Menuju konten utama

Kemendagri Sebut Masyarakat Adat Masih Banyak yang "Stateless"

Kemendagri sebut banyak masyarakat adat yang belum terdaftar kewarganegaraan atau stateless karena warganya yang tidak mau mengusahakan.

Kemendagri Sebut Masyarakat Adat Masih Banyak yang
Ilustrasi masyarakat adat Suku Baduy Luar saat berjalan kaki di Jalan Kebayoran Lama Raya, Jakarta Barat, beberapa waktu lalu. tirto.id/Arimacs Wilander

tirto.id - Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakrulloh mengatakan, alasan banyaknya masyarakat adat yang stateless atau belum tercatat kewarganegaraannya karena warganya yang tidak mau mengusahakan.

“Masyarakat [adat] kurang proaktif mendatangi kecamatan dan dinas dukcapil,” kata Zudan kepada reporter Tirto pada Kamis (24/1/2019).

Zudan pun menyarankan kepada masyarakat adat agar lebih aktif untuk mendata diri mereka sendiri.

“Silakan datang ke kecamatan dan dinas dukcapil ya semua warga masyarakat adat,” ucap Zudan.

Sementara itu, Deputi II Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Urusan Politik Erasmus Cahyadi mengatakan, hambatan untuk mendaftarkan diri sebagai warga negara terhalang oleh banyak faktor, salah satunya karena lokasi yang tidak terjangkau.

“Hambatannya karena mereka tidak terjangkau. Kedua, karena [masyarakat adat] berada di kawasan hutan. Jadi ada pemahaman bahwa ‘kalau berada di kawasan hutan, gak perlu lah didata’. Padahal kita tahu ada 33 ribu desa di kawasan hutan. Banyak sekali,” ujar Erasmus saat ditemui di Jakarta Pusat, Rabu (23/1/2019) kemarin.

Menurut Erasmus, hal tersebut berdampak pada tidak diakuinya mereka sebagai warga negara. Hal itu yang akhirnya menjalar ke berbagai hak mereka yang tidak terpenuhi, seperti hak untuk mengakses pendidikan, mengikuti pemilihan umum, dan sebagainya.

“Itu yang membuat mereka jadi masyarakat stateless lah kalau saya bilang,” kata Erasmus.

Erasmus menyarankan seharusnya pemerintah memiliki pendekatan lain untuk masyarakat adat jika memang terlalu sulit untuk menjangkau mereka dan mencatat mereka sebagai warga negara.

“Jadi menurut saya, untuk permasalahan semacam ini, Kartu Tanda Penduduk (KTP) itu kan salah satu tanda kewarganegaraan, bisa juga dong dengan tanda-tanda yang lain. Seharusnya, untuk kelompok masyarakat yang tidak memiliki akses atau kesulitan akses untuk memiliki KTP, seharusnya diberikan alternatif lain, sehingga mereka bisa memilih,” terang Erasmus.

Hal lain yang ditekankan oleh Erasmus adalah segera disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Masyarakat Hukum Adat (MHA).

Karena, lanjutnya, RUU itulah yang bisa mengakui keberadaan mereka. Selain itu, hak mereka juga dapat ditetapkan, serta sejumlah batasan lainnya menjadi lebih jelas.

“RUU itu mesti cepat disahkan, ditetapkan jadi UU,” tegas Erasmus.

Bagi masyarakat adat, UU ini berguna agar mereka bisa teradministrasi secara jelas, serta mengetahui apa saja hak-haknya.

Bagi pemerintah, UU tersebut dapat mempermudah administrasi, yang mana selama ini masih sulit. Sedangkan bagi investor, UU ini akan meminimalisir kemungkinan terjadinya konflik.

Baca juga artikel terkait RUU MASYARAKAT ADAT atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno