Menuju konten utama

Kemenangan Kucumbu Tubuh Indahku di Tengah Ancaman terhadap LGBT

Setelah jadi perwakilan resmi Indonesia di ajang Oscar tahun depan, film kontroversial Kucumbu Tubuh Indahku, menang jadi Film Terbaik FFI 2019. Ia memantik pertanyaan tentang nasib film-film Indonesia serupa di masa depan.

Kemenangan Kucumbu Tubuh Indahku di Tengah Ancaman terhadap LGBT
Trailer Film Kucumbu Tubuh Indahku. screenshot youtube/Fourcolours Films

tirto.id - “Saya sebetulnya pengin sekali melihat beliau memegang piala ini di sini,” kata Kamila Andini [Sekala Niskala (2017), Following Diana (2015)], yang sedang memegang Piala Citra Sutradara Terbaik Festival Film Indonesia (FFI) 2019. Beliau yang ia maksud adalah sang ayah, Garin Nugroho.

“Ini piala pertamanya [sebagai sutradara terbaik FFI] setelah 38 tahun berkarya, akhirnya dapat!” tambah Kamila, terharu.

Meski karya-karyanya telah dikenal mancanegara dan langganan jadi pemenang di festival-festival luar negeri, bagi Garin sendiri penghargaan FFI amatlah penting. “FFI adalah penghargaan terbaik karena ia adalah rumah saya sebagai sutradara Indonesia. Terima kasih FFI, kamu adalah rumah terbesar film Indonesia,” kata Kamila yang membacakan pesan whatsapp Garin di atas panggung.

Tak lama kemudian, giliran suami Kamila, Ifa Isfansyah, yang naik panggung menggantikan mertuanya. Kucumbu Tubuh Indahku (selanjutnya disebut Kucumbu), film kontroversial yang disutradarai Garin menang kategori Film Terbaik 2019.

Tantangan Konservatisme

Setelah lulus sensor dari Lembaga Sensor Film (LSF), Kucumbu sempat mendapat hak tayang di 40 layar—jumlah yang relatif sedikit dibanding film-film arus utama lainnya. Di Jakarta sendiri, ia hanya tayang sebentar di tiga bioskop saja. Sebelum tayang, petisi protes sudah tersebar di media sosial. Sejumlah pemimpin daerah bahkan tegas mengeluarkan larangan tayang. Tak kurang dari lima provinsi mengeluarkan seruan serupa.

Padahal, tak ada satu kata pun dari akronim LGBT yang terlintas dalam 107 menit Kucumbu. Garin terinspirasi hidup Rianto, seorang penari Lengger yang didera konservatisme, keculasan politikus, hingga trauma masa lalu, hanya demi bisa berkuasa atas tubuhnya sendiri. Seksualitas juga jadi salah satu topik yang Garin sajikan dalam Kucumbu. Sayang, kehadiran film ini ditentang karena dianggap mempromosikan propaganda penerimaan pada kelompok rentan LGBT.

Bagi Garin sendiri Kucumbu adalah pengingat bahwa batas antara maskulinitas dan femininitas amat lebur dalam banyak budaya di Indonesia. Salah satunya Lengger—budaya tradisional dari Banyumas—yang ia angkat dalam Kucumbu.

“Saya baru bikin film kalau saya pengin bikin statement,” kata Garin pada kami.

“Film adalah salah satu alat untuk membentuk ruang diskusi. Saya memang suka membuat film-film saya dari topik-topik sensitif. Radikalisme, Negara Islam Indonesia. Dan sekarang salah satu topik yang sensitif dan perlu diberi ruang adalah LGBT,” tambahnya.

Dalam hal toleransi minoritas gender, Indonesia memang punya sejarah yang kompleks. Homoseksualitas tak pernah ilegal, kecuali di tanah Aceh. Namun, dalam tiga tahun terakhir, eskalasi topik LGBT terus meningkat dengan tensi negatif.

Human Rights Watch mencatat 2016 sebagai titik puncak semburan kebencian pada kelompok rentan ini. Sejumlah pejabat negara menyatakan pernyataan-pernyataan kebencian yang dituding jadi pemicu meningkatnya persekusi. Dimulai sejak Januari, ketika Menteri Pendidikan Muhammad Nasir tinggi mencuit larangan bagi LGBT untuk masuk kampus. Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu bahkan menyebut homoseksualitas lebih berbahaya dari perang nuklir.

Demokrasi: Memicu dan Membungkam

Tak hanya mempengaruhi meningkatnya persekusi pada kelompok LGBT—terutama transgender—retorika kebencian itu juga berdampak pada industri film Indonesia.

“Yang mengejutkan, film-film LGBT lima sampai tujuh tahun lalu tidak dipermasalahkan. Tapi, film saya dapat serangan. Mungkin, karena mereka (kelompok konservatif) melihatnya seperti cermin, kaca. Karena mereka bisa melihat wajah mereka sendiri di sini,” kata Garin.

Ia juga menyadari perubahan tensi politik Indonesia dalam dekade terakhir, yang makin mudah dipanas-panasi lewat politik identitas.

Perubahan yang sama juga dirasakan Nia Dinata, sutradara Arisan! (2003), Berbagi Suami (2006), Ini Kisah Tiga Dara (2016). Menurutnya, salah satu ketidaksiapan Indonesia pasca-reformasi adalah untuk menghadapi radikalisme agama yang juga turut menguat sejak 1998.

“Kita terlalu sibuk dengan euforia [reformasi], dengan kebebasan berekspresi, sehingga enggak sadar kalau mereka [kelompok konservatif-radikal] juga sibuk menanam benih,” ungkap Nia.

Film kedua Nia, Arisan!, adalah film pertama Indonesia yang mengangkat karakter minoritas gender bukan sebagai pelengkap. Karakter utama prianya, Sakti (Tora Sudiro), digambarkan kompleks dan tidak satu dimensi belaka: punya pekerjaan mapan, hidup layak, punya pasangan, bisa jatuh cinta, dan kehidupan normal ala kelas menengah Jakarta.

Sejak 15 tahun lalu, karakter Sakti dan Nino (Surya Saputra) masih jadi satu-satunya pasangan homoseksual paling populer dalam sejarah budaya pop Indonesia, mengalahkan pasangan homoseksual pertama di layar lebar pasca-Orde Baru, yakni Budi (Harry Dagoe) dan Yanto (Gala Rostamaji) dalam Kuldesak (1998). Kehadiran Sakti-Nino cukup diterima sampai-sampai ANTV meminta Nia untuk membuat 39 episode Arisan! The Series pada 2006 silam.

Nia Dinata

Nia Dinata. foto/Emily Johnson

“Bayangkan, ANTV aja sampai minta dijadikan series di televisi. Dan enggak ada kejadian apa-apa. Betapa open-minded-nya [masyarakat] kita dulu,” kenang Nia.

Sebelum tumbangnya rezim otoriter Soeharto, karakter queer di perfilman Indonesia memang lebih sering tampil jadi sosok aneh, kalau bukan bahan lelucon semata. Salah satu karakter waria paling populer dari era tersebut adalah Betty yang diperankan Benyamin Sueb dalam Betty Bencong Slebor (1978).

Tema-tema baru yang tak akan lolos di bawah rezim Soeharto mulai dijajaki, termasuk cerita tentang kelompok minoritas gender. Representasi kelompok queer meningkat selepas keran demokrasi terbuka. Karakter-karakter LGBT hadir dengan kedalaman karakter dan nuansa yang lebih kompleks. Misalnya, cerita hidup Syaiful (Donny Damara) yang kebingungan menerangkan jati dirinya pada sang putri Cahaya (Raihanun) dalam Lovely Man (2011). Atau Marianna (Barry Prima) yang lebih dulu hadir dalam Realita Cinta dan Rock n Roll [Upi] pada 2006.

Sutradara Lucky Kuswandi bahkan mencatat sejarah dengan Madame X (2010), sebuah film superhero pertama di Indonesia dengan tokoh utama seorang transgender. Adam (Aming) digambarkan bisa berubah jadi pahlawan super berwig abu-abu, yang misi utamanya mengalahkan politikus lalim yang intoleran.

“Sepuluh tahun lalu jauh lebih terbuka dan bebas untuk membahas isu ini,” kata Lucky. “I mean, enggak ada kendala berarti saat membuatnya [Madame X], bahkan sempat tayang di televisi nasional.”

Sayangnya, keadaan itu tak bertahan lama. Karya lain Lucky yang membahas tema serupa, sebuah webseries berjudul CONQ, mendapat reaksi keras pada 2016. “Bahkan waktu itu dapat larangan langsung dari pemerintah,” kenangnya.

Hal yang sama juga dirasakan aktor dan sutradara Paul Agusta. Saat ia membuat omnibus Parts of the Heart—cerita tentang kehidupan seorang gay di Indonesia—pada 2012 silam, Paul tak menemukan kesulitan yang dirasakannya sekarang jika ingin membuat film bertema serupa.

“Waktu itu, kita hidup di masa-masa progresif selama 6-8 tahun, seenggaknya buat queer films,” kenang Paul. “I did pretty much everything I wanted to do with my film with casting. ‘This is a gay film. I’m looking for actors to play gay characters.’ Imagine if I did that now on Facebook and Twitter? I was able to get away with that in 2010, 2011.”

Tak cuma dari departemen casting, kata Paul, mencari produser atau rumah produksi yang mau ambil risiko untuk memproduksi film komersil dengan tema ini juga susah. Sineas sering kali harus kerja keras cari sponsor dari luar negeri untuk bisa mewujudkan gagasan mereka.

“Bahkan kalau sudah mampu secara finansial, belum tentu bisa lewat dari LSF, kan. Tau sendiri, kriteria LSF kita ‘tinggi’ banget,” kata Paul tertawa.

Infografik Nasib LGBT

Infografik Nasib LGBT di Perfilman Indonesia. tirto.id/Fuadi

Merawat Narasi Lewat Festival serta Diskusi

Situasi ini yang akhirnya bikin Nia Dinata juga harus memutar taktik untuk tetap bisa berkarya dengan bebas. “Everyone’s like, ‘Oh, you should make a feature again.’ No, not until I can make whatever I want,” ungkapnya tegas.

Keterbatasan menjelajahi tema, bujet yang lebih murah, dan ketatnya sensor dari negara jadi alasan Nia menginisiasi Project Change: sebuah program untuk membuat film-film pendek bertema eksploratif dengan penulis, sutradara, dan aktor dari latar belakang yang lebih beragam.

“Lewat proyek ini, saya bisa bikin film-film pendek. Tanpa harus lewat lembaga sensor, karena hanya akan ditayangkan di festival internasional. Tapi, kita juga bisa tayang terbatas di kampus-kampus, ditayangkan independen oleh komunitas, atau bioskop-bioskop alternatif yang sedang menjamur di Indonesia belakangan ini,” jelas Nia.

Cara ini, menurut Nia, juga bisa jadi cara alternatif untuk terus memupuk regenerasi sineas yang lebih beragam dan tidak terkungkung pada satu moral tertentu. “Kita enggak bisa cuma terjebak dalam gelembung sendiri, dan cuma bisa merasa paling benar sendiri. Cerita yang lebih beragam dan progresif itu penting juga buat masyarakat kita sendiri,” tambah Nia.

Situasi yang makin tak ramah pada kelompok minoritas gender juga membuat Paul gerah. Itu sebabnya, menurut Paul, diskusi tentang film dan queer jadi makin penting. Sejak September kemarin, ia dan dua kawan, Rizky Rahadianto dan Kartika Jahja menggagas Queer Cinema Club. Di sana para pecinta film bisa berkumpul serta berdiskusi melalui perspektif queer dan gender minoritas, setidaknya sebulan sekali.

It’s time to talk about how we’re representing ourselves in films,” kata Paul yang juga seorang queer. “Kita bisa diskusi tentang apa yang penting buat komunitas sekarang? Bagaimana kita bisa mengedukasi orang lain? Mungkin, berdiskusi bisa jadi salah satu cara.”

Representasi Itu Penting!

Aktor, aktivis, dan model Dena Rachman juga menyoroti perkara representasi.

For me, the resistance is about the visibility,” katanya. “Sebagi trans-person yang proud and loud, aku enggak punya tempat untuk hadir di media. Kami [seringkali] direpresentasikan dengan tidak benar. Dari yang aku tahu, aktor-aktor yang memerankan karakter-karakter trans masih sering cis-male, dan hetero. Nyaris enggak ada ruang buat aktor LGBTQ dalam industri dan kalaupun ada [aktor LGBTQ], mereka enggak bisa come out,” tambah Dena.

Itu sebabnya, ia bersemangat terlibat Project Change, bersama Nia Dinata. Dena akan terlibat dalam salah satu film pendek sebagai penulis naskah dan sutradara, bersama sutradara Andri Chung [The Sun, The Moon & The Hurricane (2014), Kenapa Harus Bule? (2018)]. Ia—yang vokal menyuarakan hak-hak transgender Indonesia—berharap bisa menambah warna pada sinema Indonesia, sebagai representasi transgender.

Trailer Film Kucumbu Tubuh Indahku

Trailer Film Kucumbu Tubuh Indahku. screenshot youtube/Fourcolours Films

“Representasi yang asal-asalan dan tidak sensitif di film dan televisi, misalnya, bisa jadi bumerang buat teman-teman trans,” jelas Dena. “Itu makanya kita tetap butuh suara-suara dari trans sendiri, kasih kita kesempatan untuk mengedukasi juga.”

Cerita-cerita queer di Indonesia yang sering kali masih hadir dan dipotret oleh kelompok-kelompok yang punya privilese juga dilihat Paul sebagai masalah. “It sucks, but maybe it can be more effective,” kata Paul. Maksudnya, tak perlu pula melarang allies—alias non-LGBT yang mendukung—untuk membuat film yang objektif. “Situasi (buat) kita (queer di Indonesia) memang masih begitu. Kita mesti, harus bisa bersatu sama allies, daripada bikin gap makin jauh dengan yang anti dan diskusinya makin berjarak,” tambah Paul.

Itu sebabnya, menurut Paul, kehadiran Kucumbu perlu dirayakan. “Mas Garin bikinnya dengan teknis dan estetik yang… buaagus banget. One of the best movies I’ve seen this year,” katanya.

Kemenangan Kucumbu sebagai Film Terbaik FFI, setelah kontroversi panjang yang dituainya selama tahun ini, juga simbol penting tentang kebebasan berkarya yang harus tetap dijunjung tinggi. Bukan cuma oleh para sineas, tapi juga negara yang wajib menyediakan kebebasan bersuara, berkarya, dan berekspresi.

“Semoga semakin banyak film yang berani mengatasnamakan kemanusiaan, menyuarakan suara yang terpinggirkan, dan menceritakan karakter-karakter yang minoritas,” kata Ifa Isfansyah, menantu Garin dan produser Kucumbu, dengan lantang, sambil memegang Piala Citra Film Terbaik.

“Karena kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan penjajahan serta penghakiman massal atas sebuah karya harus dihapuskan demi kemanusiaan, keperikemanusiaan, dan perikeadilan. Merdeka film Indonesia!” tutupnya, disambut tepuk tangan meriah.

_________

Laporan ini merupakan hasil kolaborasi reporter tirto.id Aulia Adam dan Emily Johnson, jurnalis paruh waktu di New York. Laporan ini didukung oleh program Round Earth Media dari Internasional Women’s Media Foundation.

Baca juga artikel terkait LGBT atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Film
Penulis: Aulia Adam
Editor: Windu Jusuf