Menuju konten utama

Kemenangan Partai Buruh Australia dan Masa Depan Politik Lingkungan

Kemenangan Partai Buruh di Australia membawa sedikit harapan bagi kebijakan lingkungan yang selama ini diabaikan.

Pemimpin Partai Buruh Anthony Albanese (kanan) disaksikan oleh putranya Nathan Albanese (kedua kiri) dan rekannya, Jodie Haydon (kiri) saat memberikan suaranya di Sydney, Australia, Sabtu, 21 Mei 2022. (AP Photo/Rick Rycroft)

tirto.id - Pemilihan umum Australia resmi berakhir beberapa hari lalu. Partai Buruh pimpinan Anthony Albanese keluar sebagai pemenang. Mereka mengakhiri dominasi koalisi berhaluan konservatif tengah-kanan, terdiri dari Partai Liberal dan Partai Nasional, yang berkuasa sejak 2013.

Selama kampanye, salah satu tema sentral yang diusung oleh Partai Buruh adalah perlindungan iklim dan lingkungan. Partai Hijau dan kandidat independen pun demikian, bahkan mengusung target yang lebih ambisius.

Persoalan ini cenderung diabaikan, jika bukan disangkal, oleh elite pejabat liberal dan nasionalis selama memerintah. Tak mengherankan jika pesta demokrasi kali ini disebut-sebut sebagai “pemilu iklim yang sangat besar” dan keberhasilan Partai Buruh sebagai “kemenangan bagi iklim”.

Isu Lingkungan dalam Panggung Politik

Menjadikan persoalan iklim dan lingkungan sebagai tema sentral dalam pemilu sebenarnya bukan hal baru di Australia. Christopher Rootes dalam studi yang terbit di Environmental Politics (2008) menyebut isu ini telah muncul pada pemilu 2007.

Meski belum terlalu memikat para pemilih, namun kemunculannya dalam momen sepenting pemilihan umum dianggap menandakan era baru Australia yang lebih berkiprah dalam politik lingkungan tingkat dunia.

Dalam kompetisi tersebut, Partai Buruh di bawah komando Kevin Rudd keluar sebagai pemenang. Langkah pertama Rudd di forum internasional adalah terbang ke Bali untuk ikut meratifikasi Protokol Kyoto, sebuah traktat internasional yang bertujuan mengurangi emisi gas rumah kaca. Selama 11 tahun, Australia di bawah pemerintahan John Howard dari Koalisi Liberal-Nasional menolak berkomitmen dalam traktat tersebut.

Kemenangan Partai Buruh saat itu sejalan dengan keprihatinan publik Australia terhadap persoalan iklim. Rootes mencatat, dalam survei yang diselenggarakan 2005, 70 persen responden khawatir akan pemanasan global, sementara 60 persen responden tak puas dengan kebijakan penanggulangan dari pemerintah.

Namun hasil survei pascapemilu menyebut persoalan lingkungan hanya menempati peringkat empat isu yang memengaruhi warga memilih kandidat tertentu. Isu pertama adalah kesehatan, menyusul kemudian pendidikan dan tata kelola air. Karena itu, kata Rootes, mungkin kemenangan Partai Buruh lebih terkait dengan turunnya popularitas administrasi Howard yang mendukung Perang Irak dan mengampanyekan kebijakan rasialis terhadap pengungsi dan imigran.

Apa pun penyebab kemenangannya, menanggulangi perubahan iklim jadi prioritas Perdana Menteri Rudd, menggeser isu terorisme yang diusung pemerintahan sebelumnya. Ia mengatakan hal tersebut sebagai “tantangan moral besar.”

Administrasi Rudd kemudian menugaskan profesor ekonomi Ross Garnaut untuk meneliti dampak perubahan iklim terhadap ekonomi Australia dan menyusun rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Hasilnya adalah buku The Garnaut Climate Change Review yang terbit pada 2008.

