Menuju konten utama

Kemendikbud Akui Intoleransi dan Radikalisme Masih Ada di Sekolah

Mendikbud Muhadjir Effendy mengakui, sikap atau pola pikir intoleransi serta radikalisme masih terjadi di linkungan sekolah, baik tingkat bawah hingga tingkat atas.

Kemendikbud Akui Intoleransi dan Radikalisme Masih Ada di Sekolah
Mendikbud Muhadjir Effendy. FOTO/antaranews

tirto.id - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia mengakui, sikap atau pola pikir intoleransi serta radikalisme di satuan pendidikan masih ada di tingkat dasar hingga atas dan saat ini sedang dalam proses penanganan.

"Saya tidak mengatakan bahwa [intoleransi dan radikalisme] itu telah selesai. Tapi pemerintah, khususnya Kemendikbud dan Kemenag yang memiliki domain di sekolah dan madrasah, terus meningkatkan cara-cara untuk mengatasi agar jangan sampai praktik yang tidak baik terutama pemikiran dan paham berbahaya mengancam ideologi nasional, bisa diatasi," ujar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy usai Upacara Hari Pendidikan Nasional di kantornya, Jakarta Selatan, Kamis (2/5/2019).

Meski demikian, Muhadjir mengatakan hal-hal tersebut tidak terlalu signifikan, jika dibandingkan dengan jumlah peserta didik yang ada di Indonesia saat ini.

"Kita punya 46 juta siswa, kalau ditambah PAUD bisa 53 juta dan jumlah satuan pendidikannya ada di atas 200 ribu. Memang ini urusan besar, bukan kecil. Sehingga kalau ada kasus satu-dua, mohon dipahami itu suatu hal yang kasuistis," ujarnya.

Sehingga menurutnya, upaya penanganannya pun harus tetap per kasus dan bukan karena suatu perkara yang sistematis.

Meski demikian, ia mengaku hal ini bukanlah persoalan yang mudah diatasi, perlu kerja sama lintas kementerian dan lembaga, serta peran aktif masyarakat untuk selalu memantau atau memberi informasi, sehingga jika timbul gejala bisa langsung diatasi.

Sebelumnya, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengatakan, pemerintah dalam hal ini Kemendikbud masih belum optimal mengurus persoalan intoleransi dan radikalisme di sekolah.

Pemerintah tidak memiliki langkah konkrit terhadap penanganan enam dari sepuluh guru muslim yang memiliki perspektif intoleran terhadap pemeluk agama lain.

Sehingga menurutnya, perlu pemerintah untuk mengutamakan moderatisme beragama dan nilai-nilai multikulturalisme ke dalam pembelajaran di sekolah. Hal tersebut sebagai upaya penangkal sikap dan pola pikir intoleran dan radikalisme dalam satuan pendidikan.

"Harus ada evaluasi dan langkah intervensi yang sistematis terhadap guru-guru yang terpapar pemikiran dan sikap intoleran dan radikal," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait KASUS INTOLERANSI atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno