Menuju konten utama

Kesuksesan Film Propaganda Cina Rasa Hollywood

Penonton akan datang sendiri ke bioskop jika filmnya berkualitas bagus—meski hasil propaganda negara.

Kesuksesan Film Propaganda Cina Rasa Hollywood
Wolf Warrior 2. FOTO/Istimewa

tirto.id - Berkat mengadopsi gaya Hollywood, film-film propaganda Cina berhasil ditonton banyak orang. Pemerintah Cina menyadari bahwa mereka tidak bisa tidak didukung swasta, khususnya dalam strategi penajaman sisi kreatif.

Jika tidak, seperti dalam laporan The Economist, mereka akan seperti orang dewasa yang tidak tahu perkembangan dunia mode tapi berusaha tampil keren: berakhir memalukan dan tidak pantas. Dalam kasus film Wolf Warrior 2, rumus ini benar terbukti.

Wolf Warrior 2 sebagai film terbaru pemerintah Cina yang dirilis pada bulan Juli 2017 untuk pasar dalam negeri. Pendanaan utama berasal dari China Film Group Corporation (CFGC), perusahaan milik negara yang sejak 1999 mengendalikan bioskop, pendanaan, produksi, dan distribusi film-film propaganda negara. CFGC menjadi perusahaan distribusi film terbesar di Cina pada tahun 2014 dengan kekuasaan 32,8 persen dari total pasar.

Untuk memperluas jangkauan film, CFGC juga menjalin kerja sama dengan Beijing Plybona Film Distribution. Perusahaan swasta yang dikenal dengan nama Bona Film Group ini punya jaringan hingga Hong Kong dan dijuluki sebagai Miramax-nya Cina pada tahun 2003, lalu dianggap berevolusi menjadi Paramount dalam tahun-tahun berikutnya.

Perjalanan bisnisnya tergolong baik sebab menjadi distributor resmi film laris The Martian (2015) dan turut membidani film epik seperti The Warlords (2007) dan Red Cliff (2008-2009).

Baca juga: Film dan Propaganda

Wolf Warrior 2 bercerita tentang seorang tentara Cina di Afrika yang berhasil menyelamatkan ratusan rekan-rekan dan orang lokal dari tentara bayaran asal Amerika Serikat. Di akhir film, muncul pesan khas film propaganda Cina, “Rakyat RRC. Saat kau menghadapi bahaya di negeri asing, jangan menyerah! Selalu ingat, di belakangmu berdiri tanah air yang kuat.” Sontak sejumlah penonton berdiri, tepuk tangan, dan ada yang menyanyikan lagu kebangsaan.

Pemain utama yang menjadi tentara penyelamat adalah Wu Jing. Meski kanal-kanal informasi hiburan yang melambungkan namanya ditutup oleh pemerintah Cina, ia mau menjadi aktor utama, juga sutradara. Sebagai ahli bela diri, Wu Jing mengeluarkan kemampuan terbaiknya untuk dua tujuan: menyenangkan penonton selaku basis penggemar sekaligus pemerintah Cina selaku si pendonor. Dan ia berhasil memenuhi kedua-duanya.

Wolf Warrior 2 dibuat sebagaimana Rambo dipakai untuk mempromosikan patriotisme negara. Kecintaan kepada RRC dahulu dibentuk melalui film-film tentang pertentangan kelas hingga biografi sosok sejarah penting seperti Mao Zedong. Kisahnya menceritakan epos kepahlawanan kala sedang membela komunisme, hasil positif dari perjuangan tersebut, plus gambaran kehidupan yang (berakhir) bahagia untuk tokoh protagonis.

Baca juga: Ambisi Cina Menguasai Hollywood

Di film Wolf Warrior 2, sebagaimana laku cerita karya untuk propaganda, dunianya amat hitam-putih: sisi kebenaran dipegang perwakilan rezim RRC, sementara sisi kejahatan ada di perwakilan dari asing (kebetulan AS yang secara ideologis dimusuhi betul oleh CPC). Tak ada narasi tentang pembantaian orang-orang tak bersalah atau bencana kelaparan akibat Revolusi Kebudayaan, misalnya, sebab secara prinsip akan menyalahi kodrat film propaganda itu sendiri.

Secara umum, prinsipnya adalah komunisme (baca: negara) harus menang. Oleh sebab itu, latar musik pengiring hingga warna latar belakang poster pun dikreasikan agar punya citarasa patriotik. Selain menyoroti kedegilan musuh revolusi di dalam negeri, beberapa film juga menampilkan Jepang, nasionalis Cina yang kabur ke Taiwan, atau musuh-musuh asing lain sebagai pihak antagonis dan akhirnya kalah di akhir cerita.

Baca juga: Kebijakan Represif Cina pada Muslim Xinjiang

Contoh-contoh pendahulu Wolf Warriors 2 adalah trilogi Founding of New China: The Founding of a Republic (2009), The Founding of a Party (2011), dan The Founding of an Army (2017). Ada sejumlah faktor yang membuat secara pencapaian mutu dari ketiga film yang sama-sama diproduksi oleh CFGC ini tergolong anjlok (skor tertinggi di IMDb cuma 4,9, 2,5, dan 3,3). Salah satunya adalah sejarah yang didistorsi secara keterlaluan hanya demi dramatisasi propaganda.

Wolf Warrior 2 maupun pendahulunya, Wolf Warrior 1 (2015), diklaim mengandung kisah asli yang secuil saja, tetapi keduanya sangat kuat dalam aspek hiburan. Keduanya adalah film aksi yang dibumbui nasionalisme dalam bentuk simbol-simbol. Unsur aksi lebih banyak ditonjolkan ketimbang film-film propaganda Cina sebelumnya, karena perspektif pemerintah Cina dalam memandang khalayak penonton sudah berubah.

Baca juga: Tembok Cina di Dunia Maya

Wolf Warrior 1 dan 2 merepresentasikan era baru dalam industri film propaganda Cina. Dari yang dulunya difokuskan pada drama melankolia sejarah, Wolf Warrior dikemas serupa film-film aksi ala Hollywood. Banyak ledakan, tembak-tembakan, dan elemen-elemen macho lainnya. Wolf Warrior seakan ingin memberikan pesan tersirat bahwa penonton tetap bisa terhibur meskipun disuguhkan film bikinan negara.

Masih menurut catatan The Economist, usaha tersebut sudah diupayakan oleh pemerintah Cina sejak 1990-an atau era ketika departemen urusan propaganda negara mulai mendorong penulis naskah dan sutradara untuk mengemas film bikinan negara dengan teknik penceritaan gaya film komersial.

Trilogi Founding of New China adalah usaha kesekian kalinya yang masih belum menemui hasil maksimal, sementara Wolf Warrior 1-2 mulai menampakkan kerangka kesuksesannya.

Saking suksesnya, Wolf Warrior 2 mendulang keuntungan hingga 5,7 miliar Yuan atau setara dengan $870 juta. Angka ini sepuluh kali lipat lebih banyak ketimbang pemasukan duit dari penayangan Wolf Warrior pertama. Wolf Warrior 2 kini ditetapkan sebagai pemuncak daftar film terlaris di Cina sepanjang masa (dan masuk 50 besar daftar yang sama di tingkat global). Pemberitaannya segera menjadi berita utama di Cina daratan meski tak memenangi banyak penghargaan prestisius.

Kemenangan Sistemik Akibat Dikontrol Negara

Kemenangan film propaganda dalam pasar lokal dikritik oleh banyak pihak sebagai kemenangan sistematis. Segalanya sudah diatur dari sananya memang untuk sukses, setidaknya dalam hal distribusi. Sebelum Wolf Warrior dipromosikan dengan gila oleh pemerintah Cina, pada 2011 penayangan perdana The Founding of a Party juga dilaporkan Malcolm Moore untuk Telegraph sebagai “kecurangan”.

Moore menyaksikan bagaimana penjual tiket di bioskop-bioskop menawari calon penonton yang sebenarnya ingin melihat film lain. Pemerintah Cina memastikan penayangan film Hollywood, yang jumlahnya dibatasi per tahun, untuk ditunda dahulu. Boleh masuk Cina, kata Gao Jun selaku kepala Beijing New Film Association, jika pemasukannya minimal di angka $77,5 juta.

Meski demikian, pada intinya, jika pencapaian finansial film ini pun bisa melampaui target pun, segalanya memang sudah didesain dengan sedemikian kerasnya oleh rezim yang berkuasa. Di akar rumput, generasi muda Cina yang melek terhadap film-film bermutu sebenarnya rajin mengolok-olok film propaganda bikinan pemerintah karena bermutu rendah.

Baca juga: Revolusi Jamban ala Presiden Cina Xi Jinping

Infografik Propaganda Cina dalam Sinema

Dalam laporan Yi Ling Liu yang dipublikasikan Associated Press akhir Oktober 2017, generasi muda Cina banyak yang mengolok-olok pemilihan aktor dewasa untuk memerankan tokoh sejarah berusia lebih tua. Aktor-aktor ini dikenal sering bermain opera sabun bertema kisah cinta yang ringan untuk ditonton. Hung Huang, salah satu komentator film yang berbasis di Beijing, berkata kepada Yi Ling Liu bahwa The Founding of an Army “amat lucu”.

Dalam wawancara Ling Liu dengan ahli politik Cina dari University of Hong Kong, Willy Lam, diketahui bahwa generasi muda Cina makin banyak yang tak acuh dengan propaganda CPC. Mereka mengalihkan fokusnya kepada selebriti plus dunianya yang glamor. Xi Jinping menganggap fokus baru ini sebagai bagian dari pengaruh Barat yang bisa mengalahkan upaya CPC dalam tugas membimbing generasi muda ke jalan yang direstui negara.

"Xi Jinping telah menganjurkan revisi standar moral yang bersifat tradisional dari ajaran Konfusianisme. Definisi tentang apa yang vulgar atau bermasalah secara moral telah meningkat dan berkembang," kata Lam. Ke depannya, Beijing mesti bekerja lebih keras lagi untuk memenangkan hati para generasi muda Cina, imbuhnya.

Represi akan terus berjalan, tapi untuk ranah kebudayaan pemerintah Cina paham hal tersebut bukan jadi jalan satu-satunya yang efektif. Mereka mulai mengubah gaya produksi film propaganda menjadi lebih Hollywood: agar lebih menarik disaksikan, agar secara alamiah menarik lebih banyak penonton.

Baca juga artikel terkait CINA atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Film
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Maulida Sri Handayani