Menuju konten utama

Kenali Food Neophobia pada Anak dan Penyebabnya

Persepsi makanan pun juga bisa dibangun melalui pemahaman anak, tak melulu melalui proses pengecapan.

Kenali Food Neophobia pada Anak dan Penyebabnya
Ilustrasi seorang anak yang menolak makan sayuran sehat. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Anak yang menolak makan bisa menjadi permasalahan pelik yang mengundang kekhawatiran dan frustasi bagi hampir semua orang tua. Setidaknya ada beberapa hal yang membuat si kecil melakukan gerakan tutup mulut ini, namun salah satu yang jarang dibahas adalah food neophobia.

Food neophobia sendiri sering dianggap sama dengan anak yang picky eater. Namun ternyata itu merupakan dua hal yang berbeda. Sebuah studi yang dipublikasikan di Jurnal Gizi Klinik Indonesia menyebut bahwa picky eater diartikan sebagai anak dengan beberapa kriteria perilaku makan seperti cepat merasa kenyang, makan dengan sangat lamban, rewel dan pilih-pilih makanan, kurang respon terhadap makanan, dan kurang menikmati saat-saat makan.

Sementara food neophobia dalam sebuah studi disebut sebagai kecenderungan untuk menolak atau keengganan mencoba makanan baru dan asing baik itu secara visual maupun dari segi rasanya. Lucia Peppy Novianti, S.Psi., M.Psi., Psikolog menjelaskan bahwa perilaku ini termasuk dalam kelompok gangguan feeding behaviour yakni selective eating yang umum terjadi pada usia kisaran 2 hingga 6 tahun.

Pada periode tersebut anak sedang belajar merespon dan menggunakan kemampuannya untuk mengambil keputusan, salah satunya soal makanan. Hal itu yang pada akhirnya menyebabkan anak menunjukkan sikap terhadap makanan asing yang belum dikenalnya.

“Sebenarnya itu (food neophobia) merupakan fase wajar yang akan dijumpai anak-anak pada rentang waktu usia tersebut,” ungkap Peppy yang juga CEO Wiloka Workshop Yogyakarta.

Problem muncul saat penolakan makanan membawa konsekuensi kesehatan bagi si kecil. Yang paling utama adalah hilangnya kesempatan anak untuk mengkonsumsi makanan kaya nutrisi yang sangat dibutuhkan untuk perkembangan fisik dan mental anak di kemudian hari.

National Institute for Health and Welfare bahkan menyebut food neophobia terkait dengan kualitas makanan yang lebih buruk, misalnya asupan serat, protein, dan asam lemak tak jenuh tunggal mungkin lebh rendah. Sementara asupan lemak jenuh dan garam justru lebih besar. Food neophobia juga pada akhirnya dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular atau diabetes tipe 2.

Untuk itu orang tua perlu mengenali saat si buah hati memiliki kecenderungan food neophobia. Dan menurut Peppy, mengamati langsung bagaimana anak saat makan adalah kunci yang tepat untuk mengetahuinya.

“Orang tua perlu mengamati bagaimana anak merespon makanan baru. Bila ada reaksi penolakan bahkan secara hebat setiap kali memberikan makanan baru, orang tua boleh mulai mencurigai bahwa anak mengalami food neophobia,” paparnya.

Namun tetap amati lagi polanya. Jika hanya terjadi sekali atau sangat jarang memperlihatkan perilaku itu, maka orang tua dapat berpikir tentang adanya kemungkinan lain.

Penyebab Food Neophobia

Ketakutan untuk mencoba makanan baru sebenarnya bisa dihubungkan dengan sejarah panjang manusia. Saat semua makanan benar-benar didapatkan dari alam, tanpa pengolahan atau label yang tertera, anak-anak kala itu akan mencari dan memakan apa yang mereka temukan. Dari perspektif evolusi, food neophobia ini akan melindungi anak-anak dengan cara menolak atau menghindari makanan baru, sebab bisa saja makanan yang mereka makan ada kandungan racunnya.

Faktor genetik itu yang kemudian yang akhirnya diturunkan pada anak-anak saat ini. Hal tersebut didukung dari penelitian dari University of North Carolina yang menyebut alasan anak-anak takut akan makanan baru tidak melulu berkaitan dengan menu yang terhidang di piring mereka, melainkan lebih berkaitan dengan gen. Faktor itu lah yang memainkan peran penting dalam perilaku makan anak-anak, termasuk kecenderungan untuk menghindari makanan baru.

“Dalam beberapa hal, food neophobia atau keengganan mencoba makanan baru, mirip dengan temperamen atau kepribadian anak. Beberapa anak secara genetik lebih rentan daripada yang lain untuk menghindari makanan baru. Namun itu tak berarti bahwa mereka tak dapat mengubah perilaku mereka,” kata Myles Faith, profesor nutrisi di Gillings School of Global Public Health University of North Carolina.

Walaupun ada genetik yang memengaruhinya, food neophobia bisa terbentuk pula dari lingkungan terdekat anak, yakni keluarga. Agnes Dewanti Purnomowardani, M.Si., Psikolog mengungkapkan soal perilaku makan seorang anak bisa dipengaruhi pula dari bagaimana orang tua bersikap soal makanan itu sendiri, apakah pemilih atau memang senang untuk mencoba makanan yang baru.

“Bagaimana ekspresi orang tua saat menikmati makanan akan membuat anak memiliki kemauan untuk ikut mencoba makanan baru juga,” terang psikolog yang akrab di sapa Nessi ini.

Ambil contoh, saat orang tua ingin mengenalkan sayur ke anak namun orang tua sendiri ternyata tidak menyukai sayur. Anak bisa jadi makin enggan karena orang tua tidak memberikan contoh untuk memakan sayur itu.

“Ada pola modelling dari orang tua ke anak. Berbeda jika dalam keluarga orang tuanya tak pilih-pilih makanan, saat anak diminta untuk mencicip sayur dan bahkan merasakan rasa aneh, kecenderungan untuk mau mencoba lagi lebih besar karena mereka melihat orang tua bisa menikmati makanan tersebut,” papar Nessi.

Menghadapi Anak dengan Food Neophobia

Sebagai bagian perkembangan alami seorang anak, food neophobia ini akan berkurang dengan sendirinya. Peppy mengungkapkan hal tersebut bisa dibantu dengan mendampingi anak saat memproses pengalamannya dengan makanan yang dihindari atau ditolaknya.

Melatih untuk memproses pengalaman konsumsi makanan baru ini bisa dilakukan dengan beragam cara dan dilakukan secara bertahap. Tetapi setidaknya ada yang harus diingat oleh orang tua. Usia anak di rentang 2-6 tahun juga merupakan fase di mana anak melatih proses sensori mereka yakni kecap, lihat, rasa, dengar, dan sentuh. Persepsi sensori itu yang akan memengaruhi keputusan anak untuk mencoba makanan baru.

Infografik Kamu Makannya Apa

Infografik Kamu Makannya Apa. tirto.id/Quita

Oleh karena itu, saat satu makanan berpotensi menimbulkan sensasi baru pada berbagai indera persepsi dan anak belum pernah mengalami sensasi rasa atau bau tersebut, bantu anak untuk memprosesnya satu per satu dan lakukan secara gradual dalam pengenalan jenis atau tektur makanan. Lalu hindari makanan 'ekstrim' bagi persepsi sensori anak-anak dan mulai pilih makanan dengan tekstur yang biasa dijumpai.

Misalnya saja untuk sementara memilih memotong buah daripada memblendernya. Beberapa tekstur makanan tertentu seperti makanan kental atau kasar umumnya kurang diterima oleh anak-anak dari segala usia. Selanjutnya berikan makanan dalam jumlah kecil dan pada waktu yang sama secara berulang. Tapi tetap ingat, untuk tidak memberikan paksaan terhadap anak.

Persepsi makanan pun juga bisa dibangun melalui pemahaman anak. Tak melulu melalui proses pengecapan. Dalam hal ini orang tua bisa membantu anak memberikan gambaran verbal terkait makanan baru yang akan dicicipi si kecil untuk membangkitkan keinginan untuk mencoba.

"Gambarkan apa sensasi rasanya atau analogi dengan bahasa yang dekat dan mudah dimengerti oleh anak. Ini akan memberikan dorongan bagi anak untuk berani mencoba makanan baru," tambah Peppy.

Penting juga untuk memastikan suasana positif selama makan, contohnya mengeluh saat anak hanya makan terlalu sedikit atau membandingkannya dengan anak lain.

Meski disebut sebagai perkembangan alami seorang anak, jika perilaku neophobia tak menghilang atau justru intensitasnya meningkat maka perlu intervensi yang lebih serius karena dapat menimbulkan banyak akibat yang berkaitan dengan kesehatan fisik maupun mental anak di kemudian hari.

Untuk itu jangan ragu untuk meminta bantuan profesioal seperti pediatrician, ahli gizi klinis, psikolog, atau terapis nutrisi.

Makan terlihat sebagai aktvitas yang sederhana. Tetapi ada banyak proses kompleks yang terlibat di sana, mulai dari faktor fisiologis — seperti koordinasi bagian tubuh satu sama lain, dan juga faktor psikogis seorang anak.

Sehingga makan harusnya menjadi sebuah aktivitas yang menyenangkan dan tentu saja mengenyangkan.

Baca juga artikel terkait TIPS PARENTING atau tulisan lainnya dari MN Yunita

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: MN Yunita
Penulis: MN Yunita
Editor: Lilin Rosa Santi