Menuju konten utama

Kenapa Kristen Evangelis AS Dukung Trump yang Justru Tidak Saleh?

Kendati jauh dari standar moralitas Kristen, Donald Trump terus mendapat dukungan dari Kristen Evangelis.

Kenapa Kristen Evangelis AS Dukung Trump yang Justru Tidak Saleh?
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memberikan pernyataan setelah langkah-langkah untuk menghentikan penutupan pemerintah AS sebagian yang diajukannya gagal mendapatkan persetujuan Senat, di Ruang Kabinet Gedung Putih di Washington, AS, Kamis (24/2/2019). ANTARA FOTO/REUTERS/Kevin Lamarque

tirto.id - "Orang-orang Evangelis yang tidak memilih Trump adalah orang bodoh. Mereka benar-benar orang bodoh yang tidak memiliki pendirian dan tidak dapat mengakui bahwa dirinya salah," ujar Robert Jeffress di radio Fox News yang dipandu oleh penyiar Todd Starnes, pada Rabu (13/3).

Jeffress adalah seorang pendeta Evangelis dari Gereja First Baptist, Dallas, Amerika Serikat, yang cukup tersohor. Dalam bincang-bincang di radio pekan lalu, Jeffress blak-blakan menyatakan dukungannya dan tidak sungkan mengajak jemaatnya untuk menyokong Presiden Donald Trump yang menurutnya sedang memperjuangkan nilai-nilai khas Kristen Evangelis.

“Ini masalah hidup dan mati. Ini sangat hitam dan putih, kebaikan versus kejahatan." Bagi Jeffress, memilih Trump adalah harga mati.

Tak hanya Jeffress yang mengambil sikap demikian. Pemuka agama Kristen Evangelis lainnya seperti Jerry Falwell, Jr. yang menjabat penasihat Trump menempatkan junjungannya sebagai "presiden impian". Franklin Graham, CEO Billy Graham Evangelistic Association, dalam unggahannya di Facebook mengatakan Trump terpilih sebagai presiden berkat campur tangan Tuhan.

Sebagian besar penganut Kristen Evangelis AS memang sangat mengidolakan sosok Donald Trump. Saat Pilpres AS 2016, exit poll yang dilakukan Washington Post menunjukkan 80 persen Evangelis kulit putih memilih Trump sebagai presiden. Ini merupakan suara dukungan Kristen Evangelis terbesar dalam dua dekade terakhir. Dukungan Evangelis ke lawan Trump, Hillary Clinton dari Partai Demokrat, hanya sekitar 16 persen.

Sebagaimana yang dikatakan Jonathan Wilson-Hartgrove, penulis buku Reconstructing the Gospel: Finding Freedom from Slaveholder Religion (2018), klaim-klaim para pengkhotbah Evangelis pemuja Trump memang bisa bikin orang-orang non-Evangelis geleng-geleng kepala. "Kok bisa para pendeta Kristen mendamaikan Yesus yang mengatakan "cintai musuhmu" dengan seorang Presiden yang kebijakannya justru menyerang balik semua pengkritiknya?" tulis Hartgrove di Time.

Keheranan Hartgrove sangat bisa dipahami. Trump adalah sosok kontroversial. Kebijakannya kerap memancing kritik tajam. Ia memberlakukan larangan warga Muslim masuk AS, memisahkan anak imigran dari orangtuanya, menyerang program layanan kesehatan universal warisan Obama, berwatak megalomania, dan banyak lagi.

Jika memakai ukuran kesalehan Kristen, Trump jelas tidak saleh. Ia bahkan punya riwayat melecehkan banyak perempuan. Tahun lalu, skandal seksnya dengan bintang porno Stormy Daniel terbongkar. Namun, kenyataannya, ia tetap didukung oleh kelompok agama konservatif.

Trump lahir dan besar di Queens, New York. Namun, laporan MJ Lee untuk CNN pada 2017 menyebutkan Trump tidak terdaftar sebagai anggota jemaat gereja mana pun. Trump sendiri juga tidak dibesarkan dari lingkungan gereja Evangelis, melainkan di lingkungan Presbisterian, sebuah aliran Protestan arus utama.

Ironisnya, berdasarkan The Cook Political Report 2018, 68 persen wanita Evangelis kulit putih AS tanpa gelar sarjana mendukung Trump selama menjabat presiden. Sedangkan dukungan perempuan Evangelis yang bergelar sarjana kepada Trump sebesar 51 persen. Selama dua tahun lebih Trump berkuasa, sebanyak 69 persen Evangelis kulit putih masih mendukung cara kepemimpinan Trump, merujuk survei Pew Research Center yang dilakukan pada Januari 2019.

Mengapa Terus Mendukung Trump?

Dukungan Kristen Evangelis berkaitan erat dengan sejarah nilai-nilai masyarakat Evangelis Amerika itu sendiri. John Fea, sejarawan agama Amerika dari Messiah College sekaligus penulis buku Believe Me: The Evangelical Road to Donald Trump (2018), menyebutkan bahwa kultur Evangelis kulit putih mengidap ketakutan yang amat besar. Mereka takut pada imigran, takut sekularisme, takut akan modernisasi.

Dalam wawancaranya dengan Tara Isabella Burton dari Vox, Fea menjelaskan sejarah singkat terbentuknya nilai-nilai masyarakat Evangelis kulit putih kontemporer yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah Amerika abad ke-19.

Pada awal abad ke-19, kaum Evangelis kulit putih di negara-negara bagian Selatan yang pro-perbudakan merasa terusik oleh kaum Evangelis di Utara yang ingin menghapus praktik perbudakan. Namun, setelah Perang Sipil (1861-1865) usai dan perbudakan dihapus, giliran Evangelis Utara yang khawatir akan kedatangan imigran Irlandia yang Katolik. Ketakutan yang sama muncul ketika orang Italia dan Yahudi berdatangan ke Paman Sam pada awal abad ke-20.

Kristin Kobes Du Mez, profesor Studi Sejarah dan Gender dari Calvin College, menjelaskan bahwa pada era Perang Dingin, kelompok Evangelis ikut mempropagandakan anti-komunisme di tengah masyarakat Amerika. Namun, kaum Evangelis tidak sendirian karena kaum liberal dan konservatif, Demokrat dan Republikan umumnya menganggap komunisme sebagai ancaman nyata. Pada tahun 1960-an, koalisi ini mulai longgar seiring kemunculan gerakan hak-hak sipil yang mendapat dukungan dari Demokrat.

Wajah masyarakat Amerika berubah pada akhir 1960-an dan 1970-an. Disahkannya UU Keimigrasian pada 1965 disambut dengan masuknya orang-orang Asia dan Timur Tengah. Gerakan hak-hak sipil berhasil menghapus diskriminasi berdasarkan ras dan agama. Pada awal 1970-an, aborsi dilegalkan. Di sekolah-sekolah umum, kewajiban berdoa sebelum kelas dimulai dan pembacaan Alkitab pun dihapus.

Perubahan-perubahan ini menyebabkan kelompok Kristen Evangelis mendambakan kembalinya masyarakat dengan nilai-nilai lama. Dalam narasi Kristen Evangelis, perubahan nilai masyarakat selama dekade 1960-an dan 1970-an adalah bencana bagi Amerika yang kemudian dihukum Tuhan melalui kekalahan pada Perang Vietnam dan penyanderaan staf kedubes AS di Iran era revolusi. Menjelang Pilpres 1980, Kristen Evangelis membentuk gerakan bernama Moral Majority dan akhirnya berhasil memenangkan capres Republikan Ronald Reagan.

Apa kaitannya dengan Trump? Merujuk pada penelitian Ruth Braunstein berjudul “A (More) Perfect Union? Religion, Politics, and Competing Stories of America” (2018) Trump berhasil memanfaatkan narasi Evangelis mengenai nasionalisme Kristen kulit putih tentang pentingnya mengembalikan nilai-nilai Kristen konservatif dalam kehidupan masyarakat Amerika.

Infografik Kristen evanglis AS

Infografik Kristen Evanglis AS. tirto.id/Quita

Sampai hari ini, nilai-nilai konservatif dari kelompok Kristen Evangelis secara umum tak berubah. Dalam hal imigrasi misalnya, jajak pendapat Pew Research Center pada Mei 2018 menyatakan sebesar 68 persen Evangelis kulit putih percaya bahwa pemerintah AS tak berkewajiban menampung para pengungsi. Sikap ini menempatkan Kristen Evangelis sebagai kelompok agama yang paling tidak peduli terhadap masalah imigran.

Dilansir dari Associated Press, Trump membikin sejumlah janji politik untuk mengamankan dukungan dari kelompok Evangelis. Yang terbaru, dalam sebuah pertemuan keagamaan pada 7 Februari 2019, Trump menekankan pentingnya kebijakan anti-aborsi demi menarik suara pemilih Kristen Evangelis konservatif.

Perkara aborsi di AS memang memicu debat tak berkesudahan antara kubu pro-choice (yang memandang perempuan memiliki otoritas terhadap tubuhnya sehingga berhak memilih untuk hamil atau tidak) dan kubu pro-life (yang menentang aborsi dengan alasan hak hidup janin).

Singkatnya, bagi banyak Evangelis kulit putih yang terbiasa mendengar khotbah konservatif, apa yang dikampanyekan Trump bukan sesuatu yang asing.

Meski narasi Kristen Evangelis mudah dikenali, dalam lingkup Kekristenan tidak ada definisi yang bisa disepakati secara universal tentang siapa atau apa Evangelis dalam masyarakat Kristen Amerika.

Frank Newport, salah satu penulis The Evangelical Voter: Religion and Politics in America (1984) menyatakan ada dua pandangan mengenai Kristen Evangelis. Pertama dalam agama Kristen mayoritas di AS, semua penganut Kristen Protestan sampai taraf tertentu dianggap sebagai Evangelikal ("menyebarkan Injil") dalam pandangan hidup mereka.

Kedua, istilah Evangelis kontemporer merujuk ke kelompok Kristen yang lebih spesifik yang biasanya ditandai dengan afiliasi ke gereja-gereja Protestan dan praktik keagamaan tertentu, tingginya tingkat kehadiran di Gereja, sampai identifikasi diri sebagai seorang Evangelis. Dalam beberapa dekade terakhir, istilah Kristen Evangelis dilekatkan pada kalangan Kristen yang berideologi konservatif, meskipun tak semua Evangelis adalah konservatif dan tak semua konservatif adalah Evangelis.

Penelitian Gallup menunjukkan bahwa selama 27 tahun terakhir hanya sedikit perubahan dalam persentase orang Amerika yang mengidentifikasi diri sebagai Evangelis atau yang baru memeluk nilai-nilai Evangelis (biasanya diistilahkan sebagai yang “terlahir kembali”). Dari data yang disajikan sejak 1991 sampai 2018, persentase rata-rata Kristen Evangelis dari 1991 sampai 1995 sebanyak 42 persen. Tiga tahun terakhir, dari 2016 sampai 2018, rata-rata 41 persen.

Suara mayoritas Kristen Evangelis cenderung mengalir ke Partai Republikan ketimbang Demokrat. Gereja-gereja Evangelis besar seperti Gereja Nazarene sangat condong ke Partai Republikan (63 persen), diikuti Southern Baptist Convention (64 persen), Gereja Lutheran-Sinode Missouri (59 persen) dan gereja-gereja Injili lainnya. Sementara di lingkungan gereja Protestan arus utama, dukungan jemaat ke Partai Republikan cenderung menurun. Gereja Presbiterian misalnya, 44 persen jemaatnya memilih Partai Republikan dan sisanya Partai Demokrat. United Methodist dan Anglican condong ke Republikan, sedangkan jemaat United Church of Christ cenderung mengidentifikasikan diri sebagai Demokrat.

Baca juga artikel terkait POLITIK AMERIKA SERIKAT atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Politik
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf