Menuju konten utama
Round Up

Kepatuhan LHKPN Cuma 55%: Bukti DPR Tak Punya Komitmen Antikorupsi?

Kepatuhan anggota DPR melaporkan LHKPN 2020 hanya 55%. Hal ini dinilai sebagai bukti komitmen mereka terhadap pemberantasan korupsi lemah.

Kepatuhan LHKPN Cuma 55%: Bukti DPR Tak Punya Komitmen Antikorupsi?
Sidang Paripurna DPR RI 2014-2019, Senin 30/9/2019. tirto.id/Bayu Septianto

tirto.id - Kinerja legislatif kembali mendapat sorotan. Kali ini, jumlah anggota DPR dan DPRD yang melaporkan harta kekayaan lewat Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terjun bebas dari 100 persen di LHKPN 2019 menjadi 55 persen di LHKPN 2020.

"Ada berita buruk, bidang legislatif menurun drastis. Tahun lalu DPR dan DPRD yang melapor LHKPN sudah 100 persen karena KPU mensyaratkan kalau mau maju harus kasih LHKPN. Sekarang DPR jatuh tinggal 55 persen dan DPRD tinggal 90 persen," kata Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan, Rabu (18/6/2021).

Meski angka menurun, rerata pelaporan mengalami peningkatan. Pahala mengatakan, angka rerata naik menjadi 96,31 persen.

"Rata-rata ini lebih baik dari tahun kemarin. Kami ucapkan terima kasih juga untuk bidang legislatif tahun lalu 100 persen melaporkan, PR-nya bagaimana 55 persen dan 90 persen ini bisa naik ke 100 persen," kata Pahala.

Dalam catatan lembaga antirasuah, mereka menerima sebanyak 363.638 LHKPN dari total 377.574 wajib lapor yang terdiri atas Bidang eksekutif: 294.864 LHKPN (96,44 persen); Bidang legislatif: 17.923 LHKPN (89,27 persen); Bidang yudikatif: 19.473 LHKPN (98,46 persen); BUMN/BUMD: 31.378 LHKPN (98,15 persen).

Kewajiban melaporkan LHKPN bagi pejabat negara tertuang dalam UU Nomor 28 Tahun 1999. Bila mereka tidak lapor akan kena sanksi administratif sesuai undang-undang.

Dalih DPR Tak Lapor LHKPN 2020

Pimpinan DPR Sufmi Dasco menyebut banyak anggota DPR yang tidak melaporkan harta kekayaan lewat LHKPN karena banyak kegiatan selama pandemi COVID-19 sehingga lupa untuk lapor.

"Mungkin pada saat pandemi seperti sekarang, memang kegiatan-kegiatan menjadi enggak fokus ya," ujarnya kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (19/8/2021).

Politikus Partai Gerindra itu mengatakan akan segera mengingatkan anggota yang belum menyerahkan LHKPN ke KPK.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni sedih dengan masih banyak anggota DPR yang belum melaporkan harta kekayaan. Menurut politikus Partai Nasdem ini, pelaporan LHKPN adalah kewajiban pejabat publik.

"Melaporkan kekayaan sebagai bentuk transparansi," ujar Shanroni kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (19/8/2021).

Syahroni mengaku dirinya rutin menyerahkan LHKPN ke KPK. Ia juga mengimbau agar anggota DPR lain yang belum menyerahkan LHKPN untuk segera melakukannya.

"Sebagai mitra dari KPK, tentunya saya mendorong agar para pejabat publik untuk segera melaporkan LHKPN-nya, karena ini, kan, untuk membantu kinerja KPK juga," ujar Sahroni.

Perlu Ada Sanksi

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM Yogyakarta Zaenur Rohman tidak heran angka kepatuhan pelaporan LHKPN legislatif turun. Menurut Zaenur, masalah tersebut sudah menjadi tradisi buruk DPR.

Kenaikan pelaporan LHKPN 2019 mencapai 100 persen, kata Zaenur, terjadi karena ada paksaan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai syarat maju pada pemilu sehingga mereka mau melaporkan harta kekayaannya.

