Menuju konten utama

Kenangan Sejarah Prabowo & Golkar Sebelum Lahirnya Gerindra

Prabowo Subianto pernah punya sejarah mesra dengan Partai Golkar sebelum berpisah dan mendirikan Gerindra.

Kenangan Sejarah Prabowo & Golkar Sebelum Lahirnya Gerindra
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto berjabat tangan dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto usai melakukan pertemuan di Kantor DPP Partai Golkar, Jakarta, Selasa (15/10/2019). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/wsj.

tirto.id - “Saya hari ini kembali ke almamater saya, saya dulu lulusan Golkar,” ucap Prabowo Subianto saat mengunjungi Kantor DPP Partai Golkar di Jakarta, Selasa (15/10/2019). Antara Prabowo dan Golkar memang pernah terjalin sejarah erat sebelum mantan menantu Presiden RI ke-2 Soeharto ini mendirikan Partai Gerakan Indonesia Raya atau Gerindra.

Kedatangan Prabowo bersama sejumlah petinggi Partai Gerindra disambut langsung oleh Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto beserta beberapa pengurus teras partai. “Ini adalah home coming bagi Pak Prabowo karena beliau adalah salah satu almamater terbaik Partai Golkar,” ujar Airlangga.

Di Pilpres 2019 lalu, Gerindra dan Golkar berada di dua kubu yang berbeda. Prabowo adalah capres jagoan Gerindra, berhadapan dengan Joko Widodo (Jokowi) capres yang didukung Golkar. Kendati begitu, hubungan Prabowo dengan kubu sebelah kini semakin membaik.

"Karena ini merupakan pondasi politik ke depan. Selain itu, kami bersepakat membicarakan Partai Golkar dan Gerindra mengutamakan NKRI, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan konstitusi,” papar Airlangga.

“Kami ingin mungkin ada tim untuk lanjutkan pembicaraan kerja sama di hari mendatang, tapi intinya kita ingin ada kerukunan di antara tokoh-tokoh bangsa,” timpal Prabowo.

Memori Prabowo & Golkar

Jejak politik Prabowo Subianto terlacak sejak 2004 saat ia mengikuti konvensi calon presiden dari Partai Golkar. Dulu, saat Golkar masih jaya-jayanya di era Orde Baru, Prabowo justru tidak terlalu akrab dengan kancah politik. Ia menekuni jalan hidupnya sebagai tentara selama lebih dari seperempat abad.

Setelah rezim mertuanya kala itu, Soeharto, runtuh akibat Reformasi 1998, karier militer Prabowo menyusul jatuh. Ia “diberhentikan dengan hormat”. Semasa peralihan pemerintahan, Prabowo meninggalkan Indonesia, lalu menetap di Yordania dan sejumlah negara lainnya untuk berbisnis.

Menjelang Pilpres 2004, Prabowo kembali dan memulai karier baru di belantika perpolitikan nasional. Ia maju dalam konvensi capres Partai Golkar yang digelar pada 2003. Akbar Faisal dalam The Golkar Way (2007) mengungkapkan, Prabowo lolos hingga babak akhir bersama 6 kandidat lainnya setelah menyingkirkan puluhan peserta.

Prabowo saat itu mendapatkan dukungan dari 14 provinsi, terendah kedua setelah Sultan Hamengkubuwana X yang disokong 7 provinsi. Di posisi teratas ada Aburizal Bakrie (28 provinsi), kemudian Surya Paloh (27 provinsi), Wiranto (25 provinsi), Akbar Tandjung (23 provinsi), dan Jusuf Kalla (20 provinsi).

Tanpa Jusuf Kalla (JK) yang dipinang Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menjadi cawapres yang diusung Partai Demokrat, konvensi capres Partai Golkar dilanjutkan. Namun, lagi-lagi Prabowo masih kurang beruntung.

Di putaran pertama, mantan Danjen Kopassus ini menempati peringkat terbawah karena hanya mendapatkan 39 suara. Yang tertinggi adalah Akbar Tandjung (147 suara), lalu Wiranto (137 suara), Aburizal Bakrie (118 suara), serta Surya Paloh (77 suara).

Perolehan ini jelas membuat Prabowo tersingkir dari persaingan lantaran di putaran kedua hanya mempertandingkan dua kandidat teratas yakni Akbar Tandjung dan Wiranto. Hasilnya, Wiranto menang dengan 315 suara, mengalahkan Akbar Tandjung yang hanya meraih 227 suara.

Wiranto pun resmi menjadi capres dari Partai Golkar, berpasangan dengan Salahuddin Wahid alias Gus Sholah, untuk bertarung di Pilpres 2004 dan bersaing dengan lima pasangan capres-cawapres lainnya. Pemenangnya adalah SBY dan JK.

Dari Beringin ke Garuda

Kendati gagal maju sebagai capres lewat konvensi, Prabowo tetap bertahan di Partai Golkar. Ia bahkan menempati posisi yang cukup terhormat di partai politik berlambang pohon beringin itu, yakni sebagai anggota dewan penasihat.

Hingga akhirnya, pada 2008 atau menjelang Pilpres 2009, Prabowo memutuskan mengambil jalan politik sendiri. Putra begawan ekonomi andalan Orde Baru, Soemitro Djojohadikusumo, ini ingin keluar dari Golkar.

“Saya menghadap Bapak Jusuf Kalla sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Saya sampaikan kepada beliau bahwa saya mengundurkan diri dari Golkar, baik sebagai anggota dewan penasihat maupun sebagai anggota Partai Golkar,” kenangnya, dikutip dari buku Prabowo: Dari Cijantung Bergerak ke Istana (2009) karya Femi Adi Soempeno.

Prabowo merasa kurang maksimal dalam menyumbangkan pikiran dan tenaganya jika tetap di Partai Golkar. Sebaliknya, ia merasa akan lebih mampu mewujudkan visinya, termasuk membangun ekonomi kerakyatan selaku Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), dengan berada di luar rindangnya pohon beringin.

“Saya katakan, saya merasa tidak maksimal berkiprah. Perasaan saya, sebagai Ketua Umum HKTI, saya harus membawa pesan dan memperjuangkan pesan kaum tani. Dan, sebagai anggota Dewan Penasihat Golkar, saya kurang maksimal berjuang untuk itu,” tutur Prabowo.

Bersama beberapa tokoh yang sepaham dengannya, termasuk adiknya Hashim Djojohadikusumo, Muchdi Purwoprandjono, Fadil Zon, dan lainnya, Prabowo mendeklarasikan lahirnya partai baru bernama Gerakan Indonesia Raya atau Gerindra pada 16 Februari 2008.

Petualangan politik Prabowo pun berlanjut dengan Gerindra yang bersimbolkan burung Garuda sebagai kendaraan barunya. Ia maju ke Pilpres 2009 sebagai cawapres Megawati Soekarnoputri dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), namun kalah dari SBY-Budiono.

Pada Pilpres 2014, bersama Hatta Rajasa dari Partai Amanat Nasional (PAN) dan didukung barisan Koalisi Merah Putih, termasuk Partai Golkar, Prabowo mencoba peruntungannya kembali di pilpres, tapi lagi-lagi gagal. Kali ini kalah dari pasangan Jokowi-JK.

Prabowo pantang menyerah. Ia maju ke Pilpres 2019 bersama Sandiaga Uno untuk kembali berhadapan dengan Jokowi yang menggandeng Kiai Ma’ruf Amin. Hasilnya? Prabowo kalah lagi, sempat kecewa berat, kendati akhirnya melunak dan bisa menerima.

Setelah bertempur habis-habisan, Prabowo menyambangi satu-persatu mantan lawan politiknya, termasuk nostalgia dengan almamaternya, Partai Golkar, yang di Pilpres 2019 beralih ke kubu Jokowi-Ma’ruf.

“Kalau ada perbedaan, gesekan, hal-hal yang tidak cocok di antara banyak pihak, para pimpinan harus bisa menyelesaikan dengan sejuk dan dalam rangka selalu institusi-institusi yang dijalankan dengan baik,” ucap Prabowo usai menyambangi markas Partai Golkar kemarin.

Baca juga artikel terkait SEJARAH POLITIK atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Politik
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Abdul Aziz