Menuju konten utama

Kenapa Pemilik Mobil Masih Enggan Pakai Pertamax?

Meski konsumen mengetahui jika pertamax lebih baik, tapi mereka masih memilih pertalite atau premium.

Kenapa Pemilik Mobil Masih Enggan Pakai Pertamax?
Pengendara motor mengisi bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi jenis Pertalite di SPBU daerah Jakarta Pusat, Senin (9/4/2018). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

tirto.id - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno mengajak masyarakat untuk menggunakan bahan bakar minyak (BBM) jenis pertamax. Ia menilai kandungan oktan yang dimiliki BBM non-subsidi itu lebih ramah lingkungan.

“Pertamax oktannya lebih baik. Kalau bisa kita semuanya menggunakan pertamax karena sudah ramah lingkungan,” kata Menteri Rini, di Tangerang, Banten, seperti dikutip Antara, Minggu (9/12/2018).

Pernyataan Rini memang ada benarnya. Sebab, Pertamax merupakan bahan bakar bensin dengan angka oktan minimal 92 berstandar international. Semantara BBM jenis pertalite hanya beroktan 90, dan premium (88).

Dalam standar BBM, besaran oktan menunjukkan seberapa baik bahan bakar mencegah ketukan pada proses pembakaran bensin. Semakin tinggi nilai oktannya, maka ketukan akan lebih jarang terjadi sehingga mesin lebih awet.

Selain itu, angka oktan juga dinilai berkorelasi dengan emisi gas buang berupa HC dan CO yang dinilai memiliki risiko kesehatan. Muhammad Luthfi dan kawan-kawan dalam Jurnal Teknologi menyebutkan bahwa emisi HC, CO pada BBM jenis pertalite cenderung lebih rendah dibanding premium.

Hal tersebut menunjukkan, semakin tinggi nilai oktan yang terkandung dalam BBM itu, maka emisi HC dan CO yang dihasilkan pun turut berkurang.

Namun sebagai konsekuensinya, semakin tinggi nilai oktan suatu BBM, maka akan semakin tinggi juga harga jualnya. Harga pertamax sebagai BBM non-subsidi per 3 Desember 2018, misalnya, dibandrol Rp10.400 per liter. Sedangkan pertalite dan premium masing-masing harganya adalah Rp7.800 per liter dan Rp6.550 per liter untuk wilayah Jawa, Madura, dan Bali.

Natan Julius (23 tahun) yang memiliki 1 unit mobil tipe Avanza dan motor tipe Supra X mengaku biasa menggunakan bensin jenis pertalite.

Ia mengakui jika pertamax memang lebih baik untuk mesin, tetapi karena intensitas penggunaan mobil yang jarang membuatnya tidak khawatir tetap mengonsumsi pertalite.

Sementara untuk motornya, kata Natan, dirinya sempat memakai BBM jenis pertamax. Namun, seiring dengan harga BBM non-subsidi itu naik menjadi Rp10.400 per liter, ia memutuskan tidak lagi menggunakan bensin dengan RON 90 itu.

“Kalau dibandingkan pertalite yang harganya Rp7.600 per liter waktu itu, ya mendingan [pakai] pertamax lah. Tapi sekarang pakainya sudah pertalite lagi saat harga [pertamax] sudah Rp10.000-an per liter,” kata Natan.

Hal senada diungkapkan Erlangga Prawibowo (24 tahun) yang memiliki dua motor Honda tipe Supra X dan 1 mobil. Ia mengaku dirinya hanya menggunakan pertalite, terutama untuk kendaraan roda dua miliknya itu.

Menurut Erlangga, biarpun pertamax lebih baik, tapi bahan bakar tersebut tidak cukup mampu meningkatkan performa motor keluaran tahun 2006 itu. Disamping itu, ia juga menyoroti adanya perbedaan harga yang cukup lumayan, terlebih penggunaanya hanya untuk antar jemput.

“Kalau dikasih pertamax performanya enggak ada bedanya juga. Kompresi bensinnya kecil, jadi pakai pertalite juga cukup,” kata Erlangga.

Berbeda dengan Al'fonso Aleksander (22 tahun) yang kini selalu menggunakan pertamax untuk motor bertipe CB 150 R. Alasannya, kata Al'fonso, angka oktan yang lebih ideal akan membuat mesin lebih awet.

Al'fonso juga mengaku tidak terlalu keberatan dengan harga jual pertamax yang dinilai tinggi bagi kebanyakan orang. “Motor kopling minum premium atau pertalite, ya batuk-batuk nanti. Pakai pertamax untuk kesehatan mesin saja,” kata Al'fonso.

Menanggapi hal ini, Sekretaris Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Suyatno menilai karena ketidakkonsistenan pemerintah dalam mendistribusikan BBM beroktan rendah.

Menurut Agus, semestinya BBM dengan oktan rendah itu hanya diperuntukkan bagi daerah terpencil. Namun faktanya di sejumlah kota besar, BBM dengan oktan rendah masih banyak dijual.

“Kebijakan distribusi BBM bersubsidi dan oktan rendah harusnya hanya terdistribusi di daerah remote, minim infrastruktur seperti SPBU, bukan malah beredar di kota-kota besar,” kata Agus.

Selain itu, Agus juga menganggap langkah tersebut tidak sejalan dengan target pemerintah yang ingin mengurangi emisi karbon hingga 26 persen pada 2030. Belum lagi seluruh BBM yang diperdagangkan hari ini masih memiliki standar di bawah Euro 4 (nilai oktan 95).

Karena itu, Agus menganggap pemerintah tidak lagi cukup hanya mengimbau. Pembenahan pun perlu dilakukan bagi distribusi BBM dan pengaturan harga BBM beroktan tinggi yang menjadi peran pemerintah.

Kendati demikian, Agus membenarkan jika pemerintah telah mengupayakan adanya jalan tengah melalui penyaluran BBM jenis pertalite.

“Tetapi dalam jangka pendek saat ini, pertalite masih dianggap sebagai jalan tengah antara pertamax dan premium,” kata Agus.

Baca juga artikel terkait BBM atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz