Menuju konten utama

Kepungan Sampah di Laut Jakarta yang Menanti Anies-Sandi

Sandi pernah berkampanye akan menggandeng program CSR untuk menanggulangi sampah di DKI Jakarta.

Kepungan Sampah di Laut Jakarta yang Menanti Anies-Sandi
Petugas kebersihan membersihkan sampah yang terbawa arus di kawasan pesisir pantai di Muara Angke, Penjaringan, Jakarta, Senin (4/9/2017). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

tirto.id - Salah satu jargon andalan pasangan Gubernur dan Wakli Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Sandiaga Uno adalah OK-OCE. Alias One Kecamatan One Center for Entrepreneurship. Sandiaga, sang wakil, pernah bilang kalau pengelolaan bank sampah oleh warga di beberapa tempat di Jakarta jadi sasaran program OK-OCE. Hal itu diungkapkannya Januari lalu, saat berkunjung ke Mampang Prapatan, Jakarta Selatan.

Pengelolaan bank sampah, jika diurus benar, menurut Sandiaga bukan cuma akan menyelesaikan masalah sampah, tapi juga bisa menyerap tenaga kerja warga sekaligus meningkatkan pendapatan warga. Waktu itu, sebagaimana dilaporkan Antara, ia akan menjalin kemitraan dengan dunia usaha dan merangkul program Corporate Social Responsibility (CSR).

Permasalahan tentang sampah dan CSR kembali jadi bahasan awal Oktober ini, setelah Greenpeace Indonesia merilis temuan terbaru mereka tentang sampah plastik di Kepulauan Seribu, Jakarta. Menurut data Greenpeace, produksi sampah di Jakarta saat ini bisa mencapai 6.500 sampai 7.000 ton per hari. Angka itu setara 4 persen dari total timbunan sampah secara nasional.

Salah satu masalah besar dari sampah-sampah itu adalah jenis plastik yang tidak bisa diurai dan merusak lingkungan. Bahkan sampah jenis ini yang terapung di laut bisa terdegradasi dan menjadi partikel-partikel kecil (mikroplastik) yang bisa dimakan atau termakan oleh biota laut.

“Biota laut, misalnya ikan, yang terkontaminasi mikroplastik dikonsumsi oleh manusia, dan dapat mengganggu kesehatan,” kata Luthfi Rofiana, Ketua Tim Riset Relawan Greenpeace Indonesia pada Tirto.

Baca juga: Gunungan Sampah Plastik Indonesia Menanti Solusi Tegas

Sampah laut ini yang jadi fokus Greenpeace Indonesia. Mereka sengaja melirik beberapa tempat di Kepulauan Seribu untuk jadi tempat penelitian. Kawasan Pulau Seribu dan Teluk Jakarta adalah muara 13 sungai yang ada di Jakarta dan sekitarnya, sehingga tumpukan sampah yang mengalir ke sana menarik perhatian mereka.

Berdasarkan data National Geographic Indonesia, 2016 lalu, yang dikutip Greenpeace, jangkauan pencemaran sampah di Teluk Jakarta mencapai 60 kilometer jaraknya dari pesisir daratan Jakarta. Lainnya karena, “Jakarta adalah salah satu kota dengan penduduk terbanyak di Pulau Jawa,” ungkap Luthfi.

Selama tiga kali menghitung sampah di tiga titik—Pulau Bokor, Pulau Karang Congak, dan Pulau Air—di Kepulauan Seribu, dalam rentang September-November 2016, Greenpeace menemukan sampah plastik masih jadi jenis sampah anorganik paling banyak di sana. Persentasenya hingga 61 persen, setelahnya ada 14,2 persen botol plastik; karet sebanyak 18,6 persen; kaca sampai 5,7 persen; dan 0,4 persen metal.

Menariknya, Greenpeace juga mendata merek-merek sampah plastik tersebut. Hal ini dilakukan Greenpeace karena ada aturan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. “Di Pasal 15 menyebutkan bahwa produsen wajib bertanggung jawab atas produk-produk yang sulit terurai oleh alam, salah satunya plastik,” kata Luthfi. Artinya, para produsen punya tanggung jawab sosial pada sampah-sampah plastik dari produk yang mereka produksi.

“Kita ingin mendorong penerapan pasal itu,” kata Luthfi.

Di antara sampah plastik itu, jenis botol plastik adalah yang paling banyak ditemukan. Sebanyak 84,3 persen adalah yang bermerek, sisanya 15,7 persen tidak bermerek. Dari temuan Greenpeace, lima merek teratas dengan jumlah sampah paling banyak adalah berturut-turut adalah Teh Gelas (Orang Tua), Aqua (Danone), Ale-ale (Wings), Vit (Danone), dan Yasmin (MMI).

Di Pulau Bokor, pulau dengan total sampah paling banyak di antara pulau lainnya, lima produsen penyumbang sampah terbanyak adalah Unilever (4,22 persen), Wings (3,25 persen), Indofood (2,92 persen), Danone (2,40 persen), dan Orang Tua (2,05 persen). Sampah-sampah itu dihasilkan dari tiga jenis sampah paling banyak, di antaranya: pembungkus makanan, produk perawatan diri, produk rumah tangga lainnya.

Baca juga: Bisakah Manusia Hidup Tanpa Plastik?

Beberapa di antara perusahaan besar tersebut memang punya program CSR khusus untuk menangani masalah sampah plastik. Yayasan Unilever Indonesia, misalnya, dalam laporan keuangannya tahun lalu, lewat program Green and Clean, mereka meningkatkan jumlah bank sampah dari 1.258 unit bank sampah di 2015 menjadi 1.630 bank sampah pada 2016, di 18 kota dan 10 provinsi di Indonesia.

infografik pulau seribu sampah

Indofood juga punya. Mereka bekerja sama dengan pemerintah daerah dan LSM seperti Mercy Corp dan Mitra Bentala untuk membangun bank sampah di Bandar Lampung, di tiga titik: Kota Karang, Panjang Selatan, dan Pulau Pasaran. Indofood juga bekerja sama dengan World Wide Fund for Nature (WWF) untuk kelestarian daerah lain, misalnya Gunung Wilis dan Sungai Berantas di Jawa Timur.

Namun, dari data-data tersebut, tak ada penjelasan jumlah biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan. Sejumlah perusahaan bahkan tak membuka laporan keuangan karena bukan perusahaan publik.

Selain UU 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, kewajiban CSR juga di atur oleh UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dan Peraturan Pemerintah Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas. Namun, dalam kedua aturan tersebut tak ada nominal pasti berapa besaran dana yang harus dikeluarkan oleh program CSR.

Saat ini memang ada Rancangan Undang- Undang (RUU) Tanggung Jawab Sosial yang masih dibahas di DPR RI. Dalam rancangan aturan baru tersebut, CSR ingin diberlakukan ke seluruh perusahaan. Selain itu, ada masukan juga soal besaran minimal kewajiban CSR perusahaan, masih dikaji apakah 2 persen, 2,5 persen atau 3 persen dari keuntungan dalam rancangan aturan tersebut.

Baca juga: Tren Investasi Gerakan Sosial

Artinya, jika gubernur dan wakil gubernur baru DKI Jakarta ingin mewujudkan kerja sama dengan CSR untuk menangani masalah sampah ini, mereka harus bikin regulasi tambahan yang lebih mengikat—daripada harus menunggu RUU disahkan DPR. Luthfi juga punya pendapat serupa. Menurutnya, harus ada tindak lanjut segera membuat sebuah desain besar tentang sistem pengelolaan sampah yang terpadu, melibatkan konsumen, produsen, dan pemerintah.

“Misalnya membuat aturan penarikan sampah, yang mewajibkan perusahaan melakukan take back sampah-sampah mereka. Jadi, konsumen ada wadah untuk membuang sampahnya,” ungkap Luthfi.

Atau bisa menggunakan ide Sandi. “Bisa bekerja sama dengan bank sampah sebagai pengepul sampah,” kata Luthfi.

Apakah janji kampanye ini bisa diwujudkan?

Baca juga artikel terkait ANIES-SANDIAGA atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Hukum
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Suhendra