"Saya melihat rendahnya angka pelaporan tersebut karena tidak ada itikad baik dari para anggota DPR karena sudah tidak dipersyaratkan lagi oleh KPU untuk menduduki jabatan atau mencalonkan diri," kata Zaenur kepada reporter Tirto, Kamis (19/8/2021).

Penyebab kedua, kata dia, adalah tidak adanya aturan sanksi yang mengikat soal LHKPN. Ia menuturkan, pejabat mengisi LHKPN dengan konsep semi voluntary dan tidak ada sanksi selama ini. Oleh karena itu, para anggota legislatif tidak patuh untuk melaporkan LHKPN.

"Selama ini memang peraturan perundang-undangan tidak memiliki alat pemaksa bagi penyelenggara negara yang tidak mematuhi LHKPN sehingga seakan-akan semuanya dikembalikan kepada itikad baik dari masing-masing penyelenggara negara tersebut," kata Zaenur.

"Sedangkan kita tahu bahwa itikad baik dari penyelenggara negara itu sangat buruk sehingga menurut saya selama tidak ada ancaman sanksi, selama itu pula kepatuhan LHKPN di Indonesia akan rendah," tutur Zaenur.

Oleh karena itu, Zaenur mendorong agar pemerintah memperbaiki aturan pelaksanaan LHKPN dengan mencantumkan sanksi administratif atau pidana bila tidak dilakukan. Sanksi tersebut bisa berupa bentuk materi atau penghapusan hak pejabat seperti tidak dapat tunjangan atau sulit dapat promosi. Jika memang aturan tidak bisa diubah secara utuh, maka setiap instansi bisa membuat aturan kewajiban LHKPN.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus juga menilai bahwa ketidakpatuhan pelaporan LHKPN karena para legislator merasa tidak ada tuntutan. Pada LHKPN 2019, para anggota DPR melaporkan karena tuntutan dan syarat pencalonan pemilu sehingga mereka hanya patuh di tahun politik.

"Jadi kondisi alamiah DPR memang tak patuh. Ketakpatuhan ini menjelaskan semangat umum DPR yang memang nyaris tak punya komitmen terkait pemberantasan korupsi," kata Lucius kepada Tirto, Kamis (19/8/2021).

Lucius menyebut, DPR memang konsisten untuk tidak pro dan komitmen dalam pemberantasan korupsi. Selain soal LHKPN, ia menyinggung soal revisi UU KPK hingga tidak ada upaya penyelesaian pelanggaran etik oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) terhadap Anggota DPR Azis Syamsudin dalam kasus suap.

"Maka jangan harap ada kepatuhan yang maksimal dari DPR untuk pelaporan LHKPN ini. Wong mereka ngga punya komitmen, bagaimana bisa sadar pentingnya melaporkan harta ke KPK?" kata Lucius.

Lucius pun menilai, praktik korupsi di parlemen sudah sistemik. Hal itu sudah mengakar dalam tata kelola parlemen yang memang tak menjadikan praktik-praktik untuk mencegah korupsi itu dibangun dengan baik.

Ketertutupan dan rendahnya akuntabilitas yang terus berulang dalam urusan pertanggungjawaban personal anggota atas uang dan kegiatan yang dilakukan, juga dalam proses pembuatan kebijakan yang cenderung tertutup, tidak partisipatif, dan buru-buru, kata Lucius.

Dalam pandangan Lucius, semua temuan tersebut adalah bukti bahwa iklim korupsi memang dirawat dengan baik di parlemen. Oleh karena itu, ia menilai "Jangan harap ada kepatuhan yang muncul dari sebuah kesadaran akan pentingnya LHKPN pada anggota DPR."

Menurut Lucius, penyelesaian komitmen pemberantasan korupsi bisa dilakukan di bawah koordinasi Pimpinan DPR untuk selalu mengingatkan tentang akan kewajiban mereka melaporkan harta kekayaan. Namun hal tersebut terlalu "kekanak-kanakan" bagi para anggota DPR.

"Walaupun mestinya kalau punya kesadaran, rasanya jika anggota melakukan sesuatu setelah diinstruksikan, mereka terkesan seperti anak kecil saja," kata Lucius.

Baca juga artikel terkait WAJIB LAPOR LHKPN atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz