Menuju konten utama

Ketahui 8 Miskonsepsi Umum Tentang Stres

Dalam jangka panjang, apabila seseorang terus-menerus mengalami stres, hal ini dapat berakibat buruk bagi kesehatan mentalnya.

Ketahui 8 Miskonsepsi Umum Tentang Stres
Ilustrasi Stres. foto/istockphoto

tirto.id - Stres adalah hal lazim yang dialami semua orang. Jika seseorang berada dalam kondisi tertekan, tubuh akan bereaksi sedemikian rupa untuk meresponsnya.

Reaksi mental menghadapi masalah tersebut dikenal dengan stres, menurut Asosiasi Psikologi Amerika (APA).

Reaksi tersebut kemudian melahirkan gejala fisik atau tanda-tanda emosional. Tanda-tanda fisiknya berupa degup jantung yang kian cepat akibat keluarnya hormon adrenalin, tangan berkeringat, dan kadang kala seseorang jadi ceroboh atau tidak hati-hati ketika ia sedang tertekan.

Tidak hanya itu, respons emosional yang muncul dapat berupa rasa cemas, khawatir, hingga mudah marah jika disinggung mengenai hal-hal yang tak ia sukai.

Dalam jangka panjang, apabila seseorang terus-menerus mengalami stres, hal ini dapat berakibat buruk bagi kesehatan mentalnya.

Stres yang buruk ini dikenal dengan sebutan distres, jika tak tertangani menjadi destruktif dan menghambat seseorang untuk berkembang dan berfungsi sepenuhnya di masyarakat.

Di sisi lain, terdapat beberapa miskonsepsi tentang stres yang salah dipahami orang-orang.

Konsep yang keliru mengenai stres ini bukan saja berbahaya, tapi juga membuat orang memperlakukan atau melihat stres dengan tidak tepat, baik itu secara berlebihan melalui stigma "orang stres", atau terlalu sepele bahwa stres hanyalah kejadian kecil yang tak perlu dirisaukan.

Dilansir dari Psychology Today, berikut beberapa miskonsepsi umum mengenai stres yang sering kali masih salah dipahami:

1. Stres berasal dari tekanan keadaan

Secara singkat, hal ini tampak meyakinkan. Contohnya, ketika sedang berada di kemacetan jalan, seseorang dapat saja merasa kesal, jengkel, atau khawatir terlambat sampai di tempat kerja atau sekolah.

Namun, yang perlu dipahami, keadaan eksternal yang terjadi di luar diri seseorang hanyalah kejadian-kejadian tanpa makna. Individu yang memberi makna atas keadaan yang ia alami.

Seseorang yang terjebak macet bisa saja memaknai berbeda atas situasi yang ia alami. Ia dapat menghubungi rekan kerjanya dan meminta izin keterlambatannya, dan tidak lagi khawatir.

Atau ia dapat mendengarkan musik maupun rekaman audio tertentu selama berkendara, dan tidak lagi kesal atas waktu yang sebelumnya ia pikir telah terbuang di kemacetan jalan.

Stres adalah respons emosional dan reaksi masing-masing orang berbeda atas kejadian yang menimpa mereka.

2. Stres berfungsi sebagai pendorong untuk memberi motivasi

Kita perlu membedakan antara stres dan proses stimulasi diri. Seseorang bisa saja menetapkan tenggat waktu, menuliskan tujuan yang akan ia capai, serta mendorong dirinya untuk berkembang dengan kapasitas maksimal. Hal ini dinamakan stimulasi diri.

Sementara itu, stres adalah ketika ia merasa cemas, kecewa, atau frustrasi, yang secara destruktif mengurangi kemampuan seseorang untuk berkembang. Orang-orang yang menyelesaikan pekerjaan di bawah tekanan berhasil terlepas dari stres, bukan disebabkan karena stres, lalu mereka menjadi berhasil.

3. Stres baik bagi kesehatan individu

Miskonsepsi bahwa stres baik bagi kesehatan individu, awalnya diciptakan oleh Dr. Hans Selye, penyusun konsep stres modern. Hans Selye menemukan bahwa beberapa aktivitas, seperti olahraga dan seks juga menghasilkan lonjakan hormon stres. Karena adanya hormon stres itu, Hans Selye menyatakan bahwa stres baik bagi keadaan individu.

Namun, konsepsi yang diusung Hans Selye itu dibantah dari statistik bahwa stres ternyata berkontribusi hingga 75% sampai 90% dari penyakit medis, termasuk enam penyebab utama kematian. Yang dimaksud Hans Selye mungkin adalah stimulasi, yang ia salah artikan sebagai stres, padahal stres, secara umum destruktif bagi kesehatan mental seseorang.

4. Tanpa stres, hidup kita akan membosankan

Beberapa orang begitu terbiasa mengalami stres sehingga mereka tidak ingat seperti apa keadaan hidup ini tanpa ada stres.

Namun, kita bisa melihat kehidupan anak-anak kecil. Mereka mengalami stres yang sangat sedikit, dan memiliki banyak energi untuk mengeksplorasi minat mereka. Hal yang sama bisa berlaku untuk orang dewasa, bahkan dengan tanggung jawab yang kita miliki.

5. Cara terbaik untuk mengatasi stres adalah dengan berolahraga, bernapas, dan relaksasi

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, stres tidak datang dari kejadian yang dialami seseorang, ia datang dari pikiran seseorang tentang keadaan yang ia alami.

Teknik-teknik "manajemen stres" yang populer untuk mengatasi stres, sebenarnya hanya menghilangkan "efek" stres, bukan mengatasi penyebabnya. Akibatnya, teknik-teknik manajemen stres seperti relaksasi dan teknik pernapasan hanya mengatasi permukaannya saja, bukan menyelesaikan akar masalahnya. Jika demikian, stres akan kembali kambuh dan muncul lagi.

Pendekatan jangka panjang, tentu saja lebih efektif, baik itu dengan menyelesaikan masalah utamanya, atau juga melibatkan upaya berpikir secara berbeda tentang situasi menantang yang dialami seseorang sehingga stres tidak lagi terjadi.

6. Stres adalah pilihan

Stres bukanlah pilihan, ia adalah hasil dari konsepsi alam bawah sadar seseorang tentang keadaan lingkungannya. Seseorang tidak dapat memilih untuk tidak mempercayai sesuatu, dan ia percaya itu karena ia berpikir bahwa hal tersebut benar.

Untuk menghilangkan stres, seseorang harus belajar menantang keyakinannya sehingga ia akan melihat lingkungannya secara berbeda. Hal ini bukan mengenai "pilihan", melainkan perkara wawasan.

Misalnya, seseorang dapat saja merasa stres karena ia gagal tes masuk perguruan tinggi. Stres yang ia alami ini berasal dari keyakinannya bahwa perguruan tinggi adalah hal mutlak yang harus ia capai, dan ia telah gagal.

Ia dapat mengatasi stresnya dengan beragam cara, entah itu belajar lebih keras lagi untuk ikut tes di periode berikutnya, atau mengubah keyakinannya bahwa perguruan tinggi bukanlah hal menentukan yang harus dicapai semua orang.

7. Stres adalah hal tidak terhindarkan

Miskonsepsi bahwa stres adalah hal tak terhindarkan sering kali berasal dari fobia atas keadaan atau benda tertentu. Orang yang takut ketinggian, misalnya, merasa bahwa jika ia berada di tempat tinggi, ia akan merasa tertekan, dan stres yang ia alami tidak bisa ia hindari lagi.

Padahal, stres sendiri merupakan reaksi emosi yang berasal dari kepercayaannya mengenai hal-hal tertentu. Hal yang sama berlaku untuk apa pun yang membuat seseorang merasa tertekan, misalnya masalah keuangan, kesehatan, pekerjaan, tempat tinggi, berbicara di depan umum, dan lain sebagainya.

Seseorang dapat berpikir secara berbeda, mengatasi masalahnya, atau mengubah keyakinannya atas hal tersebut, dan ia tidak lagi stres ketika ia mengalami kejadian-kejadian tadi. Untuk sampai ke arah sana, seseorang harus memiliki pendekatan yang berbeda dan melihat sesuatu dari sisi yang lain.

8. Stres adalah masalah kecil atau gangguan mental yang terlalu ektrem

Kata "stres" kadang kala hanya diartikan terbatas pada kecemasan mengenai hal-hal sederhana, seperti tenggat waktu yang dialami kebanyakan orang, perasaan jengkel karena terjebak macet, atau berkeringat dingin ketika berbicara di depan umum. Stres tidak sesederhana itu saja.

Dan di sisi lain, stres kadang dimaknai terlalu tinggi, hingga orang yang mengalaminya seakan sudah sakit mental secara kronis. Misalnya pada stigma "orang stres" yang dilekatkan pada orang-orang yang mengalami gangguan mental.

Sebenarnya, stres bisa berupa akumulasi dari rasa frustrasi seseorang mengenai pekerjaannya, masalah dalam hubungan kerja dan di rumah, setiap ketakutan atau kekhawatiran tentang uang, kesehatan, dan masa depan.

Jumlah total semua emosi negatif dalam diri seseorang inilah yang dinamakan stres. Dan bagi kebanyakan orang, ini adalah masalah yang sangat besar.

Selain itu, stres juga kadang kala dimaknai terlalu ekstrem. Misalnya, seseorang sering kali mengomentari tunawisma terlantar yang mengalami gangguan mental, yang disebut keliru sebagai "orang stres".

Hal inilah yang menjadikan kata "stres" mengalami pergeseran makna, entah itu secara peyoratif atau malah dilebih-lebihkan, yang jika tidak dibenahi ulang, membuat kita sebagai manusia, kurang memahami respons-respons tubuh kita untuk merasakan pengalaman-pengalaman hidup sehari-hari.

Baca juga artikel terkait DAMPAK STRES atau tulisan lainnya dari Abdul Hadi

tirto.id - Kesehatan
Kontributor: Abdul Hadi
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Nur Hidayah Perwitasari