Menuju konten utama

Keperjakaan dan Keperawanan Generasi Milenial

Generasi milenial tak suka kelabing, tapi mungkin “hobi” pacaran. Mereka muda, cekatan, sekaligus rawan.

Keperjakaan dan Keperawanan Generasi Milenial
Ilustrasi Keperawanan [Foto/Shutterstock]

tirto.id - Pada 2002 silam, ketika anak-anak muda Indonesia kelahiran 1980an mulai kuliah, Iip Wijayanto—yang saat itu masih berstatus mahasiswa—merilis kabar menghebohkan. Menurut hasil penelitiannya, lebih dari 97 persen mahasiswi di Yogyakarta tak lagi perawan.

Kabar kontroversial itu memicu perdebatan di ruang publik tentang validitas penelitian Iip yang kini berstatus sebagai ustad. Metode dan juga responden Iip dinilai terlalu sempit karena hanya berdasarkan lingkungan di kampusnya, di lereng Merapi sana.

Empat belas tahun berlalu sejak penelitian itu dilakukan, persoalan keperawanan atau keperjakaan, atau hal-hal yang bersinggungan dengan keduanya masih “seksi” untuk dikaji: penting dan perlu untuk dibaca.

Pada 17 April 2016, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) merilis survei Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Mereka melakukan survei tentang perilaku pacaran dan seksualitas para remaja pra nikah dengan batasan usia 15-24 tahun pada rentang tahun 2012-2014 di Sulawesi Utara.

Hasil penelitian itu menunjukkan 90 persen remaja yang berpacaran pernah berpegangan tangan. Sementara remaja berpacaran yang mengaku pernah ciuman bibir pada 2014 mencapai 59 persen. Menurut BKKBN, angka ini menurun dibanding tahun 2013 yakni 63 persen. Namun, masih tinggi dibandingkan data 2012, di mana ada 39 persen remaja pernah berciuman bibir. Perilaku berpacaran inilah yang disinyalir menjurus ke hal-hal serius lain seperti perilaku seksual di luar pernikahan.

Sementara menurut Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) tahun 2012, sebanyak 79,6 persen remaja pria dan 71,6 persen remaja wanita pernah berpegangan tangan dengan pasangannya.

Untuk “level pacaran” yang lebih tinggi, survei menemukan sebanyak 48,1 persen remaja laki-laki dan 29,3 persen remaja wanita pernah berciuman bibir.

Di level yang lebih tinggi lagi, ditemukan sebanyak 29,5 persen remaja pria dan 6,2 persen remaja wanita pernah meraba atau merangsang pasangannya.

Hamil di Luar Nikah—Pernikahan Dini—Perceraian Dini

Contoh level pacaran tingkat tiga itulah yang disinyalir menjurus ke perilaku-perilaku tabu yang senantiasa rawan. Data dari SKRRI BKKBN yang dirilis pada 2016 menunjukkan “pada 2012 sebanyak 8,3 persen remaja laki-laki dan 1 persen remaja perempuan sudah melakukan hubungan seksual sebelum nikah.”

Tahun ini angkanya berapa? BKKBN belum melakukan survei lagi. Tapi Kepala BKKBN, Surya Chandra Surapaty pada konferensi pers April lalu mengatakan dampak negatif dari seks pranikah adalah kehamilan yang tidak diinginkan (KTD).

“Kehamilan pada remaja ini dapat menimbulkan masalah bagi remaja dan keluarga juga lingkungan sosial," katanya, sebagaimana dikutip dari bkkbn.go.id.

Chandra bisa jadi benar. BKKBN 2013 lalu menyebutkan sebanyak 20,9 persen remaja di Indonesia mengalami kehamilan dan kelahiran sebelum menikah.

Sedangkan hasil survei BPS 2012 mengungkapkan, angka kehamilan remaja pada usia 15-19 tahun mencapai 48 dari 1.000 kehamilan. Tingginya angka kehamilan remaja ini berimbas pada salah satu penyumbang tertinggi jumlah kematian ibu dan bayi di Indonesia.

Sejurus dengan data itu, angka aborsi juga tinggi. Pusat Unggulan Asuhan Terpadu Kesehatan Ibu dan Bayi pada 2013 juga menyebut, sekitar 2,1 – 2,4 juta perempuan setiap tahun diperkirakan melakukan aborsi. Sebanyak 30 persen di antaranya dilakukan remaja.

Mereka yang “terlanjur” hamil di luar nikah--dan memilih bertanggung jawab pada bayi mereka—pada akhirnya dinikahkan secara dini. Kasus-kasus seperti itu marak, meskipun angka detilnya belum terdeteksi resmi.

Sebagai pendekatan, United Nations Departmen of Economic and Social Affairs (UNDESA) pada 2011 masih menempatkan Indonesia sebagai negara dengan persentase pernikahan dini pada peringkat 37. Menurut BKKN dengan peringkat itu, Indonesia merupakan negara kedua di ASEAN dengan persentase pernikahan dini tertinggi setelah Kamboja.

BKKBN juga menyebutkan ada sekitar 0,2 persen remaja putri dari 22 ribu perempuan usia 10-14 tahun telah menikah. Sementara untuk usia 15-19 yang telah menikah mencapai angka 11,7 persen. Angka ini jauh lebih besar jika dibandingkan dengan laki-laki muda berusia 15-19 tahun yang sudah menikah yakni 1,6 persen.

Persoalan ini berdampak pada kasus gugat cerai terhadap para pelaku pernikahan dini. Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa kepada Antara akhir 2015 lalu pernah mengatakan bahwa kasus gugat cerai paling kerap terjadi pada mereka yang menikah di usia dini dan lama perkawinan yang dini pula, kurang dari lima tahun.

Penyebabnya, menurut Khofifah adalah kematangan mental pasangan. "Karena itu akan menimbulkan masalah baru bagi anggota keluarga terutama anak-anak mereka," katanya kepada Antara.

Menikah di Usia Ideal dan Membangun Keluarga

Lantas, sebenarnya berapa umur ideal menikah? Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan mengamanatkan batas usia menikah bagi perempuan ialah 16 tahun dan pria 19 tahun.

Untuk diketahui, Yayasan Kesehatan Perempuan dan Yayasan Pemantauan Hak Anak pernah mengajukan uji materi terhadap undang-undang perkawinan tersebut, tetapi belakangan ditolak oleh Mahkamah Agung.

Kendati demikian, hasil SKRRI BKKBN pada 2007 lalu menunjukkan bahwa rata-rata perempuan berkeyakinan menikah ideal umumnya di antara usia 20 – 24 tahun. Sementara bagi remaja laki-laki menganggap ideal menikah di atas 25 tahun.

Menteri Kesehatan Nila F Moeloek juga menyampaikan pihaknya mendorong revisi UU Pernikahan untuk mencegah pernikahan dini agar dapat menekan angka kematian ibu melahirkan. Alasannya mereka dinilai belum matang secara fisik dan mental.

”Idealnya yang boleh menikah itu usia 20 tahun ke atas," katanya kepada Antara, pada November dua tahun silam. "Terlalu mudah menikah muda apalagi lulus SD atau SMP. Kawin dini menemui masalah kemudian cerai, nikah lagi dan cerai lagi. Ujung-ujungnya perempuan itu kena kanker serviks."

Di sisi lain, menikah di usia ideal di usia lebih 20 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi pria bisa jadi menguntungkan secara perhitungan ekonomi membesarkan anak. Pada saat anak mulai masuk jenjang pendidikan sekolah dasar ibu baru berusia 26-27 tahun, sementara bapak berusia 32 tahun. Ketika anak memasuki kuliah di usia 19 tahun, si ibu berusia 39 tahun dan bapak 44 tahun. Usia itu masih memungkinkan untuk produktif mencari kebutuhan biaya pendidikan anak.

Kendati demikian, menikah di usia ideal itu pun punya syarat yakni dilakukan dengan tanggung jawab bukan karena “kecelakaan”.

Baca juga artikel terkait KEPERAWANAN atau tulisan lainnya dari Agung DH

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Agung DH
Penulis: Agung DH
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti