Menuju konten utama

Kenapa RUU Cipta Kerja Ditolak dan Rencana Demo Omnibus Law

Alasan mengapa RUU Cipta Kerja ditolak dan rencana demo tolak Omnibus Law.

Kenapa RUU Cipta Kerja Ditolak dan Rencana Demo Omnibus Law
Polisi mengenakan masker dan pakaian hazmat saat mengamankan unjuk rasa penolakan buruh terhadap 'omnibus law' Rancangan Undang-Undangan (RUU) Cipta Kerja di depan kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (30/9/2020). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra.

tirto.id - Jadwal pengesahan RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law dijadwalkan pada saat Sidang Paripurna DPR RI, Kamis (8/10/2020). Hal tersebut diputuskan seusai Rapat Kerja Badan Legislasi (Baleg) DPR RI bersama pemerintah dan DPD RI, Sabtu (3/10/2020) malam.

Baleg menyetujui Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (RUU Ciptaker) dibawa ke Rapat Paripurna DPR untuk disetujui menjadi undang-undang.

Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Hinca Pandjaitan mengatakan fraksinya, Demokrat, menolak RUU Ciptaker disetujui menjadi UU karena banyak hal yang harus dibahas kembali secara mendalam dan komprehensif.

Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) juga menolak penetapan RUU Cipta Kerja Omnibus Law pada pengambilan keputusan tingkat I, Sabtu malam.

FPKS menyebut substansi pengaturan yang terdapat dalam RUU Ciptaker memiliki implikasi yang luas terhadap praktik kenegaraan dan pemerintahan di Indonesia.

RUU Cipta Kerja Omnibus Law juga ditolak oleh jutaan buruh di Indonesia karena dianggap akan merugikan para buruh.

Rencana Demo Omnibus Law

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengatakan unjuk rasa buruh untuk menolak RUU Omnibus Law Cipta Kerja akan digelar di lingkungan perusahaan/pabrik masing-masing secara serentak di seluruh Indonesia, yang melibatkan sekitar 2 juta buruh.

"Jadi sebenarnya ini unjuk rasa, bukan mogok kerja, akan dilakukan serempak di seluruh Indonesia, dengan dasar hukumnya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang menyampaikan pendapat di muka umum," kata Presiden KSPI Said Iqbal, seperti dikutip Antara News, Sabtu (3/10/2020).

Said Iqbal mengatakan aksi unjuk rasa atau mogok nasional itu akan diadakan di masing-masing lokasi perusahaan/pabrik tempat para buruh bekerja pada 6-8 Oktober dari pukul 06.00-18.00 WIB.

Aksi dilakukan sebagai bentuk protes atas rencana pengesahan RUU Cipta Kerja yang dinilai merugikan kaum buruh dan diadakan di lingkungan kerja masing-masing, sebagai upaya untuk menghindari penyebaran penularan wabah COVID-19.

Serikat kerja di tingkat perusahaan, katanya, sudah mengirimkan surat izin kepada kepolisian resor (polres) masing-masing daerah, sementara serikat kerja di tingkat nasional juga telah mengirimkan izin untuk berunjuk rasa di lingkungan perusahaan/pabrik masing-masing kepada Mabes Polri.

Dengan menggelar unjuk rasa dari pukul 06.00 - 18.00 WIB, kata dia, berarti tingkat produksi kerja akan secara langsung terkena dampak dari aksi mogok nasional yang akan digelar secara serentak tersebut.

"Produksi akan setop karena dia unjuk rasanya dari jam 06.00 WIB pagi sampai jam 18.00 WIB sore. Dan lokasinya itu adalah masih di lingkungan pabrik, di halaman pabrik, di kantin, di halaman parkir mobil, dan area lain," katanya.

Said mengatakan unjuk rasa pada 6-8 Oktober tersebut akan melibatkan sekitar 2 juta buruh di 150 kabupaten/kota yang berada di 20 provinsi seluruh Indonesia, antara lain di DKI Jakarta seluruhnya, di Banten ada dari Kota dan Kabupaten Tangerang, Tangerang Selatan, Serang dan Cilegon.

Di Jawa Barat (Jabar) melibatkan para buruh dari Bogor, Depok, Bekasi, Karawang, Purwakarta, Subang, Cirebon, Bandung dan Cimahi.

Dari Jawa Tengah ada buruh yang ikut unjuk rasa dari Semarang, Kendal, Jepara dan di Jawa Timur ada dari Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, Pasuruan, Gresik.

Untuk wilayah Sumatera, ada dari Sumatera Utara, Medan, Deliserdang, Serdang Bedagai. Di Kepulauan Riau ada kaum buruh dari Batam, Bintan, Karimun dan masih banyak lagi lainnya.

Sementara itu, tuntutan utama dalam unjuk rasa tersebut ada 10 poin, antara lain tentang:

1. Pemutusan hubungan kerja (PHK).

2. Sanksi pidana.

3. Tenaga kerja asing (TKA).

4. Upah minimum kota/kabupaten (UMK).

5. Upah Minimum Sektoral Kota/Kabupaten (UMSK).

6. Pesangon.

7. Waktu kerja.

8. Hak upah atas cuti atau cuti yang hilang.

9. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau karyawan kontrak seumur hidup, "outsourcing" atau alih daya seumur hidup.

10. Potensi hilangnya jaminan kesehatan dan jaminan pensiun akibat karyawan kontrak atau alih daya seumur hidup.

Dari 10 poin tuntutan tersebut, Panitia Kerja (Panja) Badan Legislasi (Baleg) DPR, kata Said, memang menyepakati agar tiga isu, yaitu isu tentang PHK, sanksi dan TKA, dapat kembali kepada ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.

Namun demikian, menurut Said, tujuh isu lainnya juga sangat penting karena menyangkut kesejahteraan dan upah para buruh.

"Apa itu yang masih dituntut? Meminta UMK dan UMSK jangan hilang. Jadi kembali ke Undang-Undang Nomor 13/2013 tentang Ketenagakerjaan, UMK dan UMSK jangan hilang," katanya.

Pada ketentuan terkait UMK dan UMSK tersebut, pemerintah dan DPR, kata Said, menetapkan harus bersyarat. Sementara, serikat kerja menuntut agar ketentuan terkait UMK dan UMSK itu tidak bersyarat.

"Kita enggak setuju. Syarat apa maksudnya? Kita kan enggak jelas. Jadi (seharusnya) UMK tidak bersyarat dan UMSK tidak hilang," katanya.

Kemudian, para buruh juga menuntut agar pesangon tidak dikurangi, selain mereka juga tidak setuju adanya ketentuan tentang karyawan kontrak dan tenaga alih daya seumur hidup tanpa ada batas waktu.

"Nah, hal-hal lain adalah tentang cuti atau cuti bagi pekerja perempuan khususnya, kemudian juga kita minta jangan ada yang hilang jaminan sosial buat karyawan kontrak dan 'outsourcing'. Kemudian, jangan ada juga waktu kerja yang eksploitatif karena itu adalah salah satu bentuk perbudakan," ujar Said Iqbal.

RUU Cipta Kerja Dinilai Ancam Hak Asasi Manusia

Menurut keterangan pers dari Amnesty Internasional pada Agustus 2020, Pemerintah dan DPR RI harus mengkaji ulang serta merevisi sejumlah pasal bermasalah dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja.

Amnesty menilai RUU Ciptaker, baik proses legislatif maupun substansi-nya, berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM) dan bertentangan dengan kewajiban internasional Indonesia untuk melindungi HAM, terutama menyangkut hak untuk bekerja dan hak di tempat kerja.

“RUU Cipta Kerja berisi pasal-pasal yang dapat mengancam hak setiap orang untuk mendapatkan kondisi kerja yang adil dan menyenangkan, serta bertentangan dengan prinsip non-retrogresi dalam hukum internasional,” kata Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia.

“Pasal-pasal tersebut berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM, karena akan memberikan lebih banyak ruang bagi perusahaan dan korporasi untuk mengeksploitasi tenaga kerja. Jika disahkan, RUU ini bisa membahayakan hak-hak pekerja,” tambah Usman.

RUU Ciptaker akan merevisi 79 undang-undang yang dianggap dapat menghambat investasi, termasuk tiga undang-undang terkait ketenagakerjaan: UU Ketenagakerjaan, UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional.

Dalam RUU Ciptaker, undang-undang tersebut akan disusun ulang menjadi 11 klaster yang terdiri dari 1.244 pasal. Pemerintah selalu berdalih bahwa RUU Ciptaker bertujuan untuk meningkatkan investasi dan mempermudah bisnis. Namun, Amnesty meyakini RUU ini justru akan melemahkan perlindungan hak-hak pekerja.

Amnesty berpendapat, secara substansi, RUU Ciptaker tidak sesuai dengan standar HAM internasional. RUU tersebut dapat merampas hak pekerja atas kondisi kerja yang adil dan menyenangkan yang dijamin dalam Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR).

Kondisi tersebut termasuk upah yang adil, upah yang sama untuk beban kerja yang sama, lingkungan kerja yang aman dan sehat, pembatasan jam kerja yang wajar, perlindungan bagi pekerja selama dan setelah masa kehamilan, dan persamaan perlakuan dalam lingkungan kerja.

Dalam RUU Ciptaker, tingkat inflasi tidak lagi menjadi pertimbangan dalam menetapkan upah minimum. RUU ini juga akan menghapus Upah Minimum Kota atau Kabupaten (UMK). Hal ini dapat menyebabkan pengenaan upah minimum yang dipukul rata di semua kota dan kabupaten, terlepas dari perbedaan biaya hidup setiap daerah.

“Penghapusan inflasi dan biaya hidup sebagai kriteria penetapan upah minimum akan melemahkan standar upah minimum di provinsi dengan pertumbuhan ekonomi mendekati nol atau negatif, seperti Papua.”

“Ketentuan ini otomatis akan menurunkan tingkat upah minimum. Konsekuensinya, banyak pekerja yang tidak lagi cukup untuk menutupi biaya hidup harian mereka. Hak mereka atas standar hidup yang layak akan terdampak. Situasi ini bertentangan dengan standar HAM internasional,” kata Usman.

RUU Cipta Kerja juga akan menghapuskan batas waktu maksimal untuk pekerja kontrak serta aturan yang mewajibkan sistem pengangkatan otomatis dari pekerja kontrak sementara ke status pegawai tetap.

Ketentuan baru ini akan memberikan kekuasaan pada pengusaha untuk mempertahankan status pekerja kontrak sementara untuk jangka waktu tak terbatas.

Perusahaan tidak lagi berkewajiban mengangkat pekerja kontrak menjadi pegawai tetap. Aturan seperti ini berpotensi menyebabkan perlakuan tidak adil bagi para pekerja karena mereka akan terus-menerus menjadi pegawai tidak tetap, sehingga seterusnya mereka tidak mendapat perlindungan yang memadai, termasuk pensiun, cuti tahunan selama 12 hari (untuk pekerja sementara yang bekerja di bawah satu tahun), dan kompensasi untuk pemutusan hubungan kerja.

Ini merupakan kemunduran dari undang-undang yang ada dan, lagi-lagi, bertentangan dengan standar HAM internasional.

Di pasal lain, ada pula ketentuan yang dapat membuat pekerja untuk bekerja lebih lama, dengan meningkatkan batas waktu lembur dari dari tiga jam per hari seperti yang ditetapkan oleh UU Ketenagakerjaan, menjadi empat jam per hari, serta dari 14 jam menjadi 18 jam per minggu.

Tidak hanya itu, RUU ini juga mengatur bahwa untuk sektor tertentu, perusahaan akan diberikan keleluasaan untuk membuat skema sendiri terkait penghitungan besaran kompensasi lembur.

“Keleluasaan yang diberikan kepada perusahaan dalam menentukan skema penghitungan dapat merugikan pekerja di sektor tertentu karena mereka bisa saja diharuskan bekerja lebih lama dan menerima upah lembur yang lebih rendah dibandingkan dengan pekerja dari sektor lain,” kata Usman.

Selain itu, RUU Cipta Kerja juga dinilai merugikan pekerja karena menghapus beberapa bentuk cuti berbayar, termasuk cuti haid, cuti pribadi (seperti pernikahan, sunat, pembaptisan, atau kematian anggota keluarga), cuti melahirkan, dan hari raya keagamaan. Selama ini, jenis-jenis cuti tersebut merupakan cuti tambahan di luar jatah cuti tahunan 12 hari.

“Pemerintah dan DPR harus segera mengkaji ulang pasal-pasal dalam RUU Cipta Kerja yang berpotensi melanggar HAM. Pemerintah harus memastikan bahwa hak-hak pekerja dilindungi, sejalan dengan hukum nasional dan standar HAM internasional,” ujar Usman.

Sementara dalam prosesnya, penyusunan Omnibus Ciptaker tidak terbuka dan tidak transparan. Pemerintah mengklaim telah melibatkan 14 serikat pekerja sebagai bagian dari proses konsultasi publik. Namun, seluruh serikat pekerja tersebut membantah klaim pemerintah dan menyatakan bahwa mereka tidak pernah dilibatkan sejak awal proses penyusunan.

Ini berarti tidak ada interaksi yang jujur dan terbuka ​​antara otoritas pemerintah dan kelompok masyarakat terkait penyusunannya.

“Seharusnya para serikat pekerja dilibatkan dalam proses penyusunannya sejak awal, karena anggota merekalah yang akan terdampak langsung oleh RUU tersebut. Setiap warga negara memiliki hak untuk berpartisipasi dalam urusan publik, dan itu dijamin dalam Pasal 25 Kovenan Internasional tentang Hak‑Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Suara dan aspirasi kelompok buruh dan pekerja harusnya menjadi pertimbangan utama pemerintah dan DPR,” pungkas Usman.

Baca juga artikel terkait OMNIBUS LAW atau tulisan lainnya dari Dipna Videlia Putsanra

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Agung DH