--lembaga penelitian independen yang berfokus pada isu ekonomi--Tauhid Ahmad, mengatakan ada beberapa hal yang mesti diperhatikan ihwal bantuan sosial yang akan diberikan pemerintah sehubungan dengan wabah corona.

“Yang krusial itu data. Pemerintah harus meng-update data karena terakhir kali diperbaharui itu kalau enggak salah 2015. Sekarang kondisinya tentu sudah beda. Ada dinamika yang disebabkan wabah, yang membuat orang-orang tidak miskin bisa jadi miskin,” ungkapnya.

Tauhid khawatir bila pemerintah tidak melakukan pembaharuan data terlebih dahulu, orang-orang yang semestinya berhak mendapatkan bantuan justru tidak memperolehnya.

Hal yang harus diperhatikan selanjutnya, terang Tauhid, ialah persoalan koordinasi. Tauhid mendesak penyaluran bantuan sosial dilakukan lewat satu pintu agar tidak terjadi tumpang tindih kebijakan.

“Sejauh ini yang mengurusi bantuan itu ada banyak pihak, dari Kementerian Koordinator Perekonomian sampai Kementerian Sosial. Sebaiknya memang dilakukan lewat satu pintu saja agar lebih terkoordinasi dan sasarannya tepat,” imbuhnya.

Pemerintah didorong untuk bergerak cepat di tengah kondisi yang belum stabil. Kasus yang positif Covid-19 terus bertambah, korban meninggal terus berjatuhan, dan orang-orang yang terputus dari mata pencahariannya semakin diombang-ambingkan ketidakpastian.

“Saya pikir jika kondisinya masih seperti ini tidak akan chaos seperti di India,” kata Tauhid. “Tapi, potensi munculnya tindak kriminal dari kelompok bawah sangat terbuka. Karena mereka tidak punya pilihan lain.”

Masyarakat Miskin Kota

Masyarakat di Kawasan Padat PendudukMenghadapi Pandemi Corona. tirto.id/Andrey Gromicko

Tidak Hanya Solidaritas

Rencana pemerintah untuk menjamin hidup masyarakat miskin di tengah tekanan wabah memang terdengar menjanjikan. Akan tetapi, sampai akhir pekan lalu, bantuan tersebut belum sampai di tangan mereka yang benar-benar membutuhkan.

“Belum ada sama sekali,” aku Siti Zubaedah, warga Johar Baru, kepada Tirto. “Ada yang bilang minggu depan. Ada yang bilang juga secepatnya. Tapi, buktinya [sampai sekarang] juga belum ada [bantuan itu].”

Hal ini membuat Siti cemas. Pemasukannya kian menipis. Ia sudah tidak berjualan makanan selama dua minggu terakhir. Begitu pula suaminya yang semakin hari semakin sepi mengangkut penumpang. “Mikir besok mau makan apa saja sampai bingung,” katanya dengan nada sedikit bergetar.

Di tengah situasi tersebut, beberapa warga di Tanah Tinggi sampai Kali Anyar bahu-membahu menghadang laju penyebaran corona. Mereka, misalnya, menyediakan hand sanitizer yang bisa dipakai bersama-sama, juga terus melakukan sosialisasi agar menjaga kesehatan maupun kebersihan lingkungan dengan baik. Sedangkan di waktu lain, mereka sesekali membuat dapur umum guna memastikan perut tetap terisi di saat dompet tak lagi dapat diandalkan.

“Kami sebisa mungkin bersama-sama melalui [wabah] ini. Enggak tau sampai kapan juga. Tapi, seenggaknya, warga kampung sini saling bantu dan dukung,” ujar Gode Putra, pemuda dari Tanah Tinggi, yang kerap memimpin jalannya aksi solidaritas antarwarga di saat pandemi.

Solidaritas merupakan cara agar harapan tetap terjaga, membuat masyarakat meyakini bahwa hari esok masih ada dan dunia bisa pulih seperti sedia kala. Tapi, terus-menerus mengandalkan solidaritas bukan solusi yang ampuh agar masyarakat miskin kota terhindar dari wabah.

Solidaritas juga tak dapat mengikis pesan Noni, warga Kali Anyar, kepada saya saat pertama kali bertemu. Ungkapannya merangkum perasaan warga di permukiman padat penduduk dalam menghadapi corona: “kami takut.”

Baca juga artikel terkait WABAH COVID-19 atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Irfan Teguh