Menuju konten utama

Kembangkan Ekonomi Syariah, Pemerintah Berkiblat pada Malaysia

Pemerintah saat ini tengah mengembangkan master plan untuk mengembangkan ekonomi syariah di Indonesia.

Kembangkan Ekonomi Syariah, Pemerintah Berkiblat pada Malaysia
Menteri PPN/Bappenas Bambang Brodjonegoro memberikan arahan saat pembukaan diskusi tingkat tinggi di Kantor Kementerian PPN/Bappenas, Jakarta, Rabu (25/7/2018). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

tirto.id - Pemerintah Indonesia saat ini sedang mengejar ketertinggalan dari Malaysia dalam hal pengembangan ekonomi syariah.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas, Bambang Brodjonegoro mengatakan, program Malaysia International Islamic Financial Center (MIIFC), menginspirasi pemerintah untuk mengembangkan keuangan syariah, bersamaan dengan industri halal di dalam negeri.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga 31 Maret 2018, total aset keuangan syariah Indonesia sebesar 82,3 miliar dolar AS.

Pangsa tersebut hanya sekitar 8,4 persen terhadap keuangan secara nasional. Sementara, aset keuangan syariah Malaysia, disebutkan Bambang mencapai 20 persen dari total aset keuangan nasional Malaysia.

"Ide awalnya memang meniru MIIFC, idenya Malaysia. Malaysia bisa melakukan itu karena pada saat yang sama mengembangkan halal industrinya secara serius. Itu yang ingin kami lakukan di Indonesia, bahwa master plan yang ada akan diperluas mengenai ekonomi," ujar Bambang di Kantor PPN/Bappenas Jakarta pada Rabu (25/7/2018).

Ekonomi syariah meliputi keuangan syariah, industri halal, dan sisi pembangunan dari produk syariah yang meliputi zakat, wakaf, infaq, sadaqoh dan sebagainya.

Hingga saat ini, pemerintah melalui Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) baru menerbitkan road map untuk keuangan syariah.

"Kami di KNKS akan memperluas road map tersebut menjadi road map ekonomi syariah karena kami semakin percaya bahwa industri keuangan syariah hanya bisa berkembang kalau industri halalnya berkembang," kata Bambang.

Master plan tersebut akan mencakup rencana aksi nasional, yang merinci tugas pokok dan fungsi setiap pihak terkait secara jelas.

Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pariwisata, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), dan sebagainya termasuk seluruh anggota dari KNKS.

"Intinya memang perlu diupayakan secara jelas, ada blue print-nya, ada exemplar-nya sehingga nantinya ketika kita bicara industri halal ada pihak yang langsung menjadi ultimate authority, yang punya kewenangan untuk bicara regulasi atau mendorong promosi dari produk halal," jelasnya.

Pemerintah mengupayakan master plan tersebut paling lambat dapat beres pada tahun depan atau paling cepat pada akhir tahun ini.

"Tingkat kesadaran yang tinggi akan potensi ekonomi syariah, kebijakan dan regulasi yang mendukung, serta faktor kesiapan infrastruktur dalam membentuk ekosistem halal menjadi kunci keberhasilan pengembangan ekonomi syariah," ujarnya.

Dalam perkembangannya, Bambang mengatakan Malaysia telah unggul karena memiliki beberapa indikator dalam pengembangan industri halal, seperti strategi nasional pada halal supply chain, Halal Assurance System, International Halal Accreditation Forum (IHAF), dan intelijen pemasaran produk.

Lebih lanjut, Bambang mengatakan yang paling penting pembangunan ekonomi syariah memiliki potensi besar untuk berkontribusi mengurangi defisit transaksi berjalan dalam negeri.

"Yang paling penting kita ingin punya kontribusi terhadap pengurangan defisit transaksi neraca berjalan dengan peningkatan ekspor produk halal. Hal ini patut menjadi perhatian bagi seluruh pihak, mengingat defisit ini menjadi faktor penekan utama dari nilai rupiah yang melemah dalam beberapa bulan terakhir," terangnya.

Sejak 2011, Indonesia mengalami defisit transaksi berjalan akibat permintaan eksternal yang melemah terhadap komoditas ekspor serta turunnya harga komoditas ekspor.

Defisit transaksi berjalan semakin meningkat pada pertengahan 2013 dan 2014, sebelum mulai membaik pada akhir 2017. Namun demikian, pada triwulan I 2018, neraca transaksi berjalan kembali mengalami defisit sebesar 5,5 miliar dolar AS, yang dipicu oleh defisit pada neraca pendapatan primer dan jasa yang masing-masing mengalami defisit sebesar 7,9 miliar dolar AS dan 1,4 miliar dolar AS.

Dengan demikian, pada periode tersebut, neraca pembayaran Indonesia mengalami defisit yang cukup besar, yaitu sebesar 3,9 miliar dolar AS.

Berdasarkan data Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia Bank Indonesia, dalam 6 tahun terakhir, neraca transaksi berjalan Indonesia belum pernah mengalami surplus.

Baca juga artikel terkait EKONOMI SYARIAH atau tulisan lainnya dari Yandri Daniel Damaledo

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Yandri Daniel Damaledo
Editor: Yandri Daniel Damaledo