Menuju konten utama

Kemenangan dan Kekalahan Supremasi Sipil

Supremasi sipil terus diusahakan sejak lengsernya Soeharto, namun resistensi bukannya tidak ada.

Kemenangan dan Kekalahan Supremasi Sipil
Presiden Joko Widodo didampingi Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo dan Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian berjalan kaki menuju lokasi Upacara Parade dan Defile HUT ke-72 TNI Tahun 2017, Banten, Kamis (5/10/2017). ANTARA FOTO/Setpres/Agus Suparto

tirto.id - Presiden Jokowi dan Panglima Tentara Nasional Indonesia Gatot Nurmantyo tersenyum sembari bertepuk tangan melihat atraksi yang ditampilkan prajurit TNI. Keduanya terlihat akrab menikmati rangkaian acara dalam peringatan HUT TNI di Cilegon, Banten, Kamis kemarin (5/10). Tidak ada raut masam di antara keduanya.

Namun di media sosial, perang cuit sedang terjadi. Akun @hotradero memantik perang tersebut. Ia mencuit, “Dari pakaian dalam, seragam, hingga tank, kapal perang dan pesawat tempur – dibiayai sipil lewat pajak. Maka junjung tinggi supremasi sipil.” Cuitan ini muncul dalam rangkaian cuitannya mengenai militer di Indonesia.

Salah satu yang merespons adalah akun Pusat Penerangan TNI @puspen_TNI. Akun itu mencuit, “TNI juga bayar pajak bung. Kita sama2 bayar pajak. Supremasi sipil mana yg dilanggar TNI???”

Baca juga:

Ketika Pemerintah Sipil Gandeng Tentara

Tentara PETA Adalah Tenara Sipil Berbayar

Mudah untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan melongok sejarah dan peran militer saat Orde Baru. Kala itu tentara tidak hanya berperan sebagai alat pertahanan negara, tetapi merangsek ke urusan sipil. Yang paling kentara adalah penerapan Dwifungsi ABRI, faksi ABRI dalam DPR/MPR, dan tentara menjabat dalam jajaran birokrasi sipil.

Sejak Juli 1998, ada 14 provinsi dari total 27 provinsi di Indonesia (55,5 persen) yang dipimpin oleh anggota militer. Sementara ada 41,1 persen walikota/bupati dipegang anggota militer di seluruh Indonesia.

Kehadiran supremasi sipil di Indonesia hampir nihil pada era pemerintahan Soeharto. Pertanyaannya: Bagaimana situasi supremasi sipil di bawah demokrasi Indonesia pasca-Soeharto?

“Bersatu Sehati Hapus Dwifungsi ABRI”

"Kita tidak boleh terus-menerus membiarkan berbagai kelompok kepentingan memanfaatkan kesempatan untuk terus menyudutkan posisi ABRI. Kita harus segera menyikapi semua permasalahan yang menyulitkan posisi ABRI itu dengan lebih pro-aktif.”

Pernyataan itu disampaikan oleh Letnan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono, saat itu menjabat Kepala Staf Sosial Politik ABRI. Pangkal pernyataan itu adalah maraknya demonstrasi jelang Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat, 10-13 November 1998.

Para demonstran menuntut agar ABRI meninggalkan peran sosial-politiknya, termasuk mencabut dwifungsi ABRI. Singkat kata, mereka ingin ABRI kembali ke barak alias menjalankan fungsi pertahanan dan keamanan saja. “Bersatu sehati hapus dwifungsi ABRI” menjadi jargon yang kerap menggema saat demonstrasi berlangsung.

Menurut Yudhoyono, tuntutan yang dilayangkan kepada ABRI saat itu sudah di luar proporsi normal. Lulusan Akademi Militer di Magelang pada 1973 ini menyatakan bahwa ABRI sedang melakukan konsolidasi internal dan berharap masyarakat "tidak meragukan" niat ABRI untuk berperan dalam proses reformasi.

Baca juga: Belajar Membuat Lagu dari SBY

Dalam "The Politics of Military Reform in Post-Soeharto Indonesia" (2006), pakar politik Indonesia Marcus Mietzner mencatat dari Juli hingga November 1998, angin reformasi mulai berembus dari dan kepada institusi ABRI. Pada periode itu Panglima ABRI Wiranto kerap melontarkan apa yang disebut "Paradigma Baru".

Setidaknya ada empat poin yang disampaikan oleh Wiranto, yang kini menjabat Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Pertama, tidak semua urusan nasional dipegang oleh militer. Kedua, pendekatan sebelumnya untuk menduduki posisi politik berubah menjadi memengaruhi politik dari kejauhan. Ketiga, pengaruh itu diberikan secara tidak langsung dan bukan secara langsung. Keempat, angkatan bersenjata mengakui perlunya pembagian peran dengan matra militer nasional lain.

Pada 1998 Markas Besar TNI juga menerbitkan buku ABRI Abad XXI: Redefinisi, Reposisi, dan Reaktualisasi Peran ABRI Dalam Kehidupan Bangsa. Sekitar November 1998 muncul kebijakan bahwa tentara tidak boleh menduduki jabatan birokrasi sipil. ABRI setuju mengurangi wakil di DPR dari 75 kursi menjadi 38 kursi dan 10 persen kursi di DPRD.

Menjauhkan Militer dari Politik

Gebrakan segar mulai muncul setelah Sidang Istimewa MPR 1998. Pada Oktober 1998, ABRI memutus hubungan resmi mereka dengan Golkar, partai penguasa yang menyokong pemerintahan Orde Baru.

Sikap ini bisa dibaca dari pernyataan Jenderal TNI Hartono, saat itu menjabat Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), saat Temu Kader Golkar di Lapangan Matesih, Kabupaten Karanganyar, 13 Meret 1996. Menurutnya, di balik baju hijau tentara, setiap anggota ABRI adalah kader Golkar.

"Jadi anggota ABRI dilarang ragu-ragu mendukung Golongan Karya. ABRI dan Golkar sejak awal hidup tidak pernah terpisah, dan yang akan datang tidak boleh berpisah," ujar Hartono.

Baca juga: Bagaimana Sukarno Menciptakan Partai Golkar

Setelah memutus hubungan dengan Golkar, ABRI menjamin akan bersikap netral dalam pemilihan umum yang bakal digelar pada Juni 1999. Selain itu, Presiden B.J. Habibie melakukan reorganisasi Departemen Pertahanan dan Keamanan menjadi Departemen Pertahanan.

Rezim berganti pada 1999. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur terpilih sebagai presiden. Semasa menjabat dari 1999-2001, sejumlah reformasi TNI dilakukan pemerintahan Gus Dur. Pada 2000, doktrin Dwifungsi ABRI dicabut. Dan berdasarkan TAP MPR RI VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Kepolisian, TNI diberi tugas hanya untuk pertahanan serangan dari luar negeri.

Pasal 5 ayat 5 ketetapan itu menyatakan anggota TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas ketentaraan. Sementara pasal 10 ayat 5 menyebutkan anggota kepolisian dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

Langkah konkret penegakan supremasi sipil semasa pemerintahan Gus Dur juga terlihat ketika pembubaran Direktorat Sosial Politik Departemen Dalam Negeri dan Badan Koordinasi Stabilitas Nasional, institusi yang kerap menjadi perpanjangan militer dalam urusan sipil, atau dulu dikenal Kopkamtib alias Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban.

Gus Dur juga mengubah tradisi lama yang bertahan sejak 1950 dengan mengangkat Juwono Sudarsono sebagai menteri pertahanan, orang sipil non-militer pertama yang menduduki pos militer tersebut. Gus Dur juga mengangkat Laksamana TNI Widodo Adi Subroto sebagai Panglima TNI. Dia adalah tentara Angkatan Laut. Semasa Orde Baru, jabatan Panglima TNI selalu dipegang oleh Angkatan Darat.

Di masa pemerintahan Gus Dur juga terbit undang-undang tentang pertahanan negara tahun 2002, yang mengatur Kementerian Pertahanan di bawah otoritas sipil.

Aturan soal supremasi sipil atas tentara diperkuat dalam Undang-Undang 34/2004 tentang TNI. UU ini menyebutkan bahwa “TNI dibangun dan dikembangkan secara profesional sesuai kepentingan politik negara yang mengacu pada nilai dan prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia."

Infografik supremasi sipil

Supremasi Sipil Belum Selesai

Sejumlah petinggi militer punya cara pandang tersendiri menyikapi reformasi TNI. Agus Wirahadikusumah melihat "Paradigma Baru" yang digaungkan Wiranto sama sekali tidak baru. Menurutnya, hal ini adalah konsep TNI sebelum 1998 jika kelak Soeharto mengizinkan reformasi terbatas.

“Sekarang dia telah lengser, dengan suatu ledakan besar, dan kita muncul dengan membawa dokumen lama itu. Cukup menyedihkan, sebenarnya,” ujar Wirahadikusumah, yang dikenal sebagai jenderal reformis. Ia juga menyampaikan gagasan mengenai pembubaran Komando Teritorial, dari tingkat Korem hingga Babinsa.

Mayor Jenderal Saurip Kadi, yang menjabat Asisten Teritorial Kepala Staf TNI Angkatan Darat pada 2001, juga mendukung langkah koleganya tersebut.

“Mari kita lihat realistis di lapangan. Untuk daerah-daerah maju, Kodim, Koramil, dan Babinsa tak lebih dari instrumen kekuasaan atau kelompok berduit. Yang terjadi selama ini diambil alih oleh TNI AD. Ini tidak benar. TNI AD itu urusannya pertahanan, biarlah yang lain diurus oleh pemerintah daerah dan departemen lain,” ujar Saurip.

Saurip menyatakan bahwa demokrasi Indonesia tidak akan berjalan jika Dwifungsi ABRI masih berlaku. “Pimpinan TNI AD sudah final untuk menghapus dwifungsi. Dengan dwifungsi, rakyat tidak berdaya, karena hukum tidak dikedepankan. Ini tabiat,” katanya.

Hingga kini komando teritorial TNI masih eksis. Meski Dwifungsi ABRI telah dihapus, tetapi tentara kerap juga dipakai oleh pemerintahan sipil: dari pembubaran diskusi di Perpustakaan Jalanan Bandung pada 2016 hingga penggusuran paksa di Jakarta pada 2015 dan 2016.

Baca juga:

Mempropagandakan Film Seram G30S PKI

Cara Gatot Nurmantyo Cari Pangggung Sebelum Pensiun

Tentara Tidak Pernah Salah

TNI Masih Berkubang Pelanggaran HAM

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat, pada 2016, Gatot Nurmantyo menyatakan agar tentara kembali punya hak politik. Pada Mei 2017, ia hadir di tengah Rapat Pimpinan Nasional Partai Golkar dan membacakan puisi berjudul “Tapi Bukan Kami” yang berisi kritik terhadap pemerintahan Joko Widodo mengenai situasi nasional mutakhir.

Yang paling mutakhir, memasuki bulan September 2017, Gatot menginstruksikan jajaran militer untuk nonton bareng film Pengkhianatan G30S PKI. Seruan ini diteruskan kepada warga sipil di sekitar markas TNI.

Baca juga artikel terkait SUPREMASI SIPIL atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Politik
Reporter: Husein Abdulsalam
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Zen RS