Menuju konten utama

Kentot Harseno: Pangdam DKI yang Lebih Galak daripada Soeharto

Kentot Harseno adalah mantan ajudan presiden yang pernah jadi Pangdam Jaya. Kadang-kadang dia lebih galak pada musuh Soeharto daripada Soeharto sendiri.

Kentot Harseno: Pangdam DKI yang Lebih Galak daripada Soeharto
Kentot Harseno. tirto.id/Sabit

tirto.id - Pada 30 November 1990 Kaisar Akihito—yang baru saja turun takhta dua pekan lalu—berada di Jakarta. Dia sempat berziarah ke Taman Makam Pahlawan Kalibata. Di makam para pejuang itu, Kaisar Jepang, yang dianggap keturunan Dewa Matahari oleh rakyatnya, memberikan hormat dengan membungkuk. Akihito waktu itu didampingi Panglima Kodam Jakarta Raya (Jaya), Mayor Jenderal Kentot Harseno.

Kentot Harseno jadi bahan berita ketika dia melaporkan kepada Presiden Soeharto soal kebocoran keuangan di Departemen Perhubungan yang dipimpin Haryanto Danutirto. Jabatan Kentot kala itu adalah Inspektur Jenderal Pembangunan (Irjenbang). Laporan tersebut dianggap ngawur oleh sebagian pihak. Orang-orang Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) bahkan membela Haryanto. Laporan Kentot akhirnya mengendap.

“Seandainya laporan yang disampaikan kepada Presiden tidak didasari dengan bukti-bukti yang akurat, tak mungkin seorang pejabat seperti K. Harseno berani langsung menyampaikan laporan kepada Bapak Presiden,” kata Probosutedjo dalam Keimanan Guru Pengusaha (1997: 264). “Barangkali satu-satunya, dia adalah mantan Panglima yang memperoleh kepercayaan Presiden menjabat Irjenbang, berkantor di Binagraha.”

Kentot satu angkatan dengan mantan Pangab Jenderal Feisal Tanjung dan Kepala BIN Jenderal Zaini Azhar Maulani, yang lulus pada 1961 dari Akademi Militer Nasional (AMN) di Magelang. Di ABRI, Kentot punya NRP 18824. Dia memulai karier sebagai perwira di korps elite baret merah, seperti Feisal Tanjung.

Kentot dan pasukannya pernah ditempatkan di perbatasan dalam rangka Konfrontasi Dwikora melawan pembentukan negara Malaysia. Pada 1965, meski masih berpangkat letnan satu, dia menjadi komandan kompi RPKAD, hingga kompinya dikenal sebagai Kompi Kentot.

Menggerebek Musuh Soeharto

Setelah melewati pangkat kapten, mayor, dan letnan kolonel, Kentot kemudian ditarik ke ring dalam daripada Soeharto. Kentot pernah menjadi ajudan presiden dari 1978 hingga 1981. Pangkatnya kala itu adalah kolonel infanteri. Posisinya sebagai ajudan presiden kemudian digantikan Letnan Kolonel Soerjadi berdasarkan Keppres Nomor 36/M Tahun 1981 (PDF).

Soeharto adalah Angkatan 1945, seperti pembantu-pembantunya. Bahkan beberapa orang yang kritis padanya juga dari Angkatan 1945. Pada 1980 sekelompok pensiunan jenderal ditambah intelektual sipil yang disebut kelompok Petisi 50 mulai mengkritisi Soeharto. Sang jenderal dari Kemusuk ini tentu saja kesal. Anggota penandatangan petisi itu kemudian kena cekal dan hidup tidak nyaman, termasuk senior Soeharto bernama Abdul Haris Nasution.

Meski Soeharto memusuhi anggota Petisi 50, para pensiunan jenderal itu sulit disentuh langsung olehnya. Para pembantu Soeharto juga susah bertindak keras kepada mereka. Kentot Harseno, kala menjabat Pangdam Jaya pada awal 1990-an, termasuk orang yang mengalami kesulitan itu.

Dalam Pers Bertanya Bang Ali Menjawab (1995: 148), Ali Sadikin menyebut pada 1991 dirinya dan orang-orang Petisi 50 kena gerebek Mayor Jenderal Kentot Harseno, yang oleh para kolega jenderalnya disapa Seno.

“[...] waktu digrebek tahun 1991 oleh Seno,” kata Ali Sadikin, salah jenderal dari Angkatan 1945 dan salah satu tokoh penting Petisi 50. “Besoknya saya tanya Domo (Sudomo, ketika itu Menko Polkam), kenapa setelah 11 tahun tidak ada apa-apa.”

Laksamana Sudomo pada 1980-an dan 1990-an dikenal sebagai menteri dan di masa sebelumnya pernah menjabat Pangkopkamtib. Kepada kawan sesama perwira KKO itu, Sudomo malah bilang, "Oh, itu keliru.”

Kentot kemudian mengunjungi Ali Sadikin, yang pastinya jauh lebih senior. Dia datang dengan penuh hormat kepada laki-laki yang dimusuhi bosnya itu.

“Dia datang dengan sikap sempurna dan berpakaian seragam,” ingat Ali Sadikin.

Ketika itu Kentot mengatakan, "Jenderal, mohon maaf saya belum sempat bertemu."

Ali Sadikin pun akhirnya tidak merasa punya masalah dengan Kentot dan menghargai sikapnya yang mau minta maaf itu. “Ya, sudah selesai, saya tidak ada pikiran apa-apa terhadap Seno,” kata Ali.

Infografik Letnan Jenderal Kentot Harseno

undefined

Galak pada LBH

Kegalakan Kentot kepada orang yang kritis terhadap Soeharto tak hanya ditujukan untuk Petisi 50, tapi juga pada beberap kelompok lain. Salah satu sasaran kegalakan Kentot adalah Lembaga Bantuan Hukum (LBH)/Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Lembaga ini memberikan jasa sebagai pengacara bagi orang-orang yang jadi korban kesewenang-wenangan penguasa.

"Kentot Harseno," tulis Adnan Buyung Nasution dalam Pergulatan Tanpa Henti - Volume 3 (2004), "membikin estimate intel yang mengatakan LBH/YLBHI itu subversif."

Buyung tentu saja bertanya-tanya pada tuduhan yang mencemarkan nama baik LBH layaknya pengkhianat bangsa. “Kok bisa-bisanya Kentot mengatakan begitu? Dari mana buktinya?” (hlm. 430).

Posisi Pangdam Jaya dijabat Mayor Jenderal Kentot Harseno sejak 1989. Pengganti Kentot sebagai Pangdam Jaya adalah Mayor Jenderal A.M. Hendropriyono. Sebelumnya, ketika masih brigadir jenderal, Kentot dipercaya sebagai Komandan Garnizun 1 (Jakarta-Raya).

Karier Kentot ada kemiripan dengan Letnan Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin, ajudan Soeharto sejak 1995. Pada 1998 Sjafrie juga menjadi Pangdam Jaya dan sebelumnya menjabat Komandan Garnizun 1.

Di masa pensiun Kentot merilis buku motivasi yang isinya mengajak kepada kedamaian. Buku itu berjudul Kembali Kepada Hati Nurani (2002). Dalam buku tersebut dia tampak seperti Buddha Gautama yang mengajarkan kebajikan. Kebetulan Kentot adalah jenderal kelahiran Temanggung, daerah yang memiliki komunitas Buddha di Jawa Tengah.

Dan jejak Kentot Harseno sebagai Pangdam galak pun terlupakan.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan