Menuju konten utama

Kembali Ke Fitri dan Adakah Dosa yang Tak Terampuni? (3)

Bagaimana lagi cara manusia memahami kebesaran anugerah kembali ke fitri dari Sang Maha Pengampun?

Kembali Ke Fitri dan Adakah Dosa yang Tak Terampuni? (3)
Ilustrasi. Tobat. Foto/iStock

tirto.id - Gus Amar masih tertegun antara ngeri dan jijik. Baru saja, pria baruh baya di hadapannya mengaku telah memperkosa putri kandungnya sendiri. Dosa yang terdengar begitu sulit untuk dimaafkan bahkan bagi orang seperti Gus Amar.

“Bagaimana Gus? Apakah perlu saya lanjutkan cerita saya ini.”

Gus Amar tidak langsung menjawab. Tubuhnya sudah terlalu lemas untuk mendengarkan cerita selanjutnya, tapi di sisi lain ada rasa penasaran juga dalam benaknya. Mana mungkin ada dosa yang lebih hina dan menjijikkan daripada memperkosa anak sendiri?

Setelah mengumpulkan kekuatan—lebih tepatnya keberanian—akhirnya Gus Amar berkata, “Baiklah. Silakan sampeyan lanjutkan.” Kali ini suaranya sedikit berat.

“Saya tahu, tidak semua orang bisa menerima cerita saya ini. Tapi setelah mendengar penjelasan Tilmdun bahwa Gus Amar adalah orang yang bijaksana, maka saya mempertaruhkan semuanya hari ini. Terserah Gus Amar menerimanya, atau mengusir saya setelah semuanya saya ceritakan,” kata pria ini.

Lagi-lagi Gus Amar merasa terjebak pada situasi. “Apakah hanya sekali sampeyan melakukan itu?” tanya Gus Amar

Pria di depannya bergeming. Tidak menjawab. Gus Amar pun tahu apa maksudnya.

“Astaghfirullah, Pak. Masya Allah,” Gus Amar tidak punya kata-kata lain untuk mengungkapkan apa yang ada dalam hatinya.

“Entah saya ini orang yang tepat atau tidak menilai dosa sampeyan atau orang yang cukup kuat mendengarkannya, tapi saya sudah kepalang basah, jadi lebih baik sampeyan selesaikan saja cerita tersebut,” kata Gus Amar.

Pria ini sejenak menatap wajah Tilmidun, orang yang mengantarkannya ke kediaman Gus Amar. Lalu ia lanjutkan ceritanya.

“Tentu saja saya melakukannya sambil sembunyi-sembunyi, Gus. Istri saya tidak pernah tahu, karena saya selalu mengancam anak saya sendiri jika sampai ia cerita ke ibunya. Tapi, sepandai-pandainya kebusukan disembunyikan, akhirnya perilaku bejat itu ketahuan juga,” kata pria ini.

Raut wajah Gus Amar sudah berubah drastis. Kali ini gurat keramahan sudah hilang sepenuhnya.

“Sampai kemudian anak saya terlambat datang bulan,” pria ini berhenti.

Kali ini wajah Gus Amar sudah merah padam. Ada kemarahan yang tertahan di sana, tapi masih tersedia kesabaran yang meredakan.

“Saya duga, istri saya yang pertama kali menyadarinya,” kata pria ini.

“Kenapa sampeyan duga?” tanya Gus Amar.

“Karena ketika saya balik ke rumah, istri saya sudah ditemukan tetangga, gantung diri di kamarnya,” kata pria ini. Getar suaranya seolah ikut menggetarkan kesabaran Gus Amar.

“Putri sampeyan?” kali ini Gus Amar bertanya dengan sedikit membentak.

“Ikut bunuh diri juga.”

“Innalillahi… Allah ya Rabb,” Gus Amar berbisik.

“Dari waktu kematiannya tidak lama. Dugaan waktu itu, putri saya juga gantung diri karena tidak tahan melihat ibunya meninggal dan mengandung di luar nikah. Tentu saja tidak ada yang menyadari bahwa benih di kandungannya adalah benih dari bapaknya,” kata pria ini sambil terus mengontrol napasnya yang mulai sulit.

“Kenapa sampeyan bisa jadi orang sehina itu, Pak? Naudzubillah,” kali ini nada suara Gus Amar sudah berubah marah.

“Saya tahu, Gus. Saya memang hina. Itulah mengapa saya merasa saya tidak pantas dimaafkan dan diampuni oleh Allah,” kata pria ini di hadapan Gus Amar sambil menutupi mukanya yang sudah penuh dengan air mata. Air mata malu dan ketakutan.

“Sampai seperti itu sampeyan Pak,” Gus Amar yang ramah sudah hilang.

“Tapi, tapi itu belum selesai, Gus,” mendadak suara Tilmidun keluar.

Gus Amar menoleh dan menatap tidak percaya.

“Benar, Gus. Itu belum selesai,” kata pria ini dengan wajah ketakutannya.

“Bagaimana mungkin hal sehina dan semenjijikkan itu belum selesai?” bentak Gus Amar.

“Setelah, putri dan istri saya meninggal. Di kamar mayat, di kamar mayat, ketika tidak ada orang-orang. Saya, saya…”

“Apalagi yang sampeyan lakukan Pak?” tanya Gus Amar geram.

“Gus, saya menyetubuhinya, Gus… menyetubuhi mayat putri saya. Berkali-kali. Tidak berhenti-berhenti. Saya ngeri jika mengingatnya Gus. Ngeri. Takut saya Gus. Takut Gus. Saya bahkan sampai tidak takut dengan neraka Gus, tapi lebih takut dengan ingatan saya yang itu,” kata pria ini sambil menangis lalu bersujud di hadapan Gus Amar seperti memohon ampun.

Gus Amar sudah setengah mati menahan amarahnya dan membiarkan pria di hadapannya masih dalam posisi sujud dan menangis begitu hebat.Tiba-tiba Gus Amar berdiri begitu cepat, wajahnya sudah merah padam..

“Harusnya kamu malu pada dirimu sendiri, Pak. Melakukan kebejatan yang begitu ngeri. Harusnya kamu malu kepada Allah dan nabimu, Nabi Muhammad. Bahkan panasnya neraka jahaman pun belum layak untuk membakar dosa-dosa kamu, Pak,” bentak Gus Amar yang tidak berhenti sampai di sana.

“Keluar dari rumah saya sekarang dan pergi dari kampung saya. Mulai sekarang, jangan sampai saya lihat wajah kamu ada di sekitar sini,” bentak Gus Amar begitu marah. Urat-urat di lehernya menyembul keluar.

Tilmidun, orang yang mengantarkan pria ini hanya bergeming melihat adegan tersebut di depannya. Pria ini pun undur diri. Tentu dengan tangis yang masih penuh dan napas yang masih memburu. Sedangkan Tilmidun masih ada di tempatnya dan bingung harus melakukan apa.

infografik ar rahman ar rahim daffy al jugjawy

Setelah pria ini keluar. Tak ada percakapan sama sekali antara Tilmidun dengan Gus Amar. Keduanya sudah larut dalam pikirannya masing-masing. Tilmidun pun tidak berani memulai pembicaraan. Mana mungkin ia berani, baru kali ini sepanjang hidupnya melihat Gus Amar marah sampai mengusir orang.

Mendadak Gus Amar berdiri. “Kamu bawa motor?” tanya Gus Amar kepada Tilmidun.

“Enggak Gus, tapi ada di rumah. Bisa saya ambilkan,” kata Tilmidun.

“Tolong antarkan saya, ke rumah paman. Di pesantren sebelah kampung,” kata Gus Amar.

“Oh, baik Gus.”

Keduanya lalu menuju ke kediaman paman Gus Amar. Kiai Abdussalam, pengasuh pesantren yang tidak terlalu jauh dari madrasah milik Gus Amar. Ketika sampai di sana, tentu saja keadaan cukup ramai karena ada banyak tamu, entah itu orang tua santri atau warga sekitar yang silaturahmi. Setelah menunggu cukup lama akhirnya Gus Amar punya waktu untuk bertemu dengan Kiai Abdussalam secara pribadi.

Gus Amar pun menceritakan semuanya ke Kiai Abdussalam. Semuanya, dari awal sampai akhir. Cerita mengenai seorang pria paruh baya yang telah melakukan dosa besar yang begitu hina dan menjijikkan. Awalnya Kiai Abdussalam berwajah masam dan geram, tapi setelah cerita selesai, dan Kiai Abdussalam minta undur diri untuk mengambil air wudu, ia baru berani menanggapi.

“Amar, sekarang saya mau tanya. Apakah kita ini manusia berhak menerima tobat seorang?” kata Kiai Abdussalam sambil duduk.

Gus Amar sejenak berpikir. “Hanya Allah yang berhak menerima tobat seseorang. Tidak seorangpun yang berhak, Lik Salam,” kata Gus Amar.

“Lalu kenapa mendadak kamu jadi merasa berhak untuk menilai dosa seseorang layak diampuni atau tidak?”

“Sebab, dosa yang pria itu lakukan begitu mengerikan. Apa Lik Salam enggak merasa ngeri juga mendengarnya?”

“Tentu saja aku juga ngeri mendengarnya. Bahkan juga marah. Tapi cerita itu justru membukakan mata Paklikmu ini bahwa ‘arrahman’ dan ‘arrahim’ itu begitu besar, begitu sulit dibayangkan,” kata Kiai Abdussalam.

Gus Amar terdiam.

“Seharusnya juga membukakan matamu, Mar. Bahwa ‘Sang Maha Pengampun’ milik Allah itu, bukan gelar sembarangan. Sekarang coba bayangkan setiap tahun kita merayakan kembali bersih seperti lebaran ini? Berapa banyak dosa yang begitu hina dari miliaran manusia di bumi ini yang dibersihkan hanya karena seorang manusia berpuasa hanya sebulan? Apakah kamu tidak merasakan itu, Mar? Merasakan betapa tidak pantas kita menerima anugerah sebesar itu?”

Gus Amar tertegun. Ia menyesal. Bukan menyesal karena mengusir pria dengan dosa menggunung tadi di rumahnya. Gus Amar menyesal karena tadi, ia baru saja meremehkan Sang Maha Pengampun di hari agung pengampunan.

-----

*) Diadaptasi dari salah satu riwayat dalam kitab Durrotun Nasihin karangan Utsman bin Hasan bin Ahmad Asy-Syakir al-Khaubawiyyi. Sebuah kitab yang beberapa isinya terdapat riwayat hadis daif dan palsu. Meskipun begitu, beberapa riwayat di dalamnya adalah kisah-kisah yang menakjubkan serta bisa dijadikan pelajaran.

Setiap hari sepanjang Ramadan hingga Lebaran, redaksi menurunkan naskah yang memuat kisah, dongeng, cerita, atau anekdot yang sebagian beredar dari mulut ke mulut dan sebagian lagi termuat dalam buku/kitab-kitab. Ia dituturkan ulang oleh Syafawi Ahmad Qadzafi. Melalui naskah-naskah seperti ini, Tirto hendak mengetengahkan kebudayaan Islam (di) Indonesia sebagai khazanah yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Naskah-naskah ini tayang di bawah nama rubrik "Daffy al-Jugjawy", julukan yang kami sematkan kepada penulisnya.

Baca juga artikel terkait DAFFY AL-JUGJAWY atau tulisan lainnya dari Ahmad Khadafi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Ahmad Khadafi
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti