Menuju konten utama

Kereta Cepat Cina dan Jepang Dibangun dengan Culas & Tangan Besi

Kereta cepat di Cina dibangun dengan cara-cara culas. Sementara Shinkansen di Jepang tercipta berkat paduan kejeniusan dan tangan besi penguasa.

Kereta Cepat Cina dan Jepang Dibangun dengan Culas & Tangan Besi
Header Mozaik Bullet Train. tirto.id/Quita

tirto.id - Pagi 23 Juli 2011, ratusan penumpang bergegas melintasi Stasiun Selatan Beijing, stasiun kereta api terbesar di Asia, hendak naik kereta bersandi D301 yang akan berangkat menuju Fuzhou.

Harmony Express, kereta yang akan meluncur sejauh 2.000 kilometer ke arah selatan dari Beijing itu bukanlah kereta biasa. Tetapi "tampak seperti pesawat jet tak bersayap, yang diselimuti alumunium--dari ujung ke ujung--dengan cat putih mengkilap serta ornamen garis biru pada 16 gerbong yang dimilikinya," tutur Evan Osnos dalam "Boss Rail" (The New Yorker, Oktober 2012).

Diuji coba untuk pertama kalinya pada 2008, Harmony Express merupakan kereta berkecepatan tinggi, "bullet train" atau "high-speed train" pertama Cina. Simbol pergeseran kepercayaan masyarakat Cina terhadap kereta api.

Mengutip paparan Osnos, sebelum 2008 kereta api dimaknai masyarakat Cina sebagai "kemunduran" yang timbul atas ulah para pemimpin Cina yang tak suka dengan--meminjam istilah yang digunakan Wolfgang Schivelbusch dalam The Railway Journey (1977)--"mesin kemajuan".

Lebih dari seabad lalu atau kala kereta api muncul untuk pertama kalinya di Negeri Tirai Bambu, suara menderu dan asap mengepul yang dikeluarkan lokomotif oleh keluarga kerajaan dianggap telah menghina tatanan alam.

Di masa Mao Zedong, saat militer harus menggunakan kereta api, ia melihatnya sebatas "mesin kekacauan" yang disesaki manusia tanpa keuntungan berarti, misalnya kecepatan.

Dan karena Cina menerapkan sistem kekuasaan absolut, ketidaksukaan pemimpinnya diwariskan kepada masyarakat dalam bentuk naratif maupun kebijakan-kebijakan yang tak berpihak pada perkembangan kereta api.

Namun keyakinan bahwa kereta api merupakan simbol kemunduran tak merasuk dalam jiwa Liu Zhijun. Ia percaya kereta api merupakan salah satu alat utama yang diperlukan untuk meningkatkan perekonomian. Liu tak lelah meyakinkan masyarakat Cina bahwa kereta api yang mumpuni wajib dimiliki.

Terlebih, meskipun moda transportasi udara kian menjamur, waktu tempuh yang diperlukan pesawat untuk tiba ke tujuan terlalu lama dibandingkan rute dengan jarak serupa di negara lain. Hal ini terjadi karena kebijakan Cina yang mengutamakan pesawat militer dan hanya mengizinkan 30 persen ruang udaranya digunakan sipil.

Pada 2003, Liu Zhijun diangkat menjadi Menteri Perkeretaapian. Ia lantas bergegas merealisasikan kepercayaan masyarakat dengan membangun kereta api berkecepatan tinggi.

Bermodal lebih dari $250 miliar, Cina mulai membangun kereta peluru dengan total rute sepanjang lebih dari 12.000 kilometer, atau lebih panjang dari semua rute kereta api yang ada di dunia bila digabungkan. Untuk rute pertamanya, dari Beijing menuju Fuzhou, Liu merencanakan pembangun selesai pada 2008.

Untuk merealisasikannya, Liu tak segan langsung terlibat dalam proses pembangunan. Dia memberlakukan skema kerja sif siang-malam tanpa henti sambil berkata kepada para pekerjanya bahwa satu generasi Cina harus rela berkorban demi masa depan.

Saat diuji coba pada Juni 2008, Liu duduk bersebelahan dengan masinis dan berujar bahwa "seandainya [kereta api ini kecelakaan hingga] semua orang meninggal, saya akan menjadi yang pertama."

Karena perjalanan uji coba sukses tanpa insiden atau kecelakaan, maka masyarakat Cina percaya dan menanggalkan paham bahwa kereta api merupakan kemunduran.

Dan demikianlah, di pagi hari tanggal 23 Juli 2011, semua orang gembira dengan keberadaan kereta cepat, termasuk Zhu Ping, mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Beijing yang hendak pulang kampung.

Via WeChat, Zhu meluapkan kegembiraannya dengan menyebut bahwa ia hendak "terbang" ke kampung halaman dengan duduk di D301.

Saat perjalanan dimulai, ia semakin girang. Namun, setelah kereta peluru melaju beberapa kilometer, kegirangan Zhu berakhir. Didera cuaca buruk, petir menyambar sebuah kotak besi yang berada di samping lintasan kereta api di sekitar Kota Wenzhou.

Memiliki ukuran hampir serupa mesin cuci, kotak besi tersebut merupakan salah satu bagian dari sistem persinyalan kereta cepat. Menjadi alat utama masinis maupun petugas perkeretaapian di stasiun untuk mengetahui letak kereta yang tengah melaju serta dimanfaatkan sebagai alat komunikasi.

Secara teknis, jika kotak besi mengalami kerusakan, kereta cepat yang tengah melaju secara otomatis mengurangi kecepatan untuk kemudian berhenti. Jika kotak berhasil diperbaiki atau petugas di stasiun memberikan sinyal hijau tanda lintasan aman dilalui (meskipun kotak besi tak berhasil diperbaiki), masinis wajib menjalankan kereta secara manual untuk melanjutkan perjalanan.

Sempat bingung karena "pesawat tak bersayap"-nya berhenti, kegirangan Zhu berlanjut saat masinis D301 menerima pesan dari petugas di stasiun bahwa kereta yang dikemudikannya aman untuk melanjutkan perjalanan dengan kecepatan lebih dari 300 kilometer per jam.

Nahas, di saat yang sama, kereta cepat yang berada di depan D301, yakni D3115, terhenti di sekitar terowongan. Masinis D301 tak bisa melihat D3115, kecelakaan pun tak terhindarkan. Tak kurang dari 40 jiwa tewas mengenaskan, sementara 192 orang lainnya mengalami luka berat.

Tragedi ini menjadi salah satu kecelakaan terparah di dunia perkeretaapian cepat, yang terjadi karena Liu Zhijun terburu-buru merealisasikan mimpinya.

Dalam investigasi yang dilakukan otoritas Cina, kotak besi sistem persinyalan diproduksi hanya dalam waktu enam bulan oleh BUMN Cina, China Railway Signal. Meski memiliki tak kurang dari 1.300 teknisi, perusahaan ini kewalahan memenuhi standar kuantitas hingga berakibat fatal.

Selain itu, meskipun Liu terlihat sebagai sosok pembaru di dunia politik Cina, perwujudan mimpinya dilakukan dengan cara-cara KKN.

Bukan hanya menilap dana negara, Liu juga diduga memanfaatkan rancang bangun kereta super cepat milik Jepang.

Shinkansen: Kejeniusan dan Tangan Besi

Sebelum 1964, "hampir tak ada satupun maskapai di Jepang yang menampakkan wajah murung kala berbincang soal kecepatan kereta api," tulis Ely Jacques Kahn Jr. dalam "The Super-Express of Dreams" (The New Yorker, November 1964).

Namun, mulai 1 Oktober 1964, saat Japanese National Railways (JNR) mulai mengoperasikan layanan perkeretaapian antara Tokyo dan Osaka melalui Bullet Train, yang disebut media lokal sebagai Super-Express of Dreams (yume no chotokkyu), segalanya berubah.

Terpisah sekitar 500 kilometer, Tokyo-Osaka dapat ditempuh pesawat dalam tempo dua setengah jam. Sementara jika menggunakan Bullet Train, dua kota yang menjadi simbol "Jepang Baru" dan "Jepang Lama" itu dapat ditembuh dalam waktu empat jam.

Hal ini, tegas Kahn, hanya untuk sementara waktu. Sebab, sesuai namanya, Bullet Train memiliki kemampuan melesat hampir mendekati 300 kilometer per jam. Singkatnya, Bullet Train adalah kereta api berkecepatan tinggi pertama di dunia yang kemudian populer dengan sebutan Tokaido Shinkansen.

Negeri Matahari Terbit tak memiliki kereta api apapun hingga tahun 1872, hal ini membuat Shinkansen menjadi keajaiban ciptaan Jepang yang membuktikan bahwa kereta api tak akan musnah diadang pesawat terbang.

Uniknya, sebagaimana dipaparkan Jessamyn R. Abel, Profesor Studi Asia pada Pennsylvania State University, dalam Dream Super-Express (2022), Shinkansen lahir setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II.

Melalui kemampuan teknik yang kian terasah, Jepang tiba-tiba tahu cara merekayasa kereta api, terutama pemanipulasian rel kereta.

Secara umum, tercipta gaya sentrifugal kala roda kereta bergesekan dengan rel. Gaya ini, yang merupakan fungsi kuadrat kecepatan kereta dibagi dengan jari-jari kurva rel, semakin membesar manakala kereta semakin cepat, begitupun sebaliknya.

Sebelum Jepang menyadari bahwa gaya ini dapat dimanipulasi, tak ada satupun teknisi kereta api di dunia yang mau membuat kereta super cepat.

Pasalnya, saat kereta melaju lebih cepat dari kecepatan "normal," gaya ini dapat "menarik" kereta keluar dari jalur alias anjlok. Namun Jepang dapat menciptakan rel yang terbuat dari dua bagian, yakni tepi luar rel yang lebih tinggi dan tepi dalam yang lebih rendah, suspensi kereta dapat lebih stabil melawan gaya sentrifugal.

Memanfaatkan kereta jenis baru bertenaga listrik serta dibuat lebih rendah dibandingkan kereta api biasa guna menstabilkan pusat gravitasi, kereta berkecepatan tinggi akhirnya lahir.

Karena melaju selayaknya peluru, Shinkansen tak dikemudikan secara manual oleh masinis, melainkan memanfaatkan sinyal otomatis yang ditempatkan sepanjang rel kereta.

Infografik Mozaik Bullet Train

Infografik Mozaik Bullet Train. tirto.id/Quita

Muncul pertama kalinya sesaat sebelum Olimpiade ke-18 diselenggarakan, Bullet Train merupakan jawaban Jepang atas pertumbuhan ekonomi yang melesat, yang tutur Abel, "ditunjukkan dengan perubahan demografi Jepang, yakni wilayah urban yang kian sesak, sementara wilayah perdesaan kian sepi ditinggal penduduknya."

Uniknya, perubahan demografi ini ditunjukkan secara sempurna oleh dunia perkeretaapian Jepang sendiri. Kali pertama terhubung rel kereta lewat pembukaan jalur antara Tokyo dan Hokaido pada 1872, terbentuk secara perlahan kantong-kantong aktivitas ekonomi di jalur tersebut, dari pusat (Tokyo) ke arah utara (Hokaido).

Shinkansen, bagi Jepang, adalah upaya melebarkan terciptanya aktivitas ekonomi di luar Tokyo-Hokaido, yakni menjalar ke selatan-barat daya (Osaka).

Tentu, seperti kisah klasik pembangunan oleh negara, pembangunan kereta api cepat ala Jepang menghadapi tentangan tersendiri, khususnya dari warga yang berada di tengah-tengah jalur Tokyo-Osaka, yakni Kyoto.

Dihuni masyarakat berpenghasilan kecil yang, sebut Abel, "tak yakin Bullet Train bisa digunakan mereka untuk bepergian karena harga tiket dibanderol tinggi," serta "kenyataan bahwa mayoritas masyarakat tersebut merupakan warga keturunan Korea Selatan yang selalu dicampakkan Pemerintah Jepang," Shinkansen dianggap sebagai cara pemerintah mengusir mereka.

Terlebih, sebelum pembangunan Shinkansen dilaksanakan, Jepang tak memiliki peraturan perundang-undangan tangan besi yang dapat memaksa masyarakat menyerahkan tanah yang dimiliki untuk kepentingan negara.

Namun, secara tak terduga, sesaat sebelum pembangunan dimulai, Jepang tiba-tiba mengeluarkan Undang-Undang tentang Tindakan Khusus Mengenai Pengadaan Tanah untuk Penggunaan Umum (Kokyo yochi no shutoku ni kan suru tokubetsu sochi ho), yang dapat memaksa siapapun menyerahkan tanah mereka untuk digunakan negara. Akibatnya warga kelas dua terusir dari tanah mereka.

Shinkansen, kereta api berkecepatan tinggi itu adalah paduan antara kejeniusan teknisi Jepang dan tangan besi negara dalam mengusir rakyat dari tanahnya.

Baca juga artikel terkait KERETA CEPAT atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Irfan Teguh Pribadi