Menuju konten utama

Kenapa Penghentian Kasus Rizieq & Sukmawati Hampir Bersamaan?

Komisioner Kompolnas menyarankan agar pihak yang tak setuju dengan SP3 kasus Rizieq dan Sukmawati melakukan gugatan praperadilan.

Kenapa Penghentian Kasus Rizieq & Sukmawati Hampir Bersamaan?
Pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab saat mengikuti di Gedung Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Selasa (28/2). ANTARA FOTO/Pool/Ramdani.

tirto.id - Surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dugaan kasus chat berkonten pornografi yang menyeret nama Rizieq Shihab memunculkan spekulasi baru sejak Rizieq ditetapkan sebagai tersangka pada 29 Mei 2017. Ini karena setelah pengumuman adanya SP3, polisi juga mengumumkan menghentikan kasus dugaan penistaan agama oleh Sukmawati Soekarnoputri. Pengumuman penghentian kedua kasus ini hampir bersamaan, yaitu sesudah momen perayaan Hari Raya Lebaran.

Karo Penmas Mabes Polri Brigjen Pol Mohammad Iqbal mengatakan, kasus Sukmawati dihentikan karena tidak ditemukan unsur pidana. Dalam puisi berjudul 'Ibu Indonesia' yang ia bacakan di acara peringatan 29 tahun Anne Avantie, Sukmawati dianggap tidak menistakan agama Islam.

“Tidak ditemukan perbuatan melawan hukum atau perbuatan pidana, sehingga perkara tersebut tidak dapat dinaikkan atau ditingkatkan ke tahap penyelidikan,” kata Iqbal kepada Tirto, Minggu (17/6/2018).

Menurut Iqbal, pemeriksaan terhadap kasus pidana ini sudah dilakukan sesuai prosedur hukum yang berlaku. Dari 30 laporan yang masuk, polisi telah mendengar 28 keterangan pelapor dan satu yang termasuk saksi. Polisi juga sudah meminta keterangan dari para saksi ahli.

"Penyelidik telah mendengar keterangan ahli sebanyak empat orang. Rinciannya adalah satu ahli bahasa, satu ahli sastra, satu ahli agama, dan satu ahli pidana," katanya.

Sementara itu, dalam kasus Rizieq, polisi beralasan karena pertimbangan penyidik, dan permintaan tim pengacara. Kasus tersebut dihentikan karena menurut penyidik, belum ditemukan pihak yang mengunggah konten tersebut.

Sugito Atmo Prawiro, Ketua Tim Pengacara Rizieq Shihab mengkhawatirkan isu-isu yang berkembang di publik terkait pemberian SP3 untuk kasus Sukmawati yang hampir berbarengan dengan kliennya.

Di media sosial, kata Sugito, ada pihak yang menyebutkan penerbitan SP3 terhadap Rizieq adalah upaya "tukar guling" antara kasus Rizieq dengan Sukmawati. Selain itu, ada juga yang menduga bila SP3 tersebut bermotif politik jelang Pilpres 2019.

Sugito menuturkan, apapun alasan pemberian SP3 itu, seharusnya polisi bersikap objektif dalam menetapkan tersangka serta melakukan penyidikan. Jika tidak, publik akan menganggap bahwa kasus tersebut diada-adakan semata untuk kepentingan penguasa dan penuh dengan rekayasa.

Dalam kasus chat mesum yang menimpa kliennya, misalnya, Sugito melihat ada ketidakobjektifan polisi dalam melakukan gelar perkara. Alasannya sederhana: bukti-bukti dan saksi tidak cukup kuat, tapi SP3 tak kunjung dikeluarkan.

“Kami mengajukan permohonan SP3, dua kali waktu awal-awal penetapan tersangka karena bukti dan saksi tidak kuat. Bahkan peng-upload (rekaman) chat pun itu tidak bisa diketahui," tuturnya saat dihubungi Tirto, Senin (18/6/2018).

Sebaliknya, pemberian SP3 untuk Sukmawati, menurut Sugito, dipenuhi kejanggalan sebab alat bukti yang dimiliki polisi seharusnya sudah cukup. "Karena sepengetahuan saya statement (Sukmawati) itu juga resmi dan ia mengakui dan dia meminta maaf atas puisinya. Meminta maaf, kan, itu alat bukti juga,” kata Sugito.

Direktur Lembaga Kajian Strategi Kepolisian Indonesia (Lemkapi), Edi Hasibuan menyampaikan, penetapan tersangka Rizieq dalam kasus chat berkonten pornografi memang seharusnya sudah lama di-SP3. Sebab, kata dia, polisi tak kunjung menemukan dan tak memiliki bukti awal yang cukup kuat.

Menurut Edi, dalam memproses sebuah perkara, polisi harus berpegang pada ketentuan yang diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 12 tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian. Jika polisi menemukan bukti cukup kuat dengan didukung oleh keterangan saksi, maka perkaranya tetap harus dilanjutkan. Sebaliknya, jika bukti-bukti itu dianggap belum cukup, maka SP3 harus diputuskan dalam gelar perkara kepolisian.

"Kalau ini, kan, polisi tidak tahu siapa yang meng-upload chat mesum itu dan tidak punya cukup bukti untuk melanjutkan [penyidikan]. Polisi harusnya terbuka dan mengakui masih ada yang kurang dalam kasus ini. Harusnya Polri juga terbuka dikoreksi,” katanya.

Dosen Hukum Pidana Universitas Dirgantara Suryadarma itu juga menyampaikan bahwa polisi seharusnya menerima masukan dari para ahli serta pengacara tersangka. Jika kasus tersebut dirasa masih terlalu dangkal sehingga tak bisa dilanjutkan. Menurutnya "polisi juga harus siap dikoreksi, termasuk permintaan pengacara untuk penghentian kasus."

Edi menekankan, hal yang sama seharusnya juga dilakukan dalam kasus yang menjerat Sukmawati. Dalam gelar perkara, kata dia, biasanya akan ada keterangan dari para saksi dan ahli-ahli yang berkaitan dengan kasus tersebut.

“Penetapan SP3 itu harus sesuai aturan hukum. Dalam hukum kasus itu juga tidak bisa dihentikan karena tekanan atau perintah pihak manapun. Sepenuhnya harus kewenangan penyidik,” kata dia.

Respons Kompolnas

Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Andrea H Poeloengan mengimbau agar publik tak terjebak pada persepsi politis atas terbitnya SP3 dua kasus tersebut. Ia menilai, prosedur yang dijalankan kepolisian dalam gelar perkara kasus keduanya telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

"Karena ini, kan, permasalahan hukum dan diatur dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), hak penyidik untuk menghentikan penyidikan," ujar Andrea saat dihubungi Tirto.

Andrea juga meyakini bahwa proses penyidikan dalam kedua perkara tersebut berbeda meski keputusan SP3-nya keluar hampir berbarengan. “Menghentikan penyidikan itu, kan, ada prosesnya. Mau kapan dihentikan juga tergantung dari prosesnya,” kata Andrea.

Andrea menyarankan agar pihak yang tak setuju dengan SP3 kasus tersebut melakukan gugatan praperadilan. Sebab, ucap Andrea, hal itu diatur dalam Pasal 80 KUHAP.

Bunyinya: "permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada Ketua PN dengan menyebutkan alasannya."

"Jika ada yang ingin mengetahui apa, kenapa, bagaimana penghentian penyidikan, maka harus dibuka melalui gugatan praperadilan yang sidangnya terbuka untuk umum. Tidak bisa hanya berdasarkan 'asumsi' atau 'rasa'," kata Andrea.

Baca juga artikel terkait KASUS RIZIEQ SHIHAB atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Hukum
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz