Menuju konten utama
3 Juli 2001

Kepergian Baharuddin Lopa Saat Membongkar Kasus Korupsi Besar

Jaksa Agung Baharuddin Lopa berusaha membongkar kasus-kasus kakap, termasuk menguber Soeharto. Namun, ia cepat pergi tak lama setelah dilantik.

Ilustrasi Mozaik Baharuddin Lopa. tirto.id/Sabit

tirto.id - Hujan deras disertai kilat menyambar-nyambar langit pada Selasa malam, 3 Juli 2001. Abdurrahman Wahid tersentak. Ia mengunci diri dalam kamarnya di Istana Negara dan menangis tersedu. Ketika tangisnya agak reda, Gus Dur berucap lirih, “Malam ini, salah satu tiang langit bumi Indonesia telah runtuh!” Tak seorang pun yang paham maksudnya, lebih-lebih karena tidak sari-sarinya cucu Hadratussyaikh Hasyim Ashari itu menangis sedu-sedan.

Tangis dan ucapan Gus Dur baru terjelaskan ketika panggilan telepon berdering pukul 11 malam dari Kedutaan Besar Republik Indonesia di Riyadh, Arab Saudi. Berita yang disampaikan sang penelepon menggenapi penglihatan Gus Dur sambil mengantarkan duka ke seluruh penjuru tanah air: Jaksa Agung Baharuddin Lopa telah dipanggil Penciptanya! Berita meninggalnya Lopa yang baru dilantik sebagai Jaksa Agung pada 5 Juni 2001, terang menimbulkan keterkejutan sekaligus menjalarkan kabung yang dalam.

Ketika berita meninggalnya Lopa tercetak di surat kabar, almarhum Jakob Oetama bersaksi dalam Tajuk Rencana KOMPAS edisi 5 Juli 2001, bahwa seorang penelepon yang menghubungi redaksi KOMPAS untuk menyampaikan dukacita sampai berujar sebuah tamsil tentang kepergian Lopa, “Cahaya di tengah gelap gulitanya penegakan hukum itu telah padam.”

Dua peristiwa kecil di atas sekurang-kurangnya menjelaskan siapa Baharuddin Lopa. Sosoknya tidak hanya terkenang sebagai penegak hukum yang lurus dan bersahaja, tetapi juga keberaniannya berjuang sendiri. Prinsip jalan pedang yang dianut Lopa ini terkandung dalam kata-katanya yang seringkali dikutip, “Banyak yang salah jalan tapi merasa tenang karena banyak teman yang sama-sama salah. Beranilah menjadi benar meskipun sendirian!”

Lopa meninggal mendadak. Keberangkatannya ke Arab Saudi dilatari panggilan tugas sebelumnya sebagai Duta Besar RI untuk Arab Saudi. Sesudah ditunjuk Gus Dur sebagai Jaksa Agung, ia harus menyerahterimakan tugas duta besar kepada Wakil Duta Besar KBRI Riyadh, Kemas Fachruddin. Setelah acara serah terima selesai, Lopa menyempatkan diri bertolak ke Makkah lewat perjalanan darat selama 10 jam untuk melaksanakan ibadah umrah. Selasa pagi, 3 Juli 2001, tepat hari ini 20 tahun lalu, ia mual-mual dan segera dilarikan ke Rumah Sakit Al-Hammadi, Riyadh. Tak berapa lama, maut menyongsongnya.

Baharuddin Lopa barangkali menjadi eksemplar terakhir penegak hukum yang benar-benar tegak di atas karang kejujuran.

“Tidak mengherankan ketika ia meninggal dunia, kantor berita Associated Press Amerika Serikat pada 4 Juli 2001 memberitakan, ‘Indonesia’s Anti-corruption Crusader has Died'. Crusader adalah pendekar yang teguh dalam perjuangan dan Lopa pantas untuk disebut pejuang nomor wahid yang menentang korupsi,” tulis Rosihan Anwar dalam Petite Histoire Indonesia Jilid 5: Sang Pelopor, Tokoh-Tokoh Sepanjang Perjalanan Bangsa (2012: 219).

Jejak Perkara Kelas Kakap

Kepergian Lopa yang mendadak terang mematahkan harapan akan proses hukum sejumlah kasus korupsi besar yang tengah dibedah. Putra Mandar, Sulawesi Selatan itu tak mau pilih-pilih. Kepada wartawan yang menemuinya di Ruang Adhi Wicaksana Kejaksaan Agung sesudah dilantik, Lopa berkata, “Saya tidak boleh memilih-milih. Kasus yang belum selesai, diselesaikan. Bagi saya, itu semua prioritas.” Sebagian merupakan kasus yang tak selesai di bawah penanganan Jaksa Agung Marzuki Darusman, sedangkan sebagian lagi adalah perkara baru.

Lopa tak cuma mengobral lip service. Beberapa hari setelah dilantik, ia mengutus Jaksa Agung Muda bidang Intelijen, Chalid Karim Leo, untuk melacak keberadaan tersangka mark-up Hutan Tanaman Industri, Prajogo Pangestu. Prajogo, yang sudah beberapa kali diperiksa dalam kasus mark-up hutan tanaman industri melalui PT. Musi Hutan Persada di Sumatra Selatan yang merugikan negara sekitar Rp 331 miliar dan penyalahgunaan dana reboisasi senilai Rp 1 triliun lebih, ketika itu mengaku tengah berobat di Singapura. Ragu akan klaim Prajogo, Lopa tancap gas mengaktifkan kembali status tersangka Prajogo yang sudah lama dipetieskan karena jejaknya yang misterius.

Sambil menelusuri jejak Prajogo, Lopa juga menguber bos Bank Dagang Nasional Indonesia, Sjamsul Nursalim, tersangka kasus penyalahgunaan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang menilap uang negara hingga Rp 7,28 triliun. Sjamsul yang ketika itu mengaku tengah berobat ke Jepang, membuat Lopa penasaran. “Mengapa harus di Jepang kalau di Indonesia bisa diobati,” cecar Lopa penasaran. Karenanya, Lopa mewanti-wanti anak buahnya agar tersangka kasus kakap jangan sampai lolos.

Kasus besar lain yang juga dibuka Lopa adalah penggelapan dana non-neraca Badan Urusan Logistik (Bulog) yang melibatkan nama politikus Golongan Karya, Akbar Tandjung. Dana senilai hampir Rp 90 miliar itu diduga bocor dan masuk ke kas partai berlambang beringin ketika Bulog dikepalai Rahardi Ramelan. Rinciannya, Rp 71 miliar keluar selama Rahardi menjabat dan disusul pengeluaran lain senilai Rp 19 miliar. Perintah penarikan dana turun pada 27 Agustus 1998, hanya sehari sesudah Rahardi dilantik sebagai Kepala Bulog.

Ketika membedah kasus yang melibatkan bekas partai penguasa ini, Lopa mendapati penarikan lebih intensif pada bulan-bulan kampanye jelang pemilihan umum yaitu antara Maret-Juni 1999. Lopa sampai berkirim surat kepada Presiden Abdurrahman Wahid untuk memeriksa Arifin Panigoro, Nurdin Halid, dan Akbar Tanjung. Esoknya, Gus Dur langsung menurunkan lampu hijau bagi Lopa.

Tak selamanya mulus, Lopa dihadapkan pada pertentangan sengit dalam lingkungan kejaksaan ketika hendak mencabut Surat Perintah Penghentian Perkara (SP-3) kasus utang macet Rp 9,8 triliun Marimutu Sinivasan kepada BRI dan BNI 46 yang semua utangnya diserahkan ke BPPN. Sebagian anak buahnya menilai kasus yang melibatkan dua engineering milik Sinivasan, Polysindo Eka Perkasa dan Texmaco Perkasa itu tak cukup bukti.

Pandangan ini serta-merta diserang jaksa lain yang telah mengumpulkan bukti sangat kuat untuk menjerat Sinivasan. Panas dingin Sinivasan ini dikabarkan sampai menyebabkan bos Texmaco itu mengajak Jaksa Agung Muda Pidana Umum, Rachman, S.H. menghadap Gus Dur di Istana Merdeka dan meyakinan Presiden bahwa kasus Texmaco lemah bukti.

Sayang, meski telah membentuk empat tim jaksa untuk mengusut sejumlah kasus-kasus kakap tadi, Lopa terpaksa meninggalkan semua berkas perkara yang hendak ia buka ketika Sang Khalik memanggilnya. Sejauh bekerja, Lopa hanya menyaksikan pemeriksaan Nurdin Halid yang terkait kasus dana Simpanan Wajib Khusus Petani (SWKP) Cengkeh yang kasusnya sempat divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Ujung Pandang pada 1999.

Mengejar Soeharto

Dari sekian kasus besar yang lekas dibedah Lopa sesudah menjabat Jaksa Agung, ada satu kasus paling ambisius yang membuatnya gemas sejak semula, yakni kekayaan Soeharto. Sesuai hasil penelusuran Transparency International pada 1998, keluarga Soeharto ditaksir telah membegal uang negara hingga US$ 30 miliar selama memerintah. Maka itu, alih-alih hendak memidanakan, Lopa memilih mengejar Soeharto untuk diganjar sanksi perdata.

Kegemasan Lopa terlihat dari tulisan-tulisannya di media massa yang kemudian diterbitkan Penerbit Buku Kompas dengan judul Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum (2001). Salah satunya, ketika Lopa mencecar kejaksaan yang mengulur-ulur pengusutan korupsi keluarga Cendana. “Saya ingin bertanya kepada Jaksa Agung, sudahkah diteliti betul-betul pemberkasan kasus Soeharto itu? Apakah saksi-saksinya sudah cukup dan memberi keterangan yang berarti? Sudah adakah barang bukti yang akan diajukan? Sudahkah dilakukan penyitaan sementara terhadapnya?” (2001, hlm.119).

Lebih lanjut, Lopa memaparkan, “Yang kita inginkan ialah berjalannya proses pidana yang fair, terbuka, dan tidak menyimpang dari asas peradilan yang adil. Sebab, yang dicita-citakan dari proses penyidangan perkara itu, ialah suatu putusan yang adil, bukan menghukum orang yang tidak bersalah, tetapi bukan juga membebaskan orang yang bersalah,” (2001, hlm. 121).

Dalam tulisan lain, Lopa menyayangkan mereka yang masih berkutat dan menyoal berapa uang negara yang dikorupsi Soeharto dan anak-anaknya. Bagi Lopa, perdebatan tentang nominal yang dicoleng keluarga Soeharto bukan soal yang terlalu mendesak, sebab menurutnya, “Yang penting bagi rakyat, adalah agar kekayaan yang seluruhnya atau sebagiannya diperoleh secara tidak wajar, segera disita/dirampas dan digunakan untuk menolong kehidupan rakyat dalam memenuhi kebutuhan bahan pokok. Aset itu berasal dari rakyat. Karena itu, harus pula kembali kepada rakyat” (2001, hlm. 112).

Jadi Bedak Kabinet?

Di luar ranah penegakan hukum, banyak pihak menilai Lopa mempunyai daya tawar yang mampu mengatrol wajah kabinet Persatuan Nasional yang hari-hari itu tengah lesu akibat ketidakcocokan dengan DPR, seringnya perombakan kabinet, serta langkah-langkah politik Gus Dur lain yang kerap diolok “Jurus Dewa Mabok”.

Nilai besar Lopa sebagai aset kabinet sempat disayangkan oleh Amien Rais, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat kala itu. Amien menilai, jika Gus Dur sejak awal memasukkan Lopa ke dalam jajaran pembantunya, maka wajah kabinet Persatuan Nasional akan lebih segar dan didukung masyarakat.

“Lopa masuk kabinet ketika wajah pemerintahan Wahid berada dalam teka-teki. Karenanya, meninggalnya Pak Lopa membuat wajah kabinet kembali suram,” ujar Amien seperti dicatat dalam obituari “Spekulasi Setelah Lopa Pergi” yang dimuat Tabloid Masa no. 08/Th. I, 9-15 Juli 2001.

Infografik Mozaik Baharuddin Lopa

Infografik Mozaik Baharuddin Lopa. tirto.id/Sabit

Senada dengan pandangan Amien Rais, Aisyah Amini, anggota Komisi I DPR-RI dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan mengaku telah memberikan usul kepada Gus Dur supaya Baharuddin Lopa masuk kabinet. Sayangnya, Gus Dur baru memperhitungkan usulan itu ketika kabinetnya dihantam badai besar yang membuatnya kewalahan. “Siapapun merasa sedih dan kehilangan atas kepergian Pak Lopa. Tapi, bagi Gus Dur, rasa kehilangannya lebih lagi. Sebab, Lopa adalah primadona di kabinetnya,” ujar Aisyah, dalam obituari yang sama.

Spekulasi mengenai kedudukan Lopa sebagai “benteng terakhir” kabinet Gus Dur memang tidak dapat dibenarkan seluruhnya. Hanya saja, sejarah lalu bersaksi bahwa langkah politik Gus Dur semakin tidak terkendali sesudah Lopa berpulang. Kendati telah mempersiapkan “kompromi politik” dengan sejumlah pimpinan partai politik, Gus Dur gagal bertahan di kursi RI-1.

Alhasil, tepat 20 hari sesudah Lopa meninggal, Gus Dur pun digulingkan Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat yang serta-merta melantik Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden ke-5, tanpa lebih dulu mendengar laporan pertanggungjawaban Gus Dur selama memerintah.

Pergi dengan Teka-Teki

Kepergian Lopa yang mendadak memantik spekulasi. Sejumlah kejanggalan menjadi desas-desus. Banyak keterangan berbeda tentang kematiannya.

Menteri Luar Negeri Alwi Shahab menjelaskan Lopa mual dan mengalami muntah-muntah sebelum dibawa ke Rumah Sakit Al-Hammadi, Riyadh. Dalam pemeriksaan, diketahui ada satu pembuluh darahnya yang menyempit. Namun, dalam diagnosis intensif, didapati tiga pembuluh darah menyempit sehingga Lopa harus dioperasi. Sempat ada tanda-tanda akan sembuh, keadaan Lopa malah memburuk, koma, dan mengembuskan napas terakhirnya sebelum Tim Dokter Kepresidenan memeriksanya.

Keterangan Alwi jelas membuat publik tertanya-tanya, apa hubungannya mual dan sakit jantung? Rasionalisasi sakit jantung sedikit banyak memang dapat diterima, karena Lopa adalah perokok berat dan dalam membedah kasus-kasus besar yang lama didep di laci dapat diasumsikan ia kurang istirahat. Hanya saja, kaitan mual dan sakit jantung dinilai terlalu dihubung-hubungkan.

Bola liar desas-desus semakin menjadi ketika keterangan Alwi Shahab tak cocok disandingkan dengan penjelasan Basri Hasanuddin yang berpidato dalam pemakaman Lopa sebagai perwakilan keluarga. Basri menyebut Lopa mengeluh sesak napas—bukan mual-mual—sebelum dokter mendapati penyakit jantung.

Juru Bicara Kepresidenan, Adhie M. Massardi pun menambah riuh bola liar teka-teki saat menjawab pertanyaan publik seputar penunjukan Soeparman sebagai pelaksana tugas Jaksa Agung. Adhie mengatakan, penunjukan tersebut sesuai dengan rekomendasi Lopa. Pertanyaannya, kapan Lopa sempat memberi rekomendasi? Sebelum berangkat ke Riyadh? Sebelum umrah? Atau sebelum ia koma?

Lopa sendiri sempat memberi umpan teka-teki kepada Sekretaris Jenderal Partai Kebangkitan Bangsa, Muhaimin Iskandar, yang sempat bertemu Lopa di Makkah ketika melaksanakan ibadah umrah. Lopa mengatakan ada tiga orang yang mendesaknya mundur dari jabatan Jaksa Agung. Ungkapan senada pernah diutarakan Lopa kepada mantan mahasiswanya, Achmad Ali, S.H., M.H, “Terlalu banyak orang yang ketakutan jika saya diangkat menjadi Jaksa Agung, sehingga logis jika orang ramai-ramai memotongi saya agar tidak menjadi Jaksa Agung.”

Tetapi, Lopa tetaplah Lopa. Prinsipnya sebagai penegak hukum yang menentang kebatilan begitu tegas dan jelas, “Walau umur dunia tinggal sehari, hukum harus ditegakkan!”

Baca juga artikel terkait BAHARUDIN LOPA atau tulisan lainnya dari Chris Wibisana

tirto.id - Humaniora
Penulis: Chris Wibisana
Editor: Irfan Teguh
-->