Menuju konten utama
Periksa Data

Kerumunan Yang Menelan Korban: Itaewon Bukan yang Pertama

Menarik ke belakang, tragedi yang melibatkan kerumunan dan menyebabkan kematian ratusan orang tak hanya terjadi di Itaewon dan Kanjuruhan.

Kerumunan Yang Menelan Korban: Itaewon Bukan yang Pertama
Header Periksa Data Kerumunan Yang Membahayakan Jiwa. tirto.id/Ecun

tirto.id - Pada bulan yang sama, di bulan Oktober, dua tragedi yang melibatkan kerumunan ekstrim dan kematian ratusan orang terjadi. Pada 1 Oktober, tragedi di Stadion Kanjuruhan selepas pertandingan bola di Malang, Jawa Timur, menelan 135 korban jiwa. Tak lama, pada 29 Oktober, tragedi serupa, yang melibatkan kerumunan ekstrim dan menewaskan ratusan orang, kembali terjadi di Itaewon, Seoul, Korea Selatan. Tragedi ini terjadi menjelang perayaan Halloween pertama sejak pandemi COVID-19 terjadi.

Komnas HAM pada 3 November lalu menyatakan bahwa tragedi Kanjuruhan adalah peristiwa pelanggaran hak asasi manusia. Pasalnya, mereka menemukan adanya penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat keamanan melalui penggunaan gas air mata.

Padahal, Pasal 19 aturan FIFA telah melarang penggunaan gas air mata di dalam stadion. Penembakan gas air mata sebanyak 45 kali oleh aparat, terutama ke arah tribun, menyebabkan banyak orang panik, lalu sesak napas, dan berujung pada kematian. Apalagi, Stadion Kanjuruhan bentuk ruangannya cenderung tertutup dan saat itu dipadati oleh penonton pertandingan sepak bola.

Orang-orang di kerumunan yang ditembak gas air mata lalu berebut keluar pintu dengan tangga yang curam. Saat itulah, ada yang jatuh, terluka, dan meninggal, menurut Komnas HAM.

Sementara itu, jumlah korban jiwa pada perayaan Halloween di Itaewon sendiri diperkirakan berjumlah setidaknya 154 orang, 26 diantaranya adalah warga negara asing, menukil dari Reuters. Selain itu, disebutkan sebanyak 149 orang lain menderita luka-luka, dengan 33 orang di antaranya dalam kondisi serius.

Pada Sabtu malam itu, distrik ini dibanjiri puluhan ribu orang untuk merayakan Halloween. Itaewon memang telah lama populer sebagai tempat perayaan Halloween, selain juga perayaan ini makin populer di Asia dalam beberapa tahun terakhir. Namun, dua tahun belakangan, Korea Selatan meniadakan perayaan Halloween karena menerapkan pembatasan sosial akibat pandemi.

Menukil dari Reuters, kekacauan mulai terjadi ketika orang-orang mulai memadati satu bagian jalan yang sangat sempit dan menanjak, padahal jalan tersebut sudah dipenuhi orang.

Perayaan Halloween berubah mencekam ketika orang-orang terjepit di kerumunan, mengakibatkan banyak orang sesak napas, henti jantung, dan akhirnya meninggal dunia.

Penyebab utama kejadian di Itaewon masih diinvestigasi. Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol meminta investigasi dilakukan secara menyeluruh.

Akibat kejadian ini, Presiden Yoon Suk-yeol juga telah mengumumkan waktu berkabung nasional pada Minggu, 30 Oktober 2022.

"Ini sangat tragis. Tragedi dan musibah yang tidak seharusnya terjadi di jantung kota Seoul tadi malam (Sabtu, 29 Oktober 2022)," katanya menukil dari Reuters.

Korban Jiwa Akibat Kerumunan Bukan Kali Pertama

Menarik ke belakang, tragedi yang melibatkan kerumunan dan menyebabkan kematian ratusan orang tak hanya terjadi di Itaewon dan Kanjuruhan. Pada 24 September 2015, kerumunan jemaah haji menimbulkan korban jiwa di Mina, Makkah, Arab Saudi. Jemaah yang berdesak-desakkan akhirnya menyebabkan lebih dari 2.000 orang kehilangan nyawa, akibat kehabisan napas atau tertindih.

Associated Press mencatat sebanyak 2.411 korban jiwa atas kejadian ini. Sementara Pemerintah Arab secara resmi melaporkan 769 korban meninggal dan 934 orang terluka beberapa hari pasca kejadian. Namun, Pemerintah Arab tidak pernah memperbarui jumlah korban pasca pengumuman pertama tersebut.

Pihak berwenang mengatakan tragedi di Mina terjadi ketika dua gelombang jemaah berkumpul di jalanan sempit dan lalu berdesak-desakan. Jemaah pun ada yang terjebak dan terinjak diantara kerumunan. Arab Saudi sendiri telah berusaha mengendalikan jumlah massa dan menerapkan penjagaan ketika musim haji tiba. Namun, banyaknya jumlah jemaah membuat penjagaan tetap sulit dilakukan.

Kejadian selanjutnya terjadi pada 31 Agustus 2005. Saat itu, lebih dari 950 orang jadi korban dan ratusan lainnya luka-luka ketika tersebar rumor bom bunuh diri di Utara Baghdad, Iraq. Rumor tersebut memicu hiruk-pikuk dalam prosesi ziarah kaum Syiah saat mereka menyeberangi jembatan di Baghdad Utara, seperti dilaporkan New York Times.

Sebagian besar korban meninggal karena terhimpit kerumunan. Ada pula yang tenggelam setelah jatuh atau melompat ke Sungai Tigris setelah massa yang panik menerobos pagar jembatan.

Tirto sendiri berusaha menghimpun 20 tragedi kerumunan yang menyebabkan korban jiwa. Kami merunut tragedi kejadian berdasarkan korban paling banyak.

Selain kejadian di Mina dan Baghdad, kerumunan orang ketika festival air digelar di dekat istana kerajaan Phnom Penh di Kamboja pada 2010 menewaskan setidaknya 347 orang, menurut VOA.

Kerumunan jemaah haji di Mina juga tak hanya sekali menimbulkan korban jiwa. Selain peristiwa pada tahun 2015, kerumunan yang menyebabkan kematian terjadi pada tahun 2006 dan mengakibatkan 345 nyawa melayang, melansir The Guardian. Kejadian nyaris serupa terjadi pula pada tahun 2004, menelan 251 korban jiwa, menurut CNN.

Sebagai tambahan informasi, Mina biasanya memang menjadi tempat jemaah haji melakukan ritual melempar jumrah. Mereka melakukan ritual lempar jumrah di kompleks Jembatan Jumrah.

Selain di Mina, kerumunan di India juga beberapa kali menimbulkan korban jiwa. Pada 2005, sekitar 300 orang jadi korban jiwa saat jemaah Hindu memadati kuil Mandhradevi, menurut Frontline.

Kemudian, pada 2008 kerumunan di kuil Hindu di Rajasthan menyebabkan 224 orang meninggal dan 425 terluka, media ABC melaporkan. Musibah itu disebabkan oleh desas-desus bahwa sebuah bom ditanam di kompleks candi.

Kecelakaan yang mengorbankan jemaah Hindu di India juga terjadi lagi pada 2008 di kuil Naina Devi, 2010 di kuil Ram Janki, 2011 di dekat candi Sabarimala, dan 2013 di Madhya Pradesh di tengah festival umat Hindu Navratri, seperti dilaporkan media-media di India.

Hipoksia Di Tengah Kerumunan

Beberapa hari setelah tragedi Itaewon, dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, dr. Vito Anggarino Damay, Sp.JP menjelaskan bagaimana kondisi kerumunan bisa menyebabkan seseorang kekurangan oksigen hingga mengalami henti jantung. Hal ini diperparah dengan situasi sekitar yang tidak terkendali sehingga ketegangan dan adrenalin muncul.

Situasi yang ramai juga membuat karbon dioksida jadi begitu banyak, sehingga pembuluh darah menjadi kuncup. Akibatnya oksigen tidak bisa terhantar dengan baik karena fungsi jantung sebagai pemompa pembuluh darah dan penghantar oksigen juga mengalami kekurangan oksigen.

"Bayangkan jantung sebagai pompanya saja tidak dapat oksigen juga. Inilah yang menyebabkan terjadinya henti jantung," tutur dr. Vito menukil Antara.

Dokter Vito juga menjelaskan, henti jantung yang disebabkan oleh hipoksia, atau kekurangan oksigen dalam sel otot jantung, dapat menyebabkan detak jantung semakin melambat hingga henti jantung. Tanda awal hipoksia antara lain pusing, sesak napas, mata berkunang-kunang, keringat dingin, dan lemas.

Oleh karena itu, penting untuk mengamankan diri jika kita berada di tengah kerumunan. Mengutip situs Klikdokter, penting untuk mengamati area sekitar ketika berada di tempat ramai. Pastikan mengingat letak pintu keluar darurat, toilet, dan rute keluar.

Kemudian, segera pergi ketika kerumunan semakin padat. Jangan ragu untuk meninggalkan area yang sangat padat jika mulai merasa tidak nyaman dan tidak ada cukup ruang untuk bergerak.

Lalu, pastikan agar Anda tetap mendapatkan oksigen. Dari beberapa kejadian lonjakan massa yang merenggut nyawa, kebanyakan korban mengalami kekurangan oksigen dan kesulitan bernapas. Untuk membantu bernapas selama berada di kerumunan, Anda bisa meletakkan tangan di depan dada dan menahan posisi tersebut.

Hal-hal lain yang perlu diperhatikan adalah menjaga keseimbangan agar tidak terjatuh, tidak saling dorong, dan jangan sampai terjebak di dinding atau pagar.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Irma Garnesia

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Irma Garnesia
Editor: Farida Susanty