Menuju konten utama

Kenaikan UMP di Daerah Tak Mesti Ikut Keputusan Pusat?

Pemerintah daerah sebetulnya bisa menetapkan upah minimum tanpa formula yang diatur pada PP 78 Tahun 2015.

Kenaikan UMP di Daerah Tak Mesti Ikut Keputusan Pusat?
Ratusan buruh dari berbagai aliansi yang ada di Kota Tangerang melakukan aksi unjuk rasa di depan kantor Walikota Tangerang, Banten, Kamis (15/11/2018). ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal

tirto.id - Kenaikan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) 2019 di beberapa kabupaten/kota Jawa Timur bisa dibilang cukup tinggi dan berada di atas rata-rata Upah Minimum Provinsi (UMP) yang ditetapkan pemerintah pusat, yakni 8,03 persen. Di kota Pasuruan, misalnya, kenaikan UMK mencapai 24,57 persen, atau dari Rp2.067.612 jadi Rp2.575.516.

Langkah Gubernur Jatim Soekarwo ini diapresiasi Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Ketua KSPI Said Iqbal menilai hal tersebut sesuai dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menjadikan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) sebagai faktor utama penghitungan kenaikan upah.

"KSPI dan buruh Indonesia tetap menolak PP 78/2015 dan meminta para gubernur menetapkan UMP/UMK dan UMSP/UMSK senilai 20-25 persen berdasarkan hasil survei KHL di pasar," ujarnya dalam keterangan tertulis.

Bagi para buruh, penghitungan kenaikan upah dengan formula PP 78/2015 tidak sesuai dengan kondisi riil di lapangan. Formula tersebut juga ditentang karena tidak mengacu pada hasil survei KHL seperti diamanatkan Pasal 88 (4) UU 13/2003.

Nilai KHL ini dihitung berdasarkan rata-rata harga jenis kebutuhan hidup yang sumbernya mengacu pada data milik Badan Pusat Statistik.

Bisakah Dihitung Berdasarkan KHL?

Dalam Surat Edaran 8.240/M-NAKER/PHISSK-UPAH/X/2018 yang terbit Oktober lalu, Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Hanif Dhakiri sebenarnya menjelaskan bahwa kenaikan UMP bisa dihitung menggunakan komponen penyesuaian besaran persentase upah.

Artinya, Kemenakertrans membuka kemungkinan sejumlah daerah melakukan perhitungan di luar formula PP 78/2015.

Namun ditekankan bahwa hal itu hanya berlaku untuk delapan kabupaten/kota yang upah minimumnya masih berada di bawah KHL nasional, yakni Kalimantan Tengah, Gorontalo, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, Maluku, dan Maluku Utara.

Dalam SE tersebut, Menakertrans juga memuat soal sanksi yang akan dikenakan oleh para kepala daerah yang tidak menetapkan kenaikan UMP-nya sesuai dengan yang ditetapkan pemerintah pusat atau PP 78.

Sanksi mengacu pada ketentuan Pasal 68 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Di sana disebutkan kepala daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah yang tidak melaksanakan program strategis nasional dikenai sanksi administratif hingga pemberhentian.

Dengan kata lain, apa yang dilakukan Soekarwo sebetulnya bertentangan dengan aturan pusat.

Berlebihan

Meski demikian, peneliti dari Universitas Atma Jaya Surya Tjandra menilai kebijakan menaikkan upah minimum lebih tinggi dari yang ditetapkan pemerintah pusat adalah hal penting. Karena itu pula ia menilai sanksi bagi kepala daerah dalam SE tersebut berlebihan.

Menurut Surya, jika besaran kenaikan UMP sama di tiap daerah, maka disparitas pendapatan akan sulit dihilangkan. Sementara di satu sisi, ada daerah yang sebetulnya biaya hidupnya tak begitu berbeda tapi nominal UMP-nya terpaut jauh.

"Butuh kenaikan lebih tinggi. Kalau tidak, akibatnya terjadi disparitas upah yang lumayan jomplang. Buruh pertama baru kerja nol tahun, itu enggak sampai dua juta," kata dia kepada reporter Tirto.

Intervensi dari pemerintah, misalnya dalam bentuk subsidi seperti yang dilakukan Gubernur DKI Anies Baswedan, juga diperlukan jika angka yang ditetapkan tidak dikehendaki buruh.

"Jadi kalau inflasi terjaga dan ada subsidi bagi buruh, bisa jadi solusi kalau pemerintah enggak mau memberatkan pengusaha dan menjaga daya beli," imbuhnya.

Baca juga artikel terkait UMP 2019 atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Rio Apinino