Tapi semua tidak berjalan mulus. Dua tahun kemudian, proposal Ruud tentang skema perdagangan emisi ditolak. Ia bersitegang dengan kolega partainya sendiri, Julia Gillard, yang menganggap usul kebijakan itu belum tepat untuk diajukan karena belum ada dukungan dari parlemen.

Ruud dan Gillard juga bersitegang memperebutkan kursi ketua partai. Gillard yang akhirnya keluar sebagai pemenang. Gillard juga kemudian menjadi perempuan pertama yang menjabat sebagai Perdana Menteri Australia.

Ketika Gillard menerapkan cara lain untuk mengurangi emisi dengan menarik pajak karbon pada 2011, muncul perlawanan hebat dari kubu Koalisi Liberal/Nasional. Setahun sebelumnya Gillard berjanji tak akan mengeluarkan kebijakan itu.

Di lain pihak, Partai Buruh pun masih belum padu. Rudd dan Gillard masih terlibat konflik internal. Karena pendukung Ruud ternyata lebih banyak, maka sejarah pun terulang: Ruud menggantikan Gillard sebagai ketua partai.

Tapi segala usaha perbaikan sudah terlambat. Partai Buruh kalah dari Koalisi Liberal/Nasional, yang para politikusnya terkenal kukuh membela kepentingan industri tambang, pada pemilu 2013.

Subsidi Pemerintah Memperparah Masalah

Australia termasuk penyumbang emisi karbon terbesar. Menurut think tank Ember, pada 2021 silam negara ini merupakan penghasil emisi batu bara per kapita tertinggi. Setiap orang menghasilkan emisi batu bara sebesar 4,04 ton karbon atau empat kali rata-rata orang sedunia. Angkanya bahkan sudah lebih rendah dari periode 2015-2020, yakni 5,3 ton karbon per tahun.

Terlepas dari dampak destruktif untuk iklim dan lingkungan, tak bisa dimungkiri jika sektor tambang telah berkontribusi besar untuk ekonomi. Selama 2019 dan 2020 atau saat pandemi Covid-19 sedang parah-parahnya, pertambangan mineral menjadi penyumbang terbesar Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Persentasenya mencapai 10,4 persen dengan nominal 202 miliar dolar Australia (Rp2.000 triliun).

Tak mengherankan jika sektor ini dielu-elukan sebagai “pilar stabilitas” ekonomi nasional.

Lebih dari dua ratus ribu orang berkecimpung langsung di sektor sumber daya alam dengan median gaji menembus dua ribu dolar (di atas Rp20 juta) per pekan. Orang terkaya di Australia, Gina Rinehart, juga memupuk harta dengan mengeruk bijih besi, jenis mineral paling banyak dikandung di perut Negeri Kanguru.

Pemerintah turut menyokong sektor tambang lewat subsidi besar-besaran. Melansir perhitungan think tank Australia Institute, industri bahan bakar fosil (seperti batu bara, minyak, dan gas) disubsidi sampai 11,6 miliar dolar (sekitar Rp120 triliun) selama 2021-2022—naik 12 persen dari tahun sebelumnya. Angka tersebut 56 kali lebih besar daripada anggaran untuk National Recovery and Resilience Agency (semacam Badan Nasional Penanggulangan Bencana) bahkan lebih tinggi dari anggaran pemerintah federal untuk sekolah negeri (9,7 miliar dolar).

Direktur riset Australia Institute, Rod Campbell, mengatakan politik subsidi ini sebagai “ekonomi yang buruk” dan “kebijakan iklim yang jauh lebih buruk” sebab ketika warga tengah berjibaku mengatasi bencana banjir keuntungan sebesar 22 ribu dolar (Rp 200 jutaan) mengucur setiap menit dari industri tambang.

“Sungguh jahat yang dilakukan pemerintah Australia, terus-menerus menyubsidi produksi dan konsumsi bahan bakar fosil sementara masyarakat di seluruh negeri menanggung biaya bencana yang diperburuk oleh pemakaiannya,” ujarnya.

Badai Kritik dan Penyangkalan-Penyangkalan

Australia dilanda kekeringan dan kebakaran hutan berkepanjangan pada Musim Panas Hitam 2019-2020. Ribuan rumah terbakar, orang-orang kehilangan aset, dan sekitar 3 miliar satwa liar ikut mati dan terlantar, catat WWF. Tentu saja banyak pihak mengaitkan bencana tersebut dengan lemahnya sikap pemerintah terkait iklim atau pengurangan emisi.

Pada tahun pertama ketika kekeringan dan kebakaran hebat terjadi, Australia mendapat skor 0,8 dari skala 10 untuk kondisi kesehatan lingkungan dari tim peneliti di Fenner School of Environment & Society Australian National University. Ini adalah angka terendah sejak proses pengambilan data dilakukan pada 2000. Meskipun curah hujan yang tinggi setahun kemudian berhasil mengatrol skor jadi tiga, situasi lingkungan secara keseluruhan masih dipandang memprihatinkan.

Pemanasan global juga merusak ekosistem terumbu karang Great Barrier Reef, yang berperan krusial meredam dampak perubahan iklim dengan menyerap karbon. Melansir laporan pemerintah baru-baru ini, sebanyak 91 persen dari 719 karang yang disurvei mengalami pemutihan.

Namun segala kritik ditepis atau diabaikan oleh Perdana Menteri Scott Morrison—yang memimpin sejak 2018. Ia mengatakan “kebakaran hutan semacamnya lazim terjadi di Australia.”

Morrison, yang sempat-sempatnya ambil cuti ke Hawaii di tengah bencana kebakaran berlangsung, juga mengatakan tak akan melakukan hal baru untuk mengantisipasi hal serupa di kemudian hari. “Kami tidak mau membuat tujuan dan target-target yang menghancurkan lapangan kerja dan perekonomian,” katanya.

Australia juga mendapat kritik dari dunia internasional. Ketika Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP26) berlangsung pada 2021, mereka dicibir karena menolak menambah target penurunan emisi karbon. Administrasi Morrison masih bertahan dengan cita-cita pengurangan karbon sampai 26-28 persen pada 2030—salah satu target paling rendah di antara negara ekonomi besar (sebagai perbandingan: Inggris 68 persen, Uni Eropa 55 persen, Brasil 43 persen, dan India 35 persen).

Administrasi Morrison juga menolak mengakhiri aktivitas pertambangan batu bara meskipun 40 negara lebih sudah mengakui urgensi untuk melakukannya.

Sinyal hijau malah diberikan untuk puluhan rencana proyek batu bara dan gas baru di negara bagian Queensland. Pemerintah berpegang pada analisis yang menyebut 53 ribu lapangan kerja dan 85 miliar dolar investasi akan menguap apabila proyek tersebut dibatalkan. Padahal, menurut Alison Reeve dan Tony Wood dari Grattan Institute dalam perhitungannya di The Conversation, angka tersebut sangat dilebih-lebihkan (pekerjaan yang hilang diprediksi berkisar empat ribuan).

Morrison menegaskan industri batu bara di Australia masih akan hidup “sampai sekian dekade lagi.” Hal senada disampaikan wakil Morrison dari Partai Nasional, Barnaby Joyce. Joyce, yang keliru menyebut batu bara sebagai ekspor terbesar Australia (predikat itu sebenarnya jatuh ke bijih besi), menakut-nakuti publik bahwa mereka “harus menerima standar hidup lebih rendah” tanpa komoditas tersebut.

Tahun lalu, administrasi Morrison akhirnya setuju mencapai emisi karbon nol bersih pada 2050 (meskipun keputusan itu tidak sampai disahkan melalui legislasi). Jalan keluarnya adalah dengan memanfaatkan teknologi canggih yang menghasilkan emisi rendah. Cara ini dipandang aman: “tanpa membahayakan ekonomi, lapangan kerja, dan jalan hidup kita [orang Australia] yang makmur.”

Ironisnya, tidak ada detil atau penjelasan spesifik tentangnya, sampai jurnalis Joshua Mcdonald menyindir teknologi yang dimaksud bahkan belum diciptakan.

Mike Cannon-Brookes, CEO perusahaan software Atlassian yang menginvestasikan miliaran dolar untuk energi terbarukan, sampai mengeluh di Twitter, “Saya paham betul urusan teknologi. Tapi [rencana pemerintah] ini bukanlah ‘pendekatan teknologi’ melainkan suatu tindakan pasif untuk mengalihkan perhatian dan menghindari pilihan.”

Tahun 2019 silam, pemimpin dari pulau-pulau kecil di kawasan Pasifik—yang terancam dampak perubahan iklim seperti kenaikan air laut—juga meminta Morrison bertindak. Namun sekali lagi ia berkelit. Menurutnya, ia hanya “bertanggung jawab atas rakyat Australia.”

Administrasi Morrison mungkin merasa cukup puas karena telah menganggarkan dana 500 juta dolar kepada negara-negara Pasifik, suatu kebijakan yang bagi anggota parlemen Pat Conroy dari Partai Buruh sekadar “window dressing” atau pemanis belaka. Kebijakan ini menurutnya tidak akan memperbaiki reputasi Australia apalagi mengatasi kerusakan iklim.

Conroy juga menyinggung donasi tersebut bukanlah inisiatif baru melainkan dana yang dialihkan dari anggaran bantuan untuk asing yang sudah disunat lebih dari 11 miliar dolar di bawah 9 tahun administrasi Partai Liberal/Nasional (dari era Perdana Menteri Tony Abbott, Malcolm Turnbull, sampai Morrison).

Infografik Politik Iklim Lingkungan Australia

Infografik Politik Iklim Lingkungan Australia. tirto.id/Fuad

Ambisi Tanggung Partai Buruh

Pemerintahan baru di bawah Partai Buruh tampak bertolak belakang dengan administrasi Morrison yang masa bodoh terhadap krisis iklim dan lingkungan. Mereka berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca sampai 43 persen pada 2030, meningkatkan pangsa energi terbarukan untuk listrik dari 31 persen jadi 82 persen dalam satu dekade, sampai berinvestasi sebesar 1,2 miliar dolar untuk melestarikan Great Barrier Reef dan menjaga 64 ribu lapangan kerja yang bergantung dari sana.

Akan tetapi, dirangkum dari artikel Carbon Brief, ambisi-ambisi Partai Buruh masih punya celah untuk dikritisi. Misalnya, rencana mendorong penggunaan baterai di level rumah tangga, “bank tenaga matahari”, dan emisi nol dari sektor publik dianggap tidak akan berdampak signifikan pada pengurangan emisi.

Selain itu, pakar memperkirakan administrasi baru Perdana Menteri Albanese akan kesulitan mencapai target konsumsi energi terbarukan di sektor listrik tanpa dibarengi dengan kebijakan agresif seperti menarik pajak karbon.

Terkait industri bahan bakar fosil, terutama batu bara, Partai Buruh cenderung diam. Manifesto mereka, “Powering Australia”, tidak menyinggung komoditas tersebut. Albanese bahkan bersedia mendukung tambang batu bara baru apabila masih sejalan dengan prinsip keamanan lingkungan dan bernilai komersial.

Semua ini bisa jadi karena Partai Buruh masih ingat betul bagaimana kekalahan mereka di pemilu 2019 karena tergerusnya dukungan dari komunitas batu bara.

Jika dibandingkan, target Partai Buruh lebih moderat dari Partai Hijau dan bahkan kandidat independen. Partai Hijau menyerukan moratorium pada proyek-proyek baru di sektor batu bara, gas, dan minyak. Mereka juga ingin menekan emisi karbon sampai 75 persen pada 2030 (sementara kandidat independen 60 persen).

Situasi akan lebih rumit bagi Partai Buruh karena agar dapat dukungan penuh di parlemen mereka mungkin perlu dukungan dua pihak ini.

Baca juga artikel terkait LINGKUNGAN atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino
-->