Menuju konten utama

Kemenaker Pelajari Usulan Pengusaha soal No Work No Pay

Anwar Sanusi mengaku akan mempelajari usulan sejumlah pengusaha terkait permintaan adanya kebijakan no work no pay (tidak bekerja, tidak dibayar).

Kemenaker Pelajari Usulan Pengusaha soal No Work No Pay
Sejumlah pekerja pabrik rokok menerima uang Tunjangan Hari Raya (THR) Lebaran di Kudus, Jawa Tengah, Kamis (15/6). ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho

tirto.id - Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), Anwar Sanusi mengaku akan mempelajari usulan sejumlah pengusaha terkait permintaan adanya kebijakan no work no pay (tidak bekerja, tidak dibayar). Terlebih usulan tersebut datang dari satu pihak dan harus pertimbangkan sisi lainnya.

"Karena kita sendiri kan juga baru menerima ya, artinya kan kita juga akan mempelajari usulan itu dan tentunya kita akan mempertimbangkan banyak aspek," ujarnya di Kantor Kemenaker, Jakarta, Kamis (10/11/2022).

Anwar menjelaskan masalah kebijakan ketenagakerjaan harus memperhatikan dua sisi. Baik dari sisi pekerja, maupun sisi pengusaha.

Meski begitu, pihaknya berjanji apapun kebijakan itu prinsipnya adalah mencari solusi yang terbaik dari segala pilihan-pilihan yang ada.

"Tentunya kita carikan solusi yang terbaik. Karenanya kenapa kita dalam hal ini kita menekankan adanya sebuah dialog sosial yang sangat bagus baik bentuknya bipartit maupun tripartite, apapun lah, mudah-mudahan kita bisa tentunya mengantisipasi apapun dengan kebijakan yang sebaik-baiknya," pungkasnya.

Dalam kesempatan terpisah sebelumnya Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mendesak Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menerbitkan aturan berisi fleksibilitas jam kerja dengan prinsip no work no pay (tidak bekerja, tidak dibayar).

"Kalau bisa dipertimbangkan, menambah satu lagi yaitu harapan kami ada satu Permenaker (Peraturan Menteri Ketenagakerjaan) yang mengatur fleksibilitas jam kerja dengan prinsip no work no pay," ujar Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Anton J Supit dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi IX DPR RI dan Menaker.

Menurutnya, hal ini dilakukan demi mengurangi jumlah orang yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Dengan begitu, ketika industri sedang lesu pekerja tidak harus terkena PHK.

"Sebab, kalau tidak ada (aturan) itu, memang kami dengan order menurun 50 persen atau katakanlah 30 persen, kami tidak bisa menahan. Satu dua bulan masih oke, tapi kalau sudah beberapa bulan atau setahun, pilihannya ya memang harus PHK massal," imbuh Anton.

Baca juga artikel terkait KEMENAKER atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang