Menuju konten utama
31 Agustus 1997

Kepedihan dan Perpisahan dalam Hidup Lady Diana

Muram mahkota.
Putri gulana dalam 
kilau istana.

Kepedihan dan Perpisahan dalam Hidup Lady Diana
Diana Spencer dan Charles Windsor. tirto.id/Sabit

tirto.id - Aulia masih ingat sekali bagaimana dunia menangis hari itu, 1 September 1997. Ibunya sesenggukan di depan televisi saat ada berita tentang kematian seorang perempuan berhidung mancung, berambut pirang nan pendek. Waktu itu umurnya masih tiga tahun.

“Kenapa Ibu nangis, Yah?” tanya Aulia kepada sang ayah.

“Kakaknya meninggal,” sahut ayahnya, sembari menunjuk gambar perempuan di televisi.

Ibunya tetap sesenggukan banjir air mata. Aulia yang masih polos rupanya percaya saja. Waktu itu ia masih tak tahu kalau sang ibu punya kakak. Ia pun mafhum soal tangisan ibunya. Setelah umur bertambah, Aulia sadar, bahwa peristiwa 21 tahun lalu itu rupanya candaan sang ayah. Perempuan itu ternyata adalah Putri Diana Spencer, Princess of Wales, istri Pangeran Charles, anak pertama Ratu Inggris, Ratu Elizabeth II. Lady Diana—begitu ia akrab disapa media.

Sang putri yang masih berumur 36 tahun meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil di Paris, 31 Agustus 1997, tepat hari ini 21 tahun lalu. Kematian itu mendadak dan mengejutkan. Dunia bukan cuma tersentak, beberapa minggu setelah hari itu dunia masih berkabung. Pada 6 September 1997, suasana hening mencekam merayapi London. Sekitar sejuta orang pelayat memadati rute jalan sampai ke West-minister Abbey. Ada suara riuh mereka yang mengisak, didampingi suara-suara bel yang berdenting tak beraturan, gemuruh tapak kuda dan roda pedati. Namun, udara mendadak sesak dipadati isak-isak putus asa, berbunyi: “Diana, my Diana!” dan “We love you, Diana!”

Sepuluh tahun kemudian, jurnalis Time, Catherine Mayer menyebut upacara pemakaman itu sebagai Festival Berkabung, dalam artikelnya Rebel Heart. Kehilangan Lady Diana memang tak cuma kesedihan milik rakyat Inggris semata, kelas menengah dari negara lain, seperti Ibu, yang tinggal ribuan kilometer jauhnya juga ikut bersimpati. Lady Diana memang menyentuh banyak hati orang, terutama para perempuan.

Dibesarkan Kepedihan

Tubuhnya masih pendek dan gemuk, ketika berjumpa pertama kali dengan Pangeran Charles. Waktu itu Diana Frances Spencer, anak Earl Spencer, aristokrat Inggris, masih berumur 16 tahun. Sang pangeran yang berumur 29 tahun, justru dekat dengan kakak Diana, Lady Sarah Spencer, saat itu.

Pikiran pertama Diana tentang Pangeran Charles adalah, “Poor old thing—pria tua yang malang.” Ia tahu kakaknya Sarah punya karakter yang menyebalkan. “Sarah selalu dapat apa yang dia mau, dan aku yakin Sarah menggantung ketat di lehernya,” kata Diana. “Aku sama sekali tak terkesan padanya (Charles).”

Namun berbeda dengan Charles, pertemuan pertama di kediaman keluarga Spencer itu berkesan padanya. Ia lalu sering bertanya tentang Diana pada sang kakak. Sayang, hubungan Charles dan Sarah yang tak pernah berkembang turut berdampak menjauhkan pasangan yang kelak akan menikah itu. Diana dan Charles moved on. Hampir tiga tahun sampai akhirnya mereka bertemu lagi, Charles malah terlibat percintaan dengan beberapa wanita lain. Sementara Diana menyelesaikan sekolahnya di Swiss.

Waktu itu 1980, Diana tumbuh jadi gadis 19 tahun yang ranum. Mereka bertemu di rumah seorang teman, ketika Charles masih berkabung karena kematian Lord Mountbatten, paman buyutnya yang dianggap sahabat.

“Kau pasti sangat kesepian. Sedih rasanya melihatmu bangun di altar St. Paul dengan peti Lord Mountbatten di depanmu. Mengerikan, kau butuh kawan di sampingmu,” Diana ingat bilang begitu pada Charles—sesuatu yang kemudian membuat sang pangeran sekonyong-konyong memagut bibirnya dan “melompat ke arah manapun (di) tubuhku,” kata Diana.

Waktu itu dia bingung, dia tahu kalau ada yang salah dengan reaksi sang pangeran. Namun, ia sama sekali belum pernah pacaran, padahal kawan-kawan seumurannya pernah, jadi ia tak tahu harus bagaimana.

“OH! SALAAH O-MONG!” Dua belas tahun kemudian, Diana gondok mengingat memori itu. Dia tahu kalau dia salah omong. Tapi dari sanalah, kedekatannya dengan Charles berlanjut. “Sepanjang sisa malam itu dia terus mengekorku, ke manapun. (Kayak) anak anjing. Yeah, aku tersanjung, tapi aku lebih bingung,” tambahnya.

Cerita ini diulang Diana pada Peter Settelen, guru berpidato yang baru ditemuinya beberapa kali. Saat itu Diana juga mengurai rencana perceraiannya dengan Charles.

Waktu itu 1992, Diana dan Charles sudah menikah 11 tahun. Tahun tersebut adalah tahun berat bagi Keluarga Kerajaan. Pada Maret, Pangeran Andrew, adik Charles mengumumkan perpisahannya dengan Sarah Ferguson, istrinya. Pada April, Putri Anne, juga anak sang Ratu bercerai dengan suaminya. Kemudian Juni, buku biografi Diana keluar. Isinya: keretakan rumah tangganya dengan Charles yang selingkuh, dan perlakuan buruk keluarga kerajaan pada sang menantu. Ratu Elizabeth sendiri berkata, “1992 bukanlah tahun yang akan saya kenang dengan perasaan gegap gempita,” dalam pidatonya.

Rekaman cerita itu dibuat Settelen sejak September 1992 sampai Desember 1993. Tujuannya adalah sebagai saran latihan Diana untuk mempertajam kemampuan pidatonya. “Setelah sesi pertama, aku bilang padanya, dengar, aku mau bawa kamera. Aku mau lihat dirimu menceritakan kisahmu. Kau akan menceritakan kisahmu padaku, kemudian kau harus menontonnya,” kata Settelen pada Ann Curry, jurnalis NBC News yang mewawancarainya pada 2004. Menurut Settelen, cara itu akan membuat Diana lebih percaya diri dengan gaya bicaranya.

Sang putri setuju. Ia ingin sekali mengembangkan kemampuan bicaranya, terutama setelah urusan perceraiannya rampung. Rencananya, Diana ingin memanfaatkan ketenarannya untuk lebih vokal pada isu-isu kemanusiaan yang disenanginya.

Tak dinyana, dalam 20 menit rekaman pertama, Lady Diana justru menceritakan semua hal yang tak pernah publik dengar dalam sesi-sesi wawancara yang lain. Pada Settelen, Diana tak hanya terbuka tentang kisah pertemuannya dengan Charles, tapi juga tentang semua hal yang terjadi setelah hari pernikahan mereka, termasuk tentang perselingkuhan Charles dengan Camilla Rosemary.

Diana mengaku hanya bertemu 13 kali sebelum akhirnya menikah dengan sang penerus takhta Inggris, bujangan paling dinanti wanita pada masa itu. Ia juga tak sekonyong-konyong menerima pinangan Pangeran Charles. Usianya sangat muda waktu itu, tapi juga tak bodoh untuk melewatkan kesempatan dipersunting keluarga kerajaan, apalagi sang pangeran langsung.

Sorotan media yang bombastis jadi salah satu penyebab keraguan itu muncul. “Rasanya seperti ditarik ke dalam pusaran… (isinya) orang-orang saling dorong dan saling tarik di saat bersamaan,” kata Diana dalam rekaman itu.

“Didorong keluarga?” tanya Settelen.

“Yeah. Keluargaku berpikir gagasan (menikahi Charles) itu bagus. Begitu pula teman-temanku. Dan pun begitu—keluarga Charles.” Diana mengusap tengkuk lehernya dengan tangan dari depan, matanya menerawang. Salah satu sudut bibirnya ditarik ke belakang, ekspresi sebalnya kentara. “Mereka suka padaku, mereka sangat baik padaku—“ ia berdeham. “—saat aku masih tamu.” Diana tersenyum ketus.

“Apa maksudnya?” tanya Settelen lagi.

“Maksudku, semuanya berubah setelah aku jadi menantu. Posisi itu berubah.”

Diana mengaku tak punya kawan dekat ketika memulai kehidupan barunya sebagai Princess of Wales. Dia sadar kalau sorotan media bisa membuatnya benar-benar kewalahan, tapi ia tak pernah membagi kekhawatiran itu pada Charles. Menurutnya, lebih baik ia pendam sendiri. Ia tak ingin dilihat sebagai orang yang manja dan butuh banyak bantuan.

Tapi masalah itu tak separah ketika Diana akhirnya menyadari kehadiran Camilla Rosemary dalam rumah tangganya. Sejak sebelum menikah, Diana tahu kalau Charles dekat dengan perempuan itu. Tapi tak pernah berani mengonfrontasi. Camilla juga hadir di pernikahan mereka sebagai tamu. Dalam rekaman wawancaranya dengan Andrew Morton, jurnalis yang menulis biografi Diana pada 1992, Diana juga sempat mengaku pernah melabrak Camilla di pesta ulang tahun keponakan perempuan itu.

Saat itu Diana sadar kalau dia memang tak bisa memenangkan Charles lagi. Meski sebelum sampai di titik itu, Diana merasa sangat murka dan dikhianati oleh suaminya.

“Aku ingat pernah tanya suamiku begini: Kenapa? Kenapa perempuan ini selalu ada? Dan dia jawab: Well, aku tak mau jadi satu-satunya Prince of Wales yang tak punya gundik,” kata Diana pada Settelen. Ia dan Charles akhirnya memilih berpisah. Baru pada 1996, mereka benar-benar resmi bercerai.

Rekaman-rekaman ini sempat kontroversial saat pertama kali beredar. Settelen sempat dihujat orang-orang karena dinilai menyebarkan bagian paling sensitif dari kehidupan sang putri. Namun Settelen berkilah, hal itu perlu. Menurutnya terlalu banyak yang simpang siur dari figur Diana. Kematiannya yang mendadak di puncak ketenaran meninggalkan jejak tak baik bagi sebagian orang, sehingga video-video itu bisa jadi keadilan bagi mendiang Diana.

Settelen kemudian menjual video itu pada NBC News.

Infografik Mozaik Kematian Lady Diana

Pemercepat Modernisasi Kerajaan

Menjelang peringatan 20 tahun kematian Diana pada 2017, film dokumenter Diana berjudul Diana: In Her Words juga kembali ditayangkan. Isinya adalah rekaman suara Lady Diana dengan Andrew Morton untuk keperluan pembuatan biografinya. Semua yang pernah diceritakan Diana pada Settelen kembali terulang. Terutama tentang bagaimana kehancuran rumah tangganya membentuk karakter sang putri.

Semasa hidup ia dikenal sebagai salah satu aristokrat Inggris paling berpengaruh. Jiwa sosial Diana tinggi. Ia juga dikenal dekat dengan rakyatnya. Bahkan tak segan-segan berteriak kencang tentang penyakit-penyakit berstigma yang masih tabu dibicarakan orang-orang masa itu, seperti kusta atau HIV/AIDS. Saat orang-orang tak berani berinteraksi dengan para terdiagnosis, Diana justru berani memeluk mereka ditonton puluhan media yang selalu mengintil dirinya.

Dalam video dokumenter lain yang dikeluarkan National Geographic untuk mengenang Diana, sejumlah orang terdekatnya berbincang tentang bagaimana karakter Diana. Pangeran William dan Pangeran Harry, kedua putra Diana menyebut ibunya adalah tipikal orang tua gaul yang sangat humoris. Sementara Earl Spencer, adik bungsu Diana, menyebut kakaknya memang selalu punya insting besar untuk melindungi anak-anak kecil.

Karakter itu terbentuk sebagai buah masa kecilnya yang harus melihat perpisahan orang tua sejak umur 6 tahun, ketika sang ibu meninggalkan ayahnya demi pria lain. Ia tinggal dengan sejumlah pengasuh dan guru-guru di asrama, tanpa perhatian dari sang ayah. Luka itu makin lengkap ketika ia berumur 13 tahun, sang ayah memilih menikah lagi dengan wanita yang ia dan saudari-saudarinya tak suka.

“Karena sensitivitas dan kerentanan (dari pengalaman masa kecilnya), Diana merasa mampu untuk berkoneksi dengan orang-orang yang mengalami masa-masa sulit, dan memberi mereka harapan,” kata Earl Spencer.

Sifat Diana memang berkesan bagi orang-orang karena dia sangat alami dalam berkoneksi. Dan yang membuat hal itu makin keren di mata orang lain karena, “Dia tak pernah mencoba jadi orang lain kecuali dirinya sendiri,” kata Harry Herbert, teman sekolah Diana.

Jurnalis Time Catherine Mayer bahkan menuliskan Diana sebagai tokoh yang mempercepat proses modernisasi Kerajaan Inggris. Karakternya yang mudah bergaul, ramah, dan mudah menarik hati rakyat, membuat karakter monarki Inggris yang kaku dan ketat menjadi lebih cair sehingga lebih mudah diterima masyarakat modern.

Hal ini yang kelak akan mempermudah tugas Pangeran William, penerus takhta berikutnya; dan Kate Middleton, menantunya.

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 31 Agustus 2017 di bawah judul "Mengenang Kembali Lady Diana". Kami melakukan penyuntingan ulang untuk diterbitkan lagi dalam rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait LADY DIANA atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Aulia Adam
Editor: Suhendra