Menuju konten utama

"Kepak Sayap Kebhinekaan" Tak Cukup "Selamatkan" Puan

PDIP menyebut baliho "Kepak Sayap Kebhinekan" bukan untuk kampanye 2024. Kalaupun untuk politik praktis, itu juga tak efektif.

Baliho Ketua DPR RI Puan Maharani. (ANTARA/Imam Prasetyo Nugroho/Rayyan/Sizuka)

tirto.id - Ada alasan mengapa sebagian majalah dinding (mading) di sekolah-sekolah dipasang di instalasi yang dibatasi kaca dan dikunci rapat. Tanpa pembatas, paling mujur muka kepala sekolah, jika kebetulan dipasang, bakal berakhir dengan bagian mata yang bolong karena dilubangi dengan pulpen oleh siswa iseng. Lebih sial kalau dicoret-coret sedemikan rupa. Sudah pasti itu foto tidak lagi layak terpampang CV.

Puan Maharani adalah semua kepala sekolah yang wajahnya pernah jadi bahan olok-olok tersebut. Sebagian orang berubah menjadi siswa iseng yang melihat baliho sebagai tempat menumpahkan “kreativitas”.

Di Surabaya, delapan baliho Puan dicoret dengan cat minyak. Isinya kata-kata yang tergolong tak senonoh. Ada juga yang menuliskan “PKI” serta ‘“koruptor” persis di bagian wajah. Di Blitar, terpampang kata “open BO” di baliho Puan. Istilah ini kerap berarti menyediakan jasa kencan berbayar. Baliho itu berada di depan kantor DPC PDIP, yang tidak lain partainya Puan.

Puan memang belakangan giat menyampaikan pesan melalui baliho atau poster. Salah satu yang pertama terdapat di harian Kompas dan JawaPos yang terbit Senin 12 Juli 2021. Di sana anak Megawati Sukarnoputri ini mengenakan pakaian adat dari Jambi dan memakai masker. Lalu tercetak tulisan berwarna merah--yang merupakan warna khas PDIP: “Jaga Iman, Jaga Imun, Insya Allah Aman, Aamiin...”

Baliho Puan kemudian bermunculan di banyak kota pada hari-hari berikutnya, termasuk Solo, Blitar, Semarang, Bandung, Surabaya, bahkan Depok, kota yang “dikuasai” oleh partai oposisi, PKS. Ada yang pesannya persis seperti di koran, ada juga yang baru: “Kepak Sayap Kebhinekaan”. Pesan terakhir ini, entah apa maknanya, banyak diolok-olok pengguna media sosial.

Menurut kader PDIP Bambang Wuryanto, pemasangan baliho Puan dibicarakan di rapat fraksi PDIP di DPR pada Juni lalu. Ketua DPD PDIP Jawa Tengah ini mengatakan baliho sebenarnya untuk kalangan “internal” alias dalam rangka menata barisan partai. Dalam rapat itu Puan setuju dengan rencana pemasangan baliho per 15 Juli hingga dua bulan ke depan. “Mbak Puan ketawa-ketawa saja,” katanya.

Dia juga membantah baliho digunakan untuk kepentingan Pemilu 2024, tapi tak membantah jika persepsi itu juga muncul. “Persepsi orang siapa yang [bisa] melarang?” katanya.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengatakan “sulit untuk menangkal baliho itu menjadi sarana kampanye politik 2024” sebab “mereka elite parpol, punya nafsu menjadi presiden 2024.” Selain itu, data dan peristiwa yang terjadi sebelum itu mendukung asumsi bahwa Puan butuh perhatian.

Survei dari kebanyakan lembaga survei untuk calon presiden 2024 selalu menempatkan nama Puan di urutan bawah. Dia bahkan kalah dari sesama kader PDIP, Ganjar Pranowo dan Tri Rismaharini.

Pada Mei lalu Puan bahkan secara implisit menyindir Ganjar dengan menyebut bahwa pemimpin itu adalah mereka yang ada di lapangan, “bukan ada di sosmed”. Ganjar memang rajin tampil di media sosial dengan pengikut yang tak bisa dibilang sedikit. Pernyataan tersebut disampaikan saat Puan memberikan materi untuk para kader, di mana Ganjar tak diundang karena dianggap kader “sok tahu.”

Sekadar Baliho Tidak Menjangkau Akar Rumput

Baliho nampaknya menjadi media andalan politikus mana pun untuk berkampanye, meski dicap sebagai “teroris visual yang [meng]ganggu kemerdekaan warga.” Hal ini tak terkecuali dilakukan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama saat Pilkada DKI Jakarta. Ketika itu Jokowi-Ahok (atau yang kini lebih suka disebut BTP) menghabiskan Rp2,6 miliar untuk spanduk dan poster-poster. Anggaran untuk pemasangan gambar muka mereka ini paling besar dibandingkan pos lain.

Pada 2014 lalu, seorang politikus dari Partai Demokrat Saan Mustopa mengatakan pemasangan gambar wajah di berbagai tempat adalah cara yang paling efektif dan efisien untuk menjangkau pemilih. Memang cara blusukan seperti yang Jokowi-BTP lakukan di Pilkada Jakarta 2012 bisa jadi alternatif, katanya, akan tetapi itu tak efektif. “Contoh, dapil saya ada 3 kabupaten, 70 kecamatan, dan hampir 100 desa. Kalau 1 hari 1 desa maka perlu 700 hari, enggak mungkin blusukan semua apalagi hanya menggunakan akhir pekan. Bagaimana bisa dikenal?”

Tidak heran kemudian KPU membatasi pemasangan baliho. Dalam Pilkada 2020, batasnya adalah lima untuk setiap calon di kabupaten/kota.

Muchamad Yulianto dalam penelitian berjudul “Evaluasi Alat Peraga Kampanye Pemilihan Umum di Era Demokrasi Elektoral” (2014) sependapat, bahwa banyak politikus memilih untuk memperbanyak alat peraga kampanye, termasuk baliho, ketimbang mengintensifkan pertemuan tatap muka dengan konstituen.

Masalahnya keberhasilan alat peraga kampanye menggiring perilaku pemilih itu meragukan. Menurut Yulianto, alat peraga kampanye hanya berpengaruh terhadap mereka yang berpendidikan tinggi. Bukan berarti langsung memilih, melainkan lebih tergerak mencari tahu siapa orang yang fotonya terpampang di alat peraga kampanye. Sementara bagi masyarakat kelas bawah, mereka tidak akan terpengaruh atau bahkan sadar politikus yang wajahnya ada di mana-mana itu sedang mengupayakan untuk memenangkan kompetisi. Apalagi, informasi yang bisa ditayangkan di media cetak itu terbatas.

Bukan berarti bagi masyarakat berpendidikan rendah blusukan lebih efektif. Poinnya adalah membantu, dan kadang blusukan pun tak menjawab masalah riil. Karenanya masyarakat berpendidikan kurang paling mudah justru terpancing dengan politik uang, kata Yulianto. Semestinya kedua hal tersebut berjalan beriringan.

Dia menyatakan: “Seharusnya alat peraga itu hadir setelah kandidat memberikan kontribusi bagi masyarakat atau hadir bersamaan, karena tanpa diimbangi hal tersebut, alat peraga hanya berfungsi sebagai perusak keindahan kota.”

Tak hanya di jalan-jalan, baliho di era digital seperti sekarang juga memungkinkan menjadi materi promosi di media sosial. Ismail Fahmi, peneliti Drone Emprit, alat yang dapat “membaca” apa yang terjadi di media sosial lewat percakapan para pengguna, sempat menguliti bagaimana olok-olok baliho meningkatkan popularitas Puan. Namanya sering muncul di media sosial bersama dengan Ganjar Pranowo.

Tren kata kunci “Puan” di media sosial pada awal Agustus sudah sebanding dengan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, terlepas dari sentimennya yang negatif.

“Dari popularitas, diharapkan nanti akan naik favorabilitasnya (sentimen positif-negatif), lalu dikapitalisasi jadi elektabilitas. Teorinya begitu. Kenyataan di lapangan bisa bermacam-macam faktor yang berpengaruh,” cuit Ismail.

Infografik Karier Politik Puan Maharani

Infografik Karier Politik Puan Maharani. tirto.id/Fuadi

Sejauh ini Puan hampir tidak pernah menembus angka 1% dalam survei elektabilitas calon presiden 2024. Tidak heran karena, seperti catatan Yulianto, masyarakat berpendidikan rendah lebih suka dengan pemimpin yang blusukan atau memakai politik uang ketimbang hanya memajang baliho. Sementara data 2020 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut pendidikan di Indonesia masih didominasi menengah-rendah dengan 90,51%, sedangkan mereka yang menyelesaikan pendidikan tinggi hanya 9,49%.

Selain itu, baliho seperti ini juga dianggap tidak etis menurut seorang pengamat, sebab marak di masa pandemi. “Uangnya bisa untuk penanganan Covid atau ditabung dan digunakan saat menjelang 2024.”

Namun, sekali lagi, politikus PDIP yang lain Arteria Dahlan menegaskan baliho Puan sejak awal memang bukan ditujukan untuk kepentingan elektoral. Dia mengklaim PDIP “sangat paham instrumen-instrumen untuk meningkatkan elektabilitas itu apa saja,” dan “pastinya bukan baliho.”

Masalahnya pengetahuan soal strategi tersebut tentu bakal terganjal rekam jejak digital, bukan hanya Puan tapi juga siapa pun yang pernah menjadi bahan olok-olok di media sosial. Pernah menjadi bahan meme bukan sesuatu yang bisa mendukung keberhasilan pada Pemilu 2024.

Bayangan soal perkiraan itu tersaji dalam survei Charta Politika yang dilakukan 12-20 Agustus 2021. Elektabilitas Puan--dan Airlangga Hartarto yang juga melakukan hal serupa--nyatanya hanya 1,4% dan 1%.

Baca juga artikel terkait PUAN MAHARANI atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino