Menuju konten utama

Kesuksesan Wonder Woman Taklukkan Batman dan Superman

Sosok Wonder Woman datang dengan penuh gebrakan. Selain menyelamatkan layar bioskop dari para superhero laki-laki, ia juga menyelamatkan Warner Bros dan DC.

Kesuksesan Wonder Woman Taklukkan Batman dan Superman
Wonder Woman, 2017. FOTO/DC

tirto.id - “Aku sudah nonton filmnya (Batman V Superman), aku tahu gimana seriusnya para kutu buku komik memperlakukan film ini, karena aku salah satu dari mereka,” kata Jimmy Kimmel, pembawa acara bincang-bincang malam di Amerika.

Ia belum menyelesaikan kalimatnya, tapi seketika, Gal Gadot, sang tamu langsung memotong perkataan Kimmel.

“Oh ya? (Lalu) apa yang kau pikirkan tentang payudaraku?”

Pertanyaan Gadot sempat membuat Kimmel tercengang sepersekian detik sebelum akhirnya merespons dengan, “A-APA?”

Tawa penonton di studio itu pecah. Kimmel dan Gadot juga ikut tertawa, tapi mulut Kimmel masih mengeluarkan “apa” sampai tiga kali. Pertanyaan tiba-tiba yang keluar dari mulut Gadot memang membuatnya kaget.

“Kenapa kau tanya begitu?” kata Kimmel keheranan.

“Karena kupikir kau bakal bertanya tentang komen-komen mereka perihal payudaraku.”

Kabar yang dimaksud Gadot adalah kritik dari para penggila komik DC yang menganggapnya tak cocok memerankan Wonder Woman, superhero perempuan yang muncul dalam film Batman V Superman. Para penggila komik itu menilai payudara Gadot terlalu kecil, tidak persis seperti karakter Wonder Woman dalam komik.

Kimmel sebenarnya ingin memuji kostum Wonder Woman yang dikenakan Gadot dalam film itu. Menurutnya, kostum itu sangat keren, dan Gal Gadot berhasil membawa citra lain dari karakter sang superhero.

Conan O’Brien juga punya pendapat sama dengan Kimmel. Ketika mengundang Gadot dalam acara bincang-bincangnya, ia juga memuji baju zirah khas bangsa Amazon yang dikenakan Gadot dalam film itu. “Benar-benar cantik,” kata O’Brien. “Tapi Gal, seperti yang kautahu, kalian juga berurusan dengan penggemar komik, yang sangat loyal, tapi juga sangat intens, dan sangat kritis tentang apa saja, termasuk penampilanmu.”

“Apa yang kaubaca? Yang kaudengar?” tanya Gadot.

“Ini betulan. Aku sempat baca komen yang bilang kepengin (karaktermu) punya dada yang lebih penuh.”

“Ya. ‘Hati’ yang lebih besar,” canda Gadot. “… Ya, sangat banyak orang yang bicara tentang ‘hati’-ku. Dan, dan, dan, dan, pada akhirnya kau tak bisa memuaskan semua orang. Itu yang kupahami,” tambah Gal.

Ia menerima kritikan itu, tapi tak terlalu ambil pusing. Ia lebih berusaha menghidupkan karakter Wonder Woman lewat cara-cara lain agar para penggemar komik-komik DC tak lebih kecewa.

Tapi malang tak bisa ditampik. Film Batman V Superman memang lebih banyak menuai kritik ketimbang pujian. Meski berhasil menembus Box Office, karena laku di pasar, nyatanya gelombang kekecewaan itu tak terbendung. Rating film itu anjlok menurut Rottentomatoes. Tentu faktornya bukan disebabkan payudara Gadot, yang bahkan hadir hanya sebagai cameo di sana. Alur cerita film adaptasi itu yang ditenggarai jadi biang kerok.

Setahun kemudian, tepatnya 2 Juni 2017, salah satu sekuel film itu dirilis. Kali ini judulnya Wonder Woman. Ia adalah kelanjutan dari rangkaian film DC yang memang akan menghimpun sejumlah superhero paling tenar milik mereka ke dalam satu jagat raya. Gal Gadot masih ditunjuk sebagai pemeran karakter ini, dan seperti judulnya, Gadot akan jadi tokoh utama dalam film tersebut.

Proyek ambisius ini tergolong berani. Dua film perdananya, Batman V Superman dan Suicide Squads memang disambut antusias tinggi dari para penggemar DC. Tapi tak satu pun yang memberi kepuasan pada penonton. Suicide Squads juga punya rating anjlok, cuma 25 persen, lebih parah dari Batman V Superman yang dapat 28 persen.

Belum lagi, di mata para produser film-film superhero, karakter "pahlawan super" wanita tak akan menghasilkan untung yang berlimpah. Malah bisa jadi rugi. Salah satu produser yang ketahuan berorientasi demikian adalah Ike Perlmutter, CEO Marvel Entertainment. Dalam emailnya kepada Michael Lynton, salah satu eksekutif di Sony yang bocor ke media, Perlmutter mendaftar sejumlah film superhero dengan tokoh utama perempuan yang gagal jadi tambang pemasukan mereka. Seperti, Elektra (2005), Catwoman (2004), dan Supergirl (1984).

Namun, Warner Bros selaku rumah produksinya, tetap berani melemparkan Wonder Woman di pasar. Selain ingin membuktikan kalau film-film DC terus belajar untuk semakin berkualitas, ada ambisius lain di sana: mereka ingin mematahkan mitos tentang film pahlawan superhero perempuan yang tak laku.

“Aku bukan cuma seorang pembuat film, aku adalah seorang perempuan pembuat film,” kata Patty Jenkins, sang sutradara yang ditunjuk Warner Bros. “Aku sadar kalau aku adalah orang pertama dalam sejarah yang akan menyutradarai film Wonder Woman, dan ihwal ini kuambil serius.”

Kehadiran film Wonder Woman ini memang diharapkan banyak pihak sebagai pendobrak batas ketidaksetaraan gender di layar lebar. Dunia merasa butuh lebih banyak pahlawan super perempuan untuk menginspirasi anak-anak, baik perempuan dan laki-laki, tentang bagaimana hidup setara.

Sejak hadir dalam bentuk komik pada 1941, tak seperti superhero laki-laki di DC (macam Superman, Batman, Green Lantern, atau Robin), Wonder Woman belum pernah dibikinkan film tunggal. Bahkan sepanjang Bumi ini ada, satu-satunya aktor yang pernah memerankan Wonder Woman adalah Lynda Carter, untuk sebuah sinetron di layar kaca pada 1975-1979. Bagaimana hasilnya?

Infografik Wonder Woman

Hasilnya tak cuma meraup jumlah penonton yang bombastis, para kritikus film bahkan menganggap film pertama Wonder Woman ini sebagai film adaptasi DC terbaik yang pernah ada, setelah trilogy The Dark Knight (2008) karya sutradara kenamaan Christopher Nolan.

Dari 124 review yang sudah terdaftar di Rottentomatoes, 117 di antaranya memuji kualitas Wonder Woman. Sementara hanya tujuh yang merespons negatif. Kebanyakan memuja-muja kualitas penyutradaraan Jenkins, lainnya takjub pada kualitas akting para aktor, terutama Gal Gadot.

Forbes menyebut film ini sebagai, “Sebuah pencapaian sinematik yang menggemparkan, dan bikin susah napas… penampilan-penampilan memukau, aksi mendebarkan, dan visual luar biasa membuatnya jadi salah satu film pahlawan super terbaik sepanjang masa.”

The New York Times menulis, “Nona Gadot, yang seperti bangsa Amazon lainnya memakai aksen dalam bahasa Inggris-nya, tampil karismatik nan megah di layar. Ia dan Tuan Pine (Chris Pine, yang memerankan Steve Trevor, pasangan Wonder Woman) memberikan film ini sentakan desis klasik Hollywood. Goda-godaan mereka sebelum berciuman itu sangat nyata dan seksi, serta tempramen mereka yang bagai minyak dan air menyatu dengan baik sekali.”

Menyelamatkan Warner Bros dan DC

Kegagalan Batman V Superman dan Suicide Squads sebagai pembuka film DC Extended Universe (DCEU) mutlak karena suguhan alur yang buruk. Konflik Batman dan Superman yang akhirnya disatukan oleh nama ibu yang sama (Martha) sempat jadi bahan olok-olokan di internet. Sementara Suicide Squads dicaci karena tak berhasil mengeksplorasi cerita lebih masuk akal dengan berjibun deretan aktor-aktor mahal yang mengisi film tersebut.

Wonder Woman, sebagai film penerus tentu saja jadi punya beban lebih untuk membereskan masalah tersebut. Tantangan jadi lebih berat, karena salah satu alasan lain mengapa Wonder Woman tak pernah diangkat ke layar lebar adalah jauhnya proximity cerita orisinalnya dengan kehidupan sehari-hari. Kisah Putri Diana dari Themyscira yang datang ke Bumi untuk menyebarkan cinta dan menghentikan kekejaman sering dianggap terlalu utopis, ketimbang Superman si alien, atau Batman.

Namun, di tangan Jenkins, pokok utama cerita Wonder Woman ini dikemas semasuk akal mungkin. Sepanjang film kita akan melihat mata Gal Gadot membesar, menyipit, bahkan membelalak secara konstan karena kaget dengan dunia manusia yang didatanginya. Bak Tarzan yang dibawa ke kota, Diana akan terus berceloteh tentang keganjilan-keganjilan yang ditemukannya di Bumi, tepatnya di Inggris, sebagaimana latar film ini.

Mempertahankan akar cerita orisinalnya bukan berarti membuat Jenkins tak berinovasi. Salah satu yang paling kasatmata adalah kostum Wonder Woman yang dirombaknya jadi baju zirah perang, tak seperti baju senam merah-biru-kuning yang dipakai Lynda Carter beberapa dekade lalu. Tampilan ini jadi lebih masuk akal, dan justru jadi penguat alur cerita.

Agar semakin lebih kuat, Jenkins menyelipkan dialog-dialog Diana yang mengkritisi pakaian perempuan abad pertengahan yang penuh renda dan rok panjang. “Gimana perempuan bisa perang pakai baju begini?” sekali Diana berceletuk di toko pakaian.

Inovasi lainnya yang tak mungkin tak menarik perhatian adalah koreografi perkelahian dalam film ini. Aksi memanah, berlaga pedang, loncat sana-loncat sini, terbang, dan lari cepat jadi pemandangan menakjubkan yang ditawarkan Jenkins. Porsinya juga tak sedikit. Ia ingin menunjukkan kalau wanita juga suka sekuens laga dalam film. Di tangan sutradara perempuan pertama yang menyutradarai film superhero ini, Wonder Woman memang diselipkan banyak sekali pesan-pesan feminisme : bahwa tak ada yang beda dari pahlawan super perempuan dan laki-laki. Kedua-duanya bisa sangat menginspirasi dan menghibur di saat yang sama. Dan ia cermat menyisipkan visinya tersebut ke dalam adegan per adegan.

Kecermatan itu pula yang membuat Wonder Woman menuai banyak sekali pujian, termasuk salah satunya: film orisinal superhero terbaik yang pernah ada.

Akhirnya, perkataan Gadot terwujud. Ia benar-benar membuktikan kalau Wonder Woman bukan cuma sekadar perempuan super berdada besar. Ia berhasil menuntaskan pekerjaan yang tak berhasil dilakukan Batman dan Superman meski mereka digabungkan dalam satu film: yaitu, membuat Warner Bros dan DC banjir ulasan positif yang bisa jadi peluang untuk panen uang.

Baca juga artikel terkait SUPERHERO atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Film
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Suhendra