Menuju konten utama

Kenapa Kemenhub Ngotot akan Larang Diskon Tarif Ojek Online?

Direktur Riset CORE, Piter Abdullah menilai Kemenhub tak memiliki hak untuk melarang pemberian diskon tarif ojek online, apalagi hal itu dapat merugikan konsumen.

Kenapa Kemenhub Ngotot akan Larang Diskon Tarif Ojek Online?
Sejumlah pengemudi ojek daring (online) menunggu penumpang di depan Stasiun Pondok Cina, Kota Depok, Jawa Barat, Selasa (11/6/2019). arkan aturan larangan diskon pada transportasi online, termasuk ojek online. ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya.

tirto.id - Rencana Kementerian Perhubungan untuk melarang pemberian diskon atau promo pada tarif ojek online (ojol) atas alasan mencegah predatory pricing dinilai bermasalah. Kemenhub semestinya tak perlu mengintervensi lebih dalam mengenai urusan tarif ojol hingga pada tingkat potongan harga yang diterima konsumen.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE), Piter Abdullah pun menilai Kemenhub tak memiliki hak untuk melarang pemberian diskon. Pertimbangannya, kata Piter, merujuk pada nasib konsumen yang justru dapat dirugikan lewat kebijakan itu.

Misalnya seseorang seharusnya dapat memperoleh harga yang lebih murah dari suatu layanan, tetapi justru peluang itu malah dilarang pemerintah.

“Mungkin suara dari lembaga perlindungan konsumen perlu soal sejauh mana intervensi pemerintah untuk harga itu atau melarang diberinya diskon. Setahu ilmu ekonomi saya, pemerintah enggak punya hak melarang pemberian diskon," ucap Piter kepada reporter Tirto saat ditemui di Hotel Morrissey, Rabu (12/6/2019).

Pernyataan Piter ini pernah disuarakan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada Selasa, 11 Juni lalu. YLKI menilai pemerintah sudah memiliki mekanisme pengaturan tarif ojol lewat tarif atas dan bawah.

Pembuatan aturan lebih lanjut untuk melarang pemberian diskon pada tarif dianggap merupakan campur tangan Kemenhub yang terlalu dalam pada urusan konsumen. Padahal, YLKI menilai justru Kemenhub cukup mengawasi penerapan promo sesuai aturan yang sudah ada agar tidak melampaui batas bawah tarif di samping memastikan standar pelayanan minimal konsumen terpenuhi.

Pengamat Transportasi dari Universitas Indonesia, Ellen Tangkudung pun menjelaskan seharusnya penerapan diskon tarif ojol ini diserahkan pada mekanisme pasar saja. Menurut dia, pemerintah memang tidak perlu terlalu banyak melakukan internvesi pada persoalan tarif ojol ini.

“Lebih baik itu diserahkan ke pasar saja. Keseimbangan antara supply demand di mereka sendiri. Kalau mau dikasih diskon, ya sudah diskon saja. Jadi persaingan mereka lebih ketat,” ucap Ellen saat ditemui di Hotel Morrissey, Rabu (12/6/2019).

Ellen menjelaskan bila pemerintah terlalu banyak melakukan intervensi, maka hal ini dapat merugikan pengemudi yang bekerja sebagai mitra aplikator. Sebab, Ellen menilai saat ini konsumen masih belum dapat membiasakan diri dengan kenaikan harga yang terjadi pada tarif ojol.

Saat pemerintah justru ingin mengintervensi diskon atau promo ini, kata dia, maka dikhawatirkan konsumen menjadi beralih ke moda transportasi lain. Ia mengingatkan di kota-kota besar seperti Jakarta-Surabaya, sarana transportasi umumnya sudah relatif maju sehingga dapat memberikan pilihan bilamana konsumen tidak ingin menggunakan ojol.

“Kalau tarif tinggi, kan, demand-nya bisa kurang. Kalau mereka yang di Jakarta banyak pilihan angkutan umumnya termasuk mobil sendiri. Pilihan jadi banyak, ada keseimbangan antara tarif itu dengan penghasilan mereka [driver]. Kalau pemerintah terus otak-atik jadi sulit,” ucap Ellen.

Menanggapi berbagai protes itu, Staf Khusus Kementerian Perhubungan Bidang Ekonomi dan Investasi Transportasi, Wihana Kirana mengatakan bahwa rencana pembuatan aturan baku tentang larangan diskon itu masih akan didiskusikan lebih lanjut.

“Belum-belum. Nanti kami kaji dulu itu. Keputusan melarang itu masih diskusi, tapi dalam persaingan sehat, ya itu ranahnya KPPU,” ucap Wihana kepada wartawan saat ditemui di Hotel Morrissey.

Kendati demikian, Wihana menjelaskan sebenarnya urusan persaingan usaha yang sehat berada di ranah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Kementerian tempat ia bekerja, kata Wihana, semestinya cukup sampai pada persoalan keamanan dan keselamatan berikut kelaikan transportasi yang digunakan.

“Mau diskon apa enggak yang penting enggak ada predatory pricing. Nanti KPPU yang jawab. [Kementerian] Perhubungan ya, safety security. Kami domainnya itu. Irisan yang lain bukan kami,” ucap Wihana.

Poin tentang wewenang KPPU ini memang sudah dipahami oleh Kemenhub. Namun, Direktur Jenderal Perhubungan Darat, Budi Setiyadi menjelaskan bahwa adanya potensi predatory pricing ini menjadi alasan Menteri Perhubungan Budi Karya untuk memintanya membuat pasal yang melarang diskon ojol.

“Kami minta KPPU dan beberapa kali rapat dengan KPPU kalau diskon itu potensi ‘predatory pricing’. Makanya Pak Menteri minta ke saya harus ada peringatan pasal ojek daring yang enggak boleh diskon itu,” ucap Budi, seperti dikutip Antara, Selasa (11/6/2019).

Meskipun aturan pelarangan diskon tarif ojol belum terbit, tapi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) sudah mengambil ancang-ancang untuk memblokir aplikasi ojol yang kedapatan melanggar ketentuan itu.

Direktur Jenderal Aplikasi Informatika (APTIKA), Semuel A. menjelaskan bahwa sanksi pemblokiran ini dikeluarkan bila aplikator masih membandel usai menerima sanksi administratif dari Kemenhub.

“Kalau di sini [Kominfo] sanksinya tuh untuk pemblokiran, jadi kalau dia melanggar kami blokir. Tapi kalau sanksi administratif adanya di sana [Kemenhub], yang bentuknya denda atau saya tidak tahu penerapannya bagaimana di sana,” kata Semuel, di kantor Kominfo, Jakarta, Rabu (12/6/2019).

Baca juga artikel terkait TRANSPORTASI ONLINE atